take picture from here
Seberapa sering kamu datang tepat waktu?
Beberapa waktu terakhir, saya agak bermasalah dengan waktu.
Beruntung, bukan di bagian yang ingkar, namun justru di bagian yang tepat.
Minggu lalu, saya sedang berurusan dengan sebuah brand
consultant. Tak perlulah saya menyebut, apa nama perusahaannya. Namun klien nya
cukup ternama, sebuah BUMN yang memonopoli bisnis BBM di Tanah Air.
Untuk project ini, saya bersama tim cukup sering melakukan
meeting, untuk berkoordinasi agar tidak ada miss saat eksekusi di lapangan.
Yang sering terjadi, meeting molor jauh dari jam yang
disepakati.
Janji briefing jam 16.00 molor jadi jam 18.00. Janji
shooting dimulai pukul 06.00 namun satu persatu orang baru muncul pada jam
07.00.
Saya pikir, itu kebetulan, sampai saya sadar, itu sudah
menjadi kebiasaan mereka.
Karena keesokan harinya, mulur-mulur jam meeting ini terus
berlanjut. Selalu.
Sampai dengan cukup sarkas, saya berujar pada tim kerja,
“Nanti kalau kita bisa sampe duluan ke lokasi, kita layak ngasih hadiah nih ke
diri sendiri”
Dan apa yang terjadi? Yap, lagi-lagi kamu harus menunggu,
barang satu sampai dua jam.
Entahlah, budaya jam karet sudah sebegitu terbiasanya ya
untuk kita, sampai tak ada rasa sungkan kala harus terlambat.
Bodohnya lagi, jika sampai ada celetukan, “Ah, kayak gak tau
orang Indonesia aja”
Sungguh cerdas ya, membalikkan, si tepat waktu seperti orang
dungu.
Hari ini, saya kembali menghadapi tiga kasus jam karet.
Kebetulan, saya sengaja mendedikasikan hari ini untuk memenuhi tenggat tiga
janji.
Pertama, bertemu dengan mantan teman kerja di Metro TV,
membicarakan sebuah project. Khawatir terlambat, dua jam sebelum janji bertemu,
saya meminta pertemuan diundur 30 menit. Saya tiba, satu menit lebih cepat,
saat saya mengkonfirmasi posisi, yang bersangkutan baru mau berangkat. Oke.
Janji bertemu kedua, adalah menjenguk teman kuliah yang baru
dikaruniai buah hati kedua, di Lenteng Agung. Janji kali ini memang tak
menunjukkan jam, hanya satu kata, siang. Bahkan sampai matahari bergulir,
memasuki waktu sore, kawan yang berjanji akan sama-sama berkunjung ini, sama
sekali belum terlihat. Entah masih ada di antah berantah mana.
Janji ketiga, adalah saat saya merajut aksara ini. Takut
terlambat dari waktu yang dijanjikan, saya sengaja menyetop taksi.
Alhamdulillah, saya kembali tiba tepat waktu. Dan seperti yang bisa ditebak,
lagi-lagi, anggap saja saya yang dungu. Saya berjanji dengan empat orang,
ajaibnya keempat orang ini terlambat.
Ah, sepertinya memang saya yang mulai harus membongkar
konstruksi berpikir. Tadinya saya beranggapan, datang tepat waktu, adalah cara
untuk menghargai orang lain, yang memiliki janji bertemu dengan saya.
Kali ini, saya harus memantapkan hati, datang tepat waktu
adalah cara untuk menghargai diri sendiri.
Blok M Plaza, 13
April 2013
Ndank. Hai...!
BalasHapusKala merancang meeting nih, suatu hari, saya usul kepada kawan-kawan saya yaitu pada pukul 13. Itu agar pas waktunya nanti bisa diundur pada pukul 13.30 atau pukul 14.00--sebenarnya.
Namun, pikir-punya-pikir, dari waktu ke waktu, wasting juga lama-kelamaan bila kebiasaan seperti itu. Ada tigapuluh hingga enampuluh menit yang terbuang. Ya, itu pun bila tidak kepakai apa kek gitu.
Tapi, suatu kali pernah saya merasakan betapa nikmatnya ketika saya datang tigapuluh menit lebih awal saat janjian dengan seorang jurnalis Jepang. Saya merasa tersanjung sekali oleh diri saya sendiri.
benar Ali, makanya, mulai sekarang meyakini sepenuh hati, datang tepat waktu adalah cara untuk menghargai diri sendiri. Ngomong-ngomong, saat sedang membalas email ini, saya juga sedang menunggu orang yang ngaret loh..sigh..
BalasHapusO-eM-Jih. {plus 1} deh buat kamu. :standing-applause:
BalasHapus