gambar lucu ini, ngambil di sini
Ada fenomena unik menjelang Idul Fitri kali ini. Di twitter,
saya mendapati gerakan
‘Stop menayakan “kapan kawin?” pada pertemuan keluarga’
Gerakan yang boleh juga, guman saya.
Jika tetap ada yang nekad bertanya, maka kita sah-sah saja
untuk menjawab “kapan mati?”
Mengapa demikian? Karena rejeki, jodoh dan kematian,
sepenuhnya menjadi misteri ilahi.
Jawaban yang harusnya cukup memberi efek jera, pada
mulut-mulut usil. Agar tidak lagi membuat depresi para lajang.
Dipikir-pikir, kenapa sih, urusan perkawinan sebegitu
menariknya untuk dibahas?
Mengapa orang sedemikian suka berbasa-basi dengan menanyakan
kapan seseorang akan kawin?
Kelak, saat saya sudah melepas masa lajang, saya berjanji,
untuk tak bermulut usil, menanyakan hal paling menyebalkan itu.
Ah..rasanya masih ingin bersikap sengit pada si mulut usil.
Bukankah mereka pernah mengalami, tak enaknya ditanya dengan kalimat super
menyebalkan itu? Aha..saya tahu. Kuat dugaan mereka sebenarnya sedang melakukan
pembalasan dendam. Dengan menyebar terror, melalui pertanyaan ‘kapan kawin?’,
berharap luka masa lalunya terobati.
Mulai sekarang, mari kita putus mata rantai dendam tersebut.
Putus terror itu. Ternyata terror tidak hanya dengan bom, namun bisa dengan
kata-kata ya. Sebab, kata-kati pun bisa menyakiti, hingga ulu hati. Setuju?
Note: kata kawin juga
bisa diganti dengan kata nikah, tak usah dipermasalahkan. Saya percaya, logika
berpikir Anda tidak kampungan kan? Sampai masalah pemilihan kata seremeh ini
pun menarik perhatian untuk dibahas.
Selat Sunda, 9 Agustus
2013
Follow gerakan sesudah melepas masa lajang, tidak usil menanyakan kapan hendak kawin. Baik kawin sah maupun tak sah..plus sejak lajang seperti sekarang juga tak usil, eeeyyaaaa
BalasHapus