mengambil gambar di sini
Banyak orang mengumpat Jakarta. Kota yang konon penuh
kemacetan. Penuh keegoisan. Sumpek. Herannya, meski penuh caci maki untuknya,
tetap saja banyak yang berduyun-duyun mendatangi Jakarta.
Tiap hari kerja, ribuan orang merelakan waktu rata-rata dua
jam dari rumah yang letaknya di penyangga kota macam Bogor, Depok, Tangerang
dan Bekasi, melakukan migrasi menuju tempat kerja masing-masing di Jakarta. Melintasi
macet. Berdesakan di kereta atau bus. Rutinitas yang sama diuulangi kembali
saat petang hari.
Dimaki, namun tetap didatangi. Entah, kontradiksi macam apa
ini namanya.
Pernah suatu kali saya pergi ke Hanau, Kalimantan Tengah
selama delapan hari. Hidup di tengah hutan sawit. Jarak antar rumah jauh. Hiburan
hanya dari televisi yang untungnya menangkap signal. Satu dua hari pertama,
terasa nyaman. Udara sejuk. Hiruk pikuk kota tiada. Karena padatnya jadwal
bekerja, konsentrasi saya tercurah penuh untuk urusan pekerjaan. Bekerja sebaik
mungkin. Sampai tiba hari kepulangan.
Yang saya ingat persis, adalah perjalanan dari Bandara
menuju rumah setelah tiba di Jakarta. Macet, sudah pasti. Terlebih saya tiba di
Jakarta menjelang petang. Pandangan saya lurus ke luar jendela. Tiba-tiba saja,
yang terlintas di kepala adalah rasa rindu pada gedung-gedung tinggi yang tak
selalu berjajar rapi di Jakarta. Petang itu, saya menyadari, saya mencintai
Jakarta.
Jakarta dengan keruwetannya. Dengan pekak klakson dan sedikit
trotoarnya. Meski selama menjauh saya tak merindu, namun ternyata saat kembali,
saya bersuka cita.
Dipikir kembali, Jakarta tak melulu buruk ternyata. Ingin menonton
film terbaru, Jakarta memiliki aneka ragam pilihan bioskop yang tersebar merata
di seluruh penjuru kota. Bahkan film paling baru yang saat yang sama sedang
menempati rangking teratas di box office, bisa dinikmati di Jakarta.
Ingin makan enak, jangan khawatir. Ada banyak pusat makanan
enak. Malah beberapa tersedia selama 24 jam. Jakarta, kota yang tak pernah
tidur. Selalu terjaga, memanjakan orang-orang dengan siklus hidup beragam.
Saya si pengguna kendaraan umum pun dimanjakan oleh Jakarta.
Beberappa jalur transjakarta tersedia 24 jam penuh. Malah beberapa waktu
belakangan ini, ada gojek yang siap mengantarkan kemanapun saya ingin pergi,
asalkan dalam radius tak lebih dari 25km.
Saya cinta Jakarta, meskipun KTP saya Jawa Barat
Bekasi.
Bukan berarti saya tak pernah memiliki keinginan untuk menjauh dari
Jakarta. Beberapa kali saya ingin pindah ke luar kota, semacam Jogja, Surabaya,
atau malah Padang. Saya sempat ingin mencari pekerjaan yang jauh dari Jakarta,
agar tak perlu bermacet ria dan membangun karir yang lebih bersinar. Nyatanya,
itu cuma keinginan semata yang tak pernah berwujud dalam usaha untuk
merealisasikan. Bisa jadi, karena kecintaan saya yang cukup besar pada Jakarta,
ahak.
Jadi, saya sungguh heran. Pada mereka yang memaki Jakarta,
namun tetap memilih tinggal di dalamnya. Mengatakan sama sekali tak memiliki
impian untuk pindah ke Jakarta, nyatanya bekerja dan menjadi robot kota di
ibukota negeri ini. Munafik? Ah, tentu sajja tidak. Mungkin mereka hanya tidak
tahu apa yang dimau. Atau..sudah tahu apa yang dimau namun tak sanggup melawan
gemerlap yang ditawarkan Jakarta.
Pokoknya saya cinta Jakarta, masalah?
Bandung, 4 September 2015.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
BalasHapusJakarta jelas paling lengkap karena pusat infrastruktur. Bagi yang sudah biasa tinggal di Jawa mungkin bukan masalah.
Aku sendiri hidup di kalimantan, daerah yang bisa dibilang seperti Hanau. Saya biasa ke Jakarta untuk bisnis, fasilitas jelas saya suka tetapi jalan menuju satu tempat ke tempat lain yang dekat bisa berjam-jam itu yang ga tahan, hehe.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
setiap tempat memiliki kelebihan dan kekurangan tentu saja. saya pun menikmati setiap kunjungan ke Kalimantan. ah..lebih tepatnya saya memang terlalu mudah merasa jatuh cinta pada setiap tempat.
Hapus