Rabu, 19 Januari 2011

so sad


Kita pernah bersama. Melewati titian kisah. Tahukah kamu? Setiap jejak langkah kita, disana tertinggal bibit-bibit harapan. Mungkin kini bibit-bibit itu telah tumbuh. Liar dan subur. Atau malah meranggas tak tentu arah. Harapan-harapan itu marah pada kita, karena meninggalkannya begitu saja, kita tidak pernah berniat menyemainya.

Ah, aku ingat saat kita menyusuri jalanan yang kini, nyaris tiap hari jadi perlintasanku. Dulu, kita begitu pongah. Tertawa lepas, seakan lupa, atau malah tak mengerti? Bahwa setiap kesenangan yang kita dapatkan, suatu ketika kita harus membayarnya dengan duka. Lunas tak bersisa.

Kini, hari ini, kemarin, dan kemarinnya lagi, aku mencicil sedikit-demi sedikit. Membayar kesenangan lampau, dengan duka. Mengenang dengan sakit. Tak apa, jangan khawatir, karena aku akan baik-baik saja.

Semoga, kamu pun mampu.

Ranti dan Hidupnya


Sosoknya mungil, dengan kulit legam bekas paparan sinar matahari. Tingginya kutaksir tak lebih dari 155 cm, beratnya pun tak sampai 50 kg. Benar-benar mungil bukan?

Namanya Rantini, lahir 46 tahun silam, pada 23 April 1975.

Disekolah dasar, Rantini anak yang cerdas, tak selalu mendapat peringkat satu memang, namun kepiawaiannya membawa diri membuat dirinya mendapat nilai plus dimata para guru. Sebenarnya, orangtua Ranti memiliki lahan kebun yang luas. Ayahnya menjadi petani, sedang ibunya menjadi pedaagang di pasar. Keduanya tipikal orang kampung yang ulet bekerja. Rantini anak ke-6 dari 7 bersaudara.

Meski memilihi kebun yang luas, orangtua Ranti tidak terobsesi menyekolahkan anak-anaknya. Hanya anak-laki-laki saja yang disekolahkan, itu pun hanya sampai STM. Bagaimana dengan anak perempuan? Cukup diajari berdagang, sehingga bisa mencari uang, kemudian menikah dan tidak menyusahkan suami. Cukup.

Ranti kecil sadar, pendidikan itu penting. Sang Ayah kemudian mendaftarkannya ke SD. Untuk biaya, Ranti mencari dengan berjualan balon. Pembelinya teman-teman sekelas. Sepulang sekolah, Ranti mengasuh anak dari gurunya.

Dengan usaha yang gigih, Ranti berhasil menamatkan pendidikan dasar. Dengan tekad kuat, dia memberanikan diri untuk mendaftar ke SMP. Namun Ranti beranjak remaja. Dia mulai merasa malu jika harus berjualan. Malu juga melihat teman-temannya memakai pakaian bagus sedang dia tidak. kurang dari setahun, Ranti memutuskan keluar dari sekolah. Mimpinya untuk mengenyam bangku pendidikan kandas sudah. Namun semangatnya untuk mencari pengetahuan tak pernah sirna. Setiap ada koran atau majalah, selalu dibacanya dengan penuh minat.

Di usia 16 tahun, Ranti dijodohkan. Laki-laki yang menjadi calon suaminya berwajah rupawan. Dari keluarga biasa, pekerjaannya adalah tukang jagal sapi. Pernikahan berlangsung meriah. Orangtua Ranti menggelar hajatan yang tergolong wah.

Dua tahun kemudian, Ranti memiliki seorang putri. Saat hamil tua, Ranti melahirkan dalam kondisi memprihatinkan. Sangat miskin. Bahkan untuk membiayai persalinan anak saja tidak mampu, akhirnya keluarga kecil itu memanggil dukun beranak. Suami Ranti memutuskan untuk merantau ke Kalimantan. Merasa malu jika harus hidup dengan pandangan tetangga. Sengaja Ranti tidak diajak, untuk mencari penghidupan yang lebih baik dulu, alasannya.

