Dulu sekali, aku berniat membuat jurnal. Mengenai
teman-teman terbaik yang saya temui di perjalanan hidup. Tak perlu merunut dari
yang paling dekat dan akrab. Sifatnya random saja. Dalam pelaksanaannya, banyak
nama yang tersimpan. Saya tulis pandangan saya mengenai mereka. Namun,
sayangnya banyak yang akhirnya berakhir membeku menjadi sebuah draft.
Saat saya menjalin aksara ini, bisa jadi pun akan berakhir
menjadi draft semata.
Saya sedang memandangi bungkusan coklat kertas nasi. Berkode
Bi. Isinya bihun. Pemberian seorang perempuan teman sekantor.
Namanya Widyaningtyas. Aku biasa menyapanya dengan sebutan
Mbak Wid. Jika aku disuruh menggambarkan, bagaimana orang ini? Jutek. Cukup itu
jawabanku. Tak peduli kami telah menjadi kawan baik, dia tetaplah jutek dimataku.
Dalam sesi awal perkenalan kami, dia jutek luar biasa.
Terasa sekali, dia tak suka padaku. Ah, tapi apa peduliku. Sebodo teuing, toh
hidupku tetap melaju. Aku terlalu sering dijuteki, oleh orang-orang yang tak
mengenalku dengan baik.
Melengkapi jutekismenya, Mbak Wid adalah tipikal orang yang
memperhatikan gaya berbusana. Dia berani memakai baju super cerah sampai motif
bunga-bunga gonjreng. Kulitnya putih, jadi yang semua outfit yang dikenakan
akan terasa pantas-pantas saja.
Mbak Wid juga orang yang suka belanja. Aku pernah
berkelakar, jika ada yang mau berjualan di kantor, hal wajib yang dilakukan
pedagang adalah menawari dagangan kepadanya. 95 persen kemungkinan, dia akan
membeli daganganmu. Ini sudah terbukti sahih jendral. Saya tebak, uangnya tak
memiliki nomor seri, buanyak tak terkira, hahahaha..
Jangan marah ya mbak, anggap saja ini doa *wink*
Dibalik kegalakannya, Mbak Wid sebenarnya orang yang nrimo.
Karakter jawanya kental sekali. Sekitar Desember 2010, Mbak Wid kehilangan
orang terpenting dalam hidupnya. Ibu. Hingga kini, aku sering ikut merasa haru,
jika Mbak Wid mulai merindukan ibunya. Rasanya pingin tak ajak ke rumahku aja.
Yuk mbak, kita berbagi ibu J
Mbak Wid orang yang cukup terbuka, untuk beberapa hal. Namun
ada banyak hal lainnya yang tak akan dia bagi. Disimpannya rapat-rapat sampai
dia jadi muring-muring sendiri. Dia juga penyimpan kenangan sejati.
Kami perlahan mulai ikrib, setelah Mbak Wid akan dipindahtugaskan.
Kami sempat akan menjadi rekan kerja. Dia sudah cukup parno. Jika ingat masa
itu, aku bisa senyum-senyum sendiri.
Allah memang selalu mendengar doa hambanya. Dengan magis,
Mbak Wid batal menjadi teman satu tim. Dia malah melintas nun jauh di sana. Di
bawah divisi yang kerjaannya terkait dengan advisor, berbicara perundang-undangan
dan entah apalagi. Ruwetlah.
Keakraban ditandai dengan makin seringnya kami makan siang
bersama.
Hingga saya merajut aksara, Mbak Wid menikmati tugas-tugas
barunya. Termasuk hari ini, tepat di hari ulang tahunnya, ditandai dengan
kepergiannya ke Mojokerto. Berulang tahun di udara deh.
9 Oktober Mbak Wid berulang tahun. Oktober adalah penanda
bulan badai sebelum November. Sejalan dengan karakter orang-orang yang
dilahirkan dalam pelukan bulan ini. Tangguh, menggebrak galak dan tegar.
Mbak Wid, selamat ulang tahun ya. Semoga setiap detik
setelah hari ini, menjadikanmu manusia yang semakin bijak. Berselimut kebaikan.
Sebab, saat dirimu menjadi pribadi yang baik di mata para
sahabat. Menurutku, itu bukan hanya keberhasilanmu dalam menempa diri. Namun juga
keberhasilan sosok ibu yang berhasil menanamkan budi pekerti padamu.
Peluk erat buatmu hei Mbakkuuh..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tinggalkan jejak