Rabu, 21 Januari 2009

Perjalanan ke Pasar Traditional China

setiap manusia menjalani legenda pribadi masing-masing. Itu yang selalu saya percaya. Mengingatkan saya, pada beberapa waktu lalu saat sedang diramal di sebuah Klenteng di kawasan Glodok. Bersama mas Sherwin, saya diajak memasuki lorong unik yg sebelumnya sama sekali tidak terlintas dalam benak.
Ternyata negeri ini juga memberikan sedikit celah bagi kaum Tionghoa. kedatangan saya yang menjelang imlek, menjadikan kawasan pecinan itu lebih berwarna semarak. sebenarnya kedatangan saya adalah untuk survei lokasi program healthy Life spesial imlek.
Kembali ke persoalan ramal meramal. Konon, klenteng tersebut dipercaya sebagai peramal dengan tingkat kebenaran dapat ponten jitu. Nama dewa yang bersemayam adalah Siddharta gautama.
"Oh, klo dewa yang itu sih saya sudah akrab sejak jaman sekolah", begitu guman saya. Tentu saja tidak ada orang yang tidak mengenal ssosok lelaki yang lebih memilih menjalani kehidupan laksana ksatria ketimbang menyentuh kenikmatan duniawi seperti sang Budha bukan?
Saya mencoba peruntungan dengan melakukan permohonan, dan jawaban dari permohonan itu adalah:
Utara, Selatan, Timur dan barat tidak dapat diduga. Masalah masa depan boleh merasa gembira. Menasehati anda jangan merasa risau. Keluarga akan bahagia dan selamat.

Meski tidak jelas benar akan maksudnya, sepertinya hasil ramalan saya cukup bagus.
pada dasarnya saya bukanlah orang yang maniak pada tetek bengek soal ramal, hanya sebagai sebuah kegiatan kesenangan saja. Jika hasilnya bagus, maka akan menjadi sebuah sugesti sedang jika sebaliknya maka akan segera dilupakan.
Kembali ke kawasan glodok. Disana berjejer para shinse yang sepertinya telah memiliki aroma harum tersendiri bagi yang percaya. hal ini terlihat dari antrian pasien yang tidak bisa dikatakan sedikit. bahkan saat kami mengkonfirmasi mengenai kesediaan diwawancara, mereka sama sekali tidak menggubris. Sebuah perilaku yang jarang kami dapatkan, sebagai orang yang bekerja di media. Yah, bukannya saya berbangga hati dengan titel media tempat saya bernaung. Hanya saja, negeri ini masihlah menganggap orang yang bekerja di emdia (terutama yg ternama) masihlah menjadi sebuah prestise tersendiri.
Namun siang itu begitu berbeda. kesibukan luar biasa akibat pasien yang mengular membuat kami juga diterlantarkan. Kami ditolak mentah-mentah. idak ada rasa sakit hati sedikitpun, justru kekaguman yang memancar dari muara hati. Mereka benar-benar tidak tertarik nilai gelimang duniawi bernama publikasi.
Akhirnya kami mencari toko lainnya. sampai ada sebuah toko yang terlihat lebih lengang. ada bapak tua yang sibuk menimbang ramuan. warnanya sungguh tidak bisa dikatakan indah. bagaimana tidak? ramuan itu hanya terdiri dari daun, batang pohon iris atau malah akar yang telah dikeringkan hingga kisut.
ternyata tumbuhan itu tidak ada yg tumbuh di tanah air ini. Semuanya di datangkan dari China. Sebuah tempat yang sempat di kuasai oleh Jenghis Khan pada masa 1200-an.

sampai detik ini, pengalaman itu masih begitu kuat melkat dalam benak. sepotong pemandangan pasar China traditional yang ternyata ada di Indonesia. Hanya di Glodok saja.
Oh, negeri ini begitu terbuka pada segala macam budaya. ibu pertiwi ini begitu murah hatinya pada pendatang yang mau bekerja keras untuk menemukan nasibnya.

Bagaimana dengan nasib saya? Tentu sama sekali tidak tergantung pada ramalan. semuanya, sepenuhnya tergantung pada usaha saya, untuk menggapa mimpi, mencipta takdir, dan emnaklukkan dunia.