Semenjak itu, Ranti menjadi orang tua tunggal. Dia berdagang asongan. Target pembelinya adalah penumpang bus antar kota. Dagangannya bermacam-macam, ada kacang, telur, jeruk, sawo, jambu, rambutan, dan yang lainnya. Aneka macam pangan ini disusun dalam nyiru, kemudian dibawa diatas kepala.

Tahun berganti, suaminya tak juga memberi kabar. Sampai satu ketika, ada kabar sang suami telah memiliki istri dan seorang anak. Saat itu, usia anak Ranti telah menginjak usia 10 tahun, kelas 3 SD. Hancur hati Ranti mengetahui kabar itu. Dia memutuskan untuk menggugat cerai. Tahun 1995, permohonan cerainya dikabulkan. Semenjak saat itu, Ranti bertekad akan menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, agar anaknya tidak mengalami nasib yang sama.

Kini, Ranti hidup bahagia. Anaknya berhasil meraih gelar sarjana. Sang putri kini tengah berusaha, membahagiakan sang bunda. Impian Ranti sederhana, ingin naik haji. Putrinya bertekad akan memenuhi keinginan Ranti, setidaknya tahun 2015.

Selasa, 11 Januari 2011

be HONEST


Shiit!

Barusan ponsel berbunyi. Panggilan masuk dari seseorang di masa lalu. Sebut saja namanya Toto. Pernah saya sayang. Hanya sekedar pernah, kini hanya bagian dari masa lalu, tak lebih. Dia telah memilih jalan hidup tak jelas, merasa jagoan hanya dengan mengancam sana-sini.

Meminta bantuan. Katanya dia dapat tugas dari gubernur untuk menagih uang. Minta saya atau teman dari media untuk mendampingi.

“Gini Ndang, aku kan dapet tugas dari gubernur, buat minta uang dari Cilegon, ada gak temenmu yang wartawan bisa ndampingi, kan kalo dia gak ngasih uang bisa langsung di liput”

Hadoooh!! Mungkin dia pikir media telah beralih fungsi. Sebuah lembaga yang penyampai kabar bagi khalayak ramai, meski belakangan juga bergeser menjadi lembaga pembentuk opini publik itu kini juga bisa menjadi pengancam. Dengan kemampuan dan daya jangkau yang luas, media jadi dianggap memiliki kekuasaan yang mampu memberikan rasa gentar. Bahkan untuk urusan remeh, menagih hutang. Ya tak apa jika itu uang negara yang jumlahnya ya sallam macam uang Gayus.

Dapat ide dari mana ya si Toto ini? Saya hanya bisa terkekeh, miris, geli, campur mangkel. Kasihan juga. Dimatanya, media itu WOW! Baiklah, media terkadang memang wow, kamu yang nothing.

Kamu terlalu berekspektasi tinggi! Saya juga bukan orang yang memiliki posisi penting yang bisa menugaskan anak buah hanya untuk mendampingi proses penagihan uang. Seandainya saya seorang redaktur pun, aku tidak akan mau mengikuti kemauannya. Cuih, receh banget.

Setelah dipikir-pikir. Kenapa saya seemosional ini ya? Sepertinya lebih ke rasa kesal pada penelpon secara personal. Dia seorang oportunis sejati. Lihat saja, baru menghubungi, saat ada perlu. Yakin 100 persen, jika tidak ada kepentingan, dia tidak akan menghubungi.

Tapi jika ditilik lebih mendalam, bukannya saya juga demikian? Ah..membenci orang terkadang membuat saya berkaca. Entah disadari atau tidak, saya cukup sering berlaku oportunis. Baik jika ada maunya. Ramah jika melihat peluang, suatu saat ada yang bisa dimanfaatkan.

Aaargh!! Saya tidak mau begitu! Saya mau jadi orang yang baik. Benar-benar baik, bukan karena ada maunya. Mau jadi orang yang tulus ikhlas. Semoga bisa. Doakan saya!!!

Rumah Ceria--->pekerjaan kami


Seperti kisah berseri saja, aku ketagihan menuliskan hal-hal remeh terkait rumah ceria sebelum lupa memakan semua kenangan yang ada.

Kali ini aku ingin menulis dari segi pekerjaan penghuninya. Di mulai dari Ebeth dan Butet. Mereka berdua merupakan perawat di Rumah Sakit Puri Mandiri Kedoya. Ebeth ditempatkan di ruang ICU. Jadi jika ada pasien yang gawat darurat, besar kemungkinan akan bertemu dengan Ebeth. Seperti saat Butet dulu operasi usus buntu, katanya juga didampingi oleh Ebeth. Juga saat Mila, temanku yang saat ini mukim di Jogja, harus di kuret kandungannya, Ebeth juga mendampingi dokter yang bertugas.

Penempatan Ebeth sebagai perawat ICU, menjadikannya berstatus on call. Artinya, saat sedang libur atau tengah malam buta, Ebeth harus siap dipanggil kapan saja jika rumah sakit akan melakukan tindakan operasi. Pernah beberapa kali, Ebeth harus terbangun tengah malam, saat sedang tidur nyenyak, ponselnya menyala dan dia harus segera berkemas, menuju rumah sakit untuk membantu dokter mengoperasi pasien yang mungkin kondisinya memburuk.

Pernah juga di kali yang lain, Ebeth justru sedang duduk nyaman di sofa bioskop, panggilan itu datang. Meski film yang diputar begitu menarik, tapi tugas sudah menunggu jendral! Bioskop langsung ditinggalkan, padahal pertunjukan film belum juga usai. Ada pasien yang membutuhkan pertelongan medis segera.

Berbeda dengan Butet. Dia perawat untuk kelas VIP. Ruang Magnolia namanya. Butet termasuk perawat senior di ruangan ini. Meski tak pernah melihatnya bekerja, aku duga, Butet jadi suster yang paling cerewet saat sedang membimbing perawat juniornya.
*karena di rumah dia juga cerwet bukan main, piss Butet

Butet bisa dikatakan pembela wong cilik. Jika ada asumsi orang kaya akan mendapatkan perlakukan istimewa, tidak akan berlaku pada Butet. Justru dia akan memberikan pelayanan lebih pada pasien yang terlihat tidak begitu mampu. Sering aku mendengar penuturannya tentang pasien A yang mengalami penyakit ini, dan pasien B yang mengalami panyakit itu. Jika dia bercerita, siapapun yang mendengar akan yakin, Butet tipikal manusia penuh kasih akung.
*tsaaah..jangan peluk-peluk aku ya Butet..:p

Senang memiliki partner perawat dalam rumah ceria. Jika sakit, kami tak perlu ke dokter, cukup berkonsultasi dengan mereka. Persiapan obat-obatan juga lengkap bukan kepalang. Bahkan pernah jika stamina tubuhku drop, aku akan di suntik vitamin C. Syaratnya, setelah itu aku harus banyak minum. Pernah aku membawa pil antidepressant. Bukan karena aku membutuhkan, tapi kubawa saja kemana-mana untuk dipamerkan, mengingat pil itu kan lambangnya lingkaran merah, yang artinya tak sembarang orang bisa memilikinya.
*dasar tukang pamer

Selanjutnya Dydit. Dia librarian di Metro TV. Kerjanya terikat shift, kadang pagi kadang malam. Sistem kerjanya, 4-2 yang artinya 4 hari masuk, 2 hari libur. Yang unik dari Dydit, mau masuk shift apapun, jam pulangnya nyaris sama, larut malam. Kuduga, karena hobi nontonnya yang akut. Jadi, Dydit banyak menonton film di kantor lewat waspan, software khusus yang menyediakan banyak film.
*yang ini dugaan loh, jadi tak bisa dipertanggungjawabkan

Saya tak tahu persis job desk Dydit. Yang saya tahu, dia melayani user yang meminta atau mengembalikan kaset. Jadi tugasnya mengambilkan dan menyusun kembali materi kaset yang akan dan telah digunakan. Dulu, aku juga pernah melihatnya membuat deskripsi isi dalam kaset. Jadi, jika ada yang ingin tahu apa saja nama program yang dimiliki Metro TV, bisa langsung melayangkan pertanyaan pada Dydit.

Terakhir ya aku. Sebelum tiga bulan terakhir ini, pekerjaanku adalah script writer di Metro TV dengan status freelance. Tugasku adalah menyiapkan skrip yang akan dibawakan oleh pembawa acara. Untuk membuat skrip, aku harus melakukan riset lewat mbah google, membaca majalah, buku sampai berbincang langsung dengan narasumber. Semua dilakukan untuk memperluas wawasan, agar aku bisa mentransfer pada pembawa acara. Meski ada beberapa program yang kupegang (beberapa ya, jadi tak banyak), yang member kesan mendalam adalah Healthy Life.

Aku sering berkelakar, tugas utama seorang script writer adalah membuat presenter terlihat pintar di layar televisi. Bukan berarti mereka tak pintar ya, Alhamdulillah, selama ini saya sering bekerjasama dengan host yang cerdas, lebih cerdas juga sering.

Bersama produser saya akan mengcreate bagaimana setiap segmen program diusahakan terlihat menarik dan berbobot. Sekilas, pekerjaan saya terlihat glamour. Bertemu dengan selebriti, bercanda dengan beberapa orang terkenal (katanya) dan menikmati beberapa privilege.

Sejak akhir oktober, saya mengundurkan diri dari Metro TV untuk mengikuti program Management Development Program di salah satu perusahaan. Sebut saja Golden Light. Bukan saya malu atau tak bangga, hanya saja saat ini status saya belum jelas karena masih dalam masa pendidikan. Saya tidak mau di bilang gee r.

Begitulah komposisi kami berempat. Dengan beragam latar belakang pekerjaan. Jika malam, tak jarang kami berebut bercerita, tentang kisah yang terjadi sepanjang siang di kantor kami masing-masing. Ada pasien A yang kondisinya parah, pasien B yang sudah boleh pulang. Kaset C yang tidak boleh dipinjam padahal dibutuhkan sangat. Narasumber D yang datang terlambat, membuat semua kru emosi setengah mati.

ah..lagi-lagi sore-sore begini aku rindu kalian teman..

Senin, 10 Januari 2011

Rumah Ceria---> tamu yang datang


Layaknya sebuah rumah, rumah ceria juga kedatangan tamu-tamu selain penghuni. Ada yang beberapa jadi sering singgah untuk minta disedekahi makanan. Sudah saya ceritakan bukan? Butet dan Dydit itu pandai memasak. Ini bukan pujian semata, olahan bumbu yang diracik oleh mereka bukan main lezatnya. Tak ada seorang pun yang menolah tuduhan saya ini. Siapa yang sudah membuktikannya? Hm..jangan ditanya. Bahkan teman-teman kantor saya yang baru mengakui kelihaian Butet mengolah makanan mentah menjadi santapan siang menggiurkan.

Baiklah, kali ini saya mencoba mereview siapa saja tamu yang pernah singgah.
*teman, jangan marah ya..

Pertama ada Ucok, jika tak salah nama aslinya Hoshea Sembiring. Jasanya yang paling kuingat adalah kesediaannya membantu kami memasang kassa nyamuk di setiap lubang ventilasi rumah ceria. Ucok pula yang membeli gorden serta memasang paku-paku.

Dulu Ucok sering bertaruh bola dengan Butet. Jika kalah bertaruh, maka sebagai kompensasi Ucok akan membeli martabak telur. Untuk bagian ini tentu saya yang bersorak-sorak. Pernah juga Ucok membeli pizza, tapi untuk perayaan apa, saya tak ingat jelas. Juga pernah Ucok membeli durian, sungguh malang, saat itu saya sedang tak di rumah. Jadi, dengan miris saya tak ikut ambil bagian mencicip buah tropis beraroma menyengat namun lezat rasanya.

Ah, maaf Ucok. Kenangan yang aku ingat hanya seputar makanan saja. Makanan yang cukup sering dimasak saat Ucok berkunjung adalah bakso. Bakso yang masaknya dengan mangkok rice cooker karena kami tidak memiliki panci berukuran besar. Bakso olahan Butet yang ladanya terasa mengigit lidah.
Kemudian ada Bang Jimmi, nama lengkapnya Jimmi Aruan. Periode kunjungannya paling singkat. Yang paling kuingat adalah tanggal kali pertama kunjungan Bang Jimmi. 3 Januari 2010, Bang Jimmi pertama kali datang ke rumah ceria. Makanan yang paling kuingat saat Bang Jimmi berkunjung adalah Ayam Goreng Kremes Ny Nita. Ya, Bang Jimmi pernah mentraktir kami, penghuni rumah ceria dengan ayam goreng kremes tulang lunak milik Nyonya Nita.

Jika Bang Jimmi memiliki periode kunjungan yang singkat, ada lagi yang bisa dikatakan kilat. Yaitu Erik Hermawan yang lebih akrab di telinga kami dengan sapaan Aang. Laki-laki yang ini merupakan suami Dydit yang saat ini berada di Pontianak menjadi abdi negara. Jadi wajarlah dia jarang datang, jauh dan mahal ongkosnya.

Ada juga Rere. Nama lengkapnya Muhammad Reza Kurniawan. Makanan khas kedatangannya tak terdeteksi, karena dia menyantap apa saja yang Butet masak. Rere partner main kartu bagi kami berempat. Entah ada kaitannya dengan gender atau tidak, dia juara umum dalam bermain kartu. Dulu, dia juga partner berdiskusi yang menyenangkan bagi kami yang terkadang ingin tahu bagaimana sudut pandang laki-laki dalam memandang sesuatu.

Ke empat laki-laki ini adalah tamu yang datangnya bisa dikatakan cukup sering dan terprediksi. Mereka pernah menjadi spesial bagi masing-masing dari kami. Kecuali untuk Aang tentunya. Dia masih dan selalu menjadi yang spesial untuk Dydit hingga saat ini dan seterusnya.

Kemudian ada Hans dan Daus. Mereka merupakan founder millexplorer, bersama saya. Saat itu kami sedang mati ide dan tak punya tempat untuk melanjudkan rapat tentang manajemen wisata yang kami kelola. Saya mengajak mereka berdua untuk datang ke rumah ceria dan menginap. Sampai rumah ceria bubar, Hans hanya datang sekali, sedang Daus beberapa kali singgah. Butet menyukai Daus karena selera makannya yang gragas. Daus mau saja menghabiskan semua makanan yang tersaji, membuat Butet jatuh sayang padanya.

Selanjutnya ada Vinsen. Jangan protes, memang begini spelling namanya. Nama panjangnya Vinsen Arnold Silitonga. Dia keponakan Butet, si brondong kelahiran 1992 yang kini masih di tingkat satu Universitas Padjadjaran Bandung mengambil jurusan geologi. Saya kerap menjulukinya si tukang batu. Butet sangat over protektif pada Vinsen. Mungkin Vinsen menjadi kelinci percobaan yang mengasah jiwa keibuan Butet sampai licin mengkilap.

Ada juga Mas Fahri dan Tami. Keduanya datang bersamaan untuk kali pertama. Seingat saya, misi mereka adalah untuk menghibur saya yang tiba-tiba bad mood. Lagi-lagi jerat rumah ceria bekerja dengan efektif. Mereka juga menyukai kunjungan ke rumah ceria.

Mas Fahri merupakan mentor menulis saya di kelas menulis narasi. Tubuhnya jangkung sangat, Butet menjulukinya Mister Long. Jika ada award, mungkin Mas Fahri akan menjadi pemenang dengan kategori sebagai pria yang dianggap paling baik.
*dianggap paling baik ya mas, jadi jangan ge er

Tak berbeda dengan Mas Fahri, Tami juga memiliki tinggi badan menjulang. Setiap ada Tami, kami rawan tertawa. Ada-ada saja ulahnya yang membuat kami terbahak. Mulai dari gayanya yang kocak menirukan Iis Dahlia bersenandung “keeee…jjaaaaammm..”

Di waktu-waktu terakhir, Butet kedatangan tamu dari pulau nun jauh di sana. Teleng namanya. Saya tak tahu pula nama sebenarnya. Teleng teman Butet saat dulu menetap di Batam. Teleng pula yang memberi inspirasi pada Butet untuk mengadu nasib di Pulau Natuna beberapa bulan mendatang, jika tak ada aral melintang tentu saja. Butet pernah berkata, Teleng memiliki karakter yang nyaris serupa dengan saya. Pantas kami lekas akrab.
*Toast Teleng!

Sebenarnya, ada lagi beberapa tamu yang singgah. Namun sayang, daya ingat saya yang terbatas tak sanggup menceritakan kisah-kisah mereka. Sebut saja Rita, adik Ebeth yang juga beberapa kali singgah. Juga ada Soren teman Vinsen. Butet dan Ebeth juga beberapa kali membawa rekans esama suster untuk menginap. Kita anggap saja mereka anonim ya?
*Sepakat aja ya biar cepet

Jumat, 07 Januari 2011

Rumah Ceria--->ulang tahun


Banyak sekali perubahan hidup yang terjadi dalam hitungan hari di tahun ini. Awal tahun di buka dengan packing kemudian berjalan dengan berat hati menjauhi rumah ceria. Rumah tempat bernaung dengan durasi satu tahun satu bulan. Bersama dengan Melva Herawati Sirait aka Butet, Elizabeth Tamba aka Ebeth, Dinia Saridewi aka Dydit, dan tentu saja aku Endang prihatin yang suka dipanggil si bontot, julukan yang sama sekali tak berafiliasi pada usia.

Rumah itu kami namakan rumah ceria. Karena siapapun yang masuk ke dalamnya akan langsung ceria. Ceria karena tumis kangkung, sambel dan tempe goreng serta santapan lezat lainnya. Sekedar catatan, masakan lezat itu hasil duet maut Butet dan dydit. Ceria karena lelucon yang terkadang tak lucu persembahan penghuni. Ceria karena diskusi panjang plus ngotot, apalagi jika berkaitan dengan bola (itu untuk Butet) dan buku (untuk aku dan Dydit). Sedang Ebeth, dia seperti air bagi kami bertiga. Saat kami merasa kesal, Ebeth lah tempat mengadu.

Saat mulai ngontrak bersama dulu, kami dipenuhi rasa kecewa terhadap pemilik kost sebelumnya. Kenaikan harga tak masuk akal dan aturan sewenang-wenang membuat kami merasa gerah dan memutuskan untuk menyewa rumah. Rumah sederhana. Kami disibukkan dengan beli kasur, beli lemari, bersih-bersih (yang ini aku angkat tangan) dan entah apalagi. Ada lelucon yang akan selalu aku ingat terkait pembagian tugas. Tugas yang tidak mengikat, dilakukan jika berkenan saja.

Ebeth betanggungjawab pada kebersihan lantai. Dydit menjaga kebersihan kamar mandi. Butet disuruh mengelap kaca (ternyata belum kamu laksanakan hingga kita bubaran Butet!). Sedang tugasku adalah mencuci kaki sendiri, agar tak mengotori apapun yang telah dibersihkan. Ah..aku sayang kalian teman.
*sinih..sinih..tak peluk satu-satu*

Ada banyak cerita terjadi di rumah itu. Berseteru tentu pernah, tak jarang malah. Ngambek apalagi. Tapi semua terselesaikan karena cinta bukan teman?

Kebiasaan manis terjadi saat ada yang berulangtahun.

Butet yang pertama merasakan. Ebeth dan aku menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Dydit absen karena dia menginap diluar. Pake tiup lilin segala. Meski lilin yang ditiup itu lilin yang buat mati lampu. Disinilah sejarah budaya shortcake dimulai.
*jangan nyesel Dyt, salah sendiri tak hadir*

Setengah tahun berlalu, giliran aku yang berulang tahun. Aku ingat, saat itu pulang tengah malam. Program sedang padat-padatnya. Sampai rumah, mandi cibang cibung, lalu lelap tidur. Tak berharap dapat apa-apa, karena besoknya harus bangun pagi. Aku benci, jika harus kerja pagi dan melihat tiga penghuni rumah sedang lelap dalam mimpi. Rasanya ingin kuguyur air saja mereka, biar tahu rasa.

Ternyata perayaan tetap ada. Empat shortcake dan lilin-lilin kecil tersaji di hadapan. Mata berat harus kubuka, karena ada untaian doa penuh cinta di depan mata. Lucu sekali mendengar bagaimana perjuangan mereka membeli kue-kue itu. Katanya di dalam taksi mereka heboh bernyanyi ‘Cinta Satu Malam’. Ya, saat itu lagu ‘Cinta Satu Malam’ sedang tiren, sebelum duet lipsinc Shinta Jojo.

Yang ketiga jatah Ebeth. Aku yang kebagian tugas membeli short cake. Kubeli 5 slice, karena saat itu sedang ada Vincent, ponakan Butet, yang menginap. Lagu selamat ulang tahun dikumandangkan, bersama dengan ucapan perpisahan dari Ebeth. Ya, dia memutuskan untuk meisahkan diri dari kami, setelah sebelumnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan. Itulah malam ulang tahun paling sendu.

Terakhir jatah Dydit. Kuenya berbeda, merk roti bicara milik stylist ternama, Breadtalk. Hanya satu slice, tapi ukurannya besar. Ebeth yang sudah tidak bersama, sengaja menginap. Lagi-lagi lagu selamat ulang tahun berkumandang.

Sebenarnya, masih ada satu perayaan lagi di ulang tahun Butet. Aku dan Ebeth janjian untuk memberinya kejutan. Ternyata malah kami yang diberi kejutan. Butet menginap di tempat kakaknya. Sedang Dydit sedang pergi. Ya sudahlah, rencana gagal total.

Kami berempat memiliki sifat tak mirip. Ada yang egois dan maunya menang sendiri. Ada yang sok tua hobinya merepet macam nenek-nenek. Ada yang suka kambuh krisis eksistensi. Ada yang sukanya meragu. Ah, pokoknya beragam deh. Semua keberagaman itu akan selalu aku rindukan.

Awal tahun ini, kami berpencar menuju arah mata angin masing-masing. Sekarang 2011. Mari teman, kita lihat lima tahun dari sekarang. Sudah menjadi apakah kita?

Kamis, 06 Januari 2011

sadar pikul tanggung jawab


Mulai kini, suka atau tidak saya harus mulai belajar berhitung. Tidak boleh lagi ngawur beli ini itu atau nongkrong tak jelas membeli secangkir coklat panas atau oreofreeze yang harganya jauh lebih mahal daripada satu termos kopi buatan mama.

Ya, tahun ini saya harus menjadi dewasa. Harus mulai belajar konsep berpikir ke depan. Keluarga saya telah begitu sabar menanti saya jadi dewasa. Semoga, kali ini bukan sikap dewasa yang datang secepat kilat pergi pun demikian.

Maaf ya, permohonan maaf ini saya haturkan pada tiga orang anggota keluarga inti yang sempat saya abaikan.

Saya mulai harus berpikir bagaimana keberlangsungan pendidikan adik semata wayang, yang tahun ini akan memasuki jenjang SMU. Adik yang cita-citanya hanyalah ingin menjadi guru agama. Buku bacaannya pun tak jauh-jauh dari ‘Dajjal Sudah dekat’, ‘Tanda-Tanda Kemusrikan’ dan entah apalagi. Saya kebingungan untuk memasuki dunia yang telah dibangunnya. Kebingungan mencari dimana letak pintu masuknya. Rasid Hairudin namanya, kami berteman di facebook, tapi jangan harap dia akan menegur duluan jika kami sedang sama-sama online. Dasar cuek.

Saya takut, telah mencipta jarak begitu jauh dengannya. Satu-satunya jembatan penghubung diantara kami hanyalah kebiasaan membersihkan lubang telinganya. Meski kami tak begitu akrab, kami bisa begitu intim saat cotton bud basah saya pegang. Yiacks, jorok memang, tapi saya menyukainya. Saya menikmati saat dimana kepalanya rebah dipangkuan saya. Dia akan pasrah dan mempercayakan tangan saya untuk membersihkan telinganya.

Adik saya ini lahir pada 20 Mei 1996, hari pertama saya EBTANAS kelulusan SD. Rentang usia kami 13 tahun lamanya. Banyak teman yang heran dengan banyaknya jumlah angka yang menjaraki kelahiran kami.
“Anak tunggal gagal”, begitu biasanya saya menjawab.

Sewaktu dia masih kecil, saya sering dilanda iri. Adik sering dibelikan baju baru, sepeda baru dan mainan baru. Sedang saya sama sekali tidak dibelikan. Saat saya protes, mama menjelaskan karena adik belum bersekolah. Jadi, perhitungan dasarnya, saya menggunakan uang orang tua untuk bersekolah, sedang adik ya untuk membeli yang baru-baru itu. Tentu, saat itu nalar saya tak terima. Enak sekali menjadi adik, tak perlu sekolah, dapat barang-barang baru lagi. Begitulah kira-kira. Sempat saya protes pada Tuhan, mengapa bukan saya saja yang jadi adik? Protes saya tidak mendapat jawaban tentu saja.

Ternyata ketimpangan finansial terus terjadi. Saat saya SMU, biaya TK adik saya pun jauh lebih mahal dibanding saya yang SMU. Lagi-lagi rasa iri menggerus hati.

Bukannya orang tua pilih kasih, tapi saya selalu merasa tak enak jika memilih sekolah yang bonafid. Takut orang tua tak sanggup membayari. Jadi agak miris juga saat tahu, ternyata adik disekolahkan di tempat yang elit.

Sejak tamat SD, saya diajari untuk mandiri. Jika mau sekolah, saya harus mencari dan mendaftar sendiri. Jadi, Jika mengeluh tidak berani, ancamannya tentu tidak akan disekolahkan. Tak heran, saya tumbuh menjadi pribadi yang jarang takut. Saya terbiasa memilih, apapun untuk saya sendiri.

Berbeda dengan adik, yang selalu diperhatikan.

Kini, mama tahu benar perbedaan karakter kami. Saya tumbuh menjadi pribadi pemberani, urakan, jarang merasa malu, sukanya mencoba hal-hal baru. Adik tumbuh menjadi pribadi kalem, tak banyak cakap, sopan terpelajar lah. Tapi sayang kadang suka tak percaya diri. Untuk poin ini, kadang saya disalahkan. Katanya, jatah percaya diri adik telah kuambil semua. Hallah..

Mungkin rasa tak diperhatikan itu bermanifestasi pada sikap saya selama ini. Semenjak bekerja, saya menjadi jauh dengan keluarga. Merasa mandiri dan bisa berdiri sendiri. Saat itu, prinsipnya, yang penting saya tidak menyusahkan orangtua. Seingat saya, semenjak bisa mencari uangs endiri, saya tidak pernah minta bantuan mereka. Tapi sayang, sikap cuek saya kebablasan. Saya juga menjadi kurang peduli dan tak peka saat mereka butuh bantuan.

Untuk itulah, mulai tahun ini saya berjanji. Saya anak pertama, sudah sewajarnya membantu mereka. Semoga, saya tidak lagi lalai.

Setelah dipikir ulang, ternyata orangtua saya sungguh baik. Mereka menyekolahkan saya, padahal uang juga pas-pasan. Jadi, saya tidak boleh lagi merasa mereka pilih kasih. Mereka pastilah mencintai kami, meski tak sama besar, tapi mungkin disesuaikan dengan kebutuhan.

Minggu, 02 Januari 2011

its enough


Pasrah
Berdamai dengan hati
Tak peduli

Ah, entahlah. Beberapa hari lalu aku meyakinkan diri, tak ada lagi cinta. Beberapa waktu lalu, aku berkata dengan tegar, tak ada lagi pemujaan. Its enough.

Seharusnya memang begitu bukan?

Tapi ternyata, kenyataan terkadang kejam. Ya, masih ada segunung rasa yang tertuju untukmu. Masih ada rasa ingin tahu yang begitu besar, tentang semua hal yang berhubungan denganmu.

Terkadang ingin marah, ingin membuat perhitungan. Biar kamu tahu rasa. Biar tak lagi-lagi kamu main-main dengan hal remeh bernama hati.

Kali lain, justru merasa bodoh. Mau-maunya dipecundangi. Tak lagi-lagi.

Ya, kamu bisa melenggang. Mungkin tanpa beban. Mungkin juga menanggung setangkup rasa bersalah. Tapi ketahuilah, kamu sama sekali tidak tahu rasanya menjadi aku. Sama sekali tak tahu. Jangan pernah ulangi, itu saja.

Jika dulu kamu pernah ditipu, tak seharusnya kamu melampiaskan rasa sakit itu pada siapapun. Urusanmu hanya dengannya, yang entah kini ingat atau tidak padamu. Kamu pernah terluka, bukan berarti kamu boleh mencipta luka pada orang lainnya bukan?

Kamu tahu? Luka ini mungkin tak akan pernah sembuh. Akan menguatkan tentu saja, untuk bagian ini kamu tak perlu khawatir. Aku akan menjadi lebih kuat, jika diwaktu mendatang ada orang setega kamu, niscaya aku telah bersiap.

Untukmu? aku cukupkan sampai disini.