Selasa, 25 Desember 2012

Menikmati Papandayan bersama Tim Blengcek

(ki-ka): Yudhis, Ochi, Anty, Putri, Jeremi, Becca, Tyas, Hendra, saya, Nita, Delly


Pulanglah ke rumah ketika di luar tak aman, pergilah ke luar ketika di rumah tak nyaman’ by @pup0

Quote di atas saya baca di linimasa milik Putri.

Perjalanan selalu memberi rasa buncah, nyaris bagi sebagian besar orang. Kali ini, saya cukup beruntung, bersama orang-orang terbaik, memiliki kesempatan untuk mengunjungi Gunung Papandayan, Garut.

Hari #1, Jumat, 21 Desember 2012

Janji bertemu pukul 20.00 WIB. Kami datang dari setiap penjuru mata angin, mengarah pada satu titik, Terminal Kampung Rambutan.

Orang yang pertama sampai, justru peserta yang datang dari titik terjauh. Tyas Listyo datang dari Tangerang, cukup beruntung tak menemui kemacetan. Tyas orang yang ceria, saya menyukainya. Tyas menjadi semacam ibunya anak-anak semenjak trip pertama kami ke Gua Buniayu, September silam. Dia mendapat panggilan sayang dari kami semua. Budhe, begitu kami memanggilnya. Meski begitu, jangan salah sangka, dia sama sekali bukan peserta tertua, bukan pula yang paling dewasa. Paling gila mungkin saja iya.

Bisa dibilang, Tyas selalu menjadi orang paling bersemangat tiap mau ngetrip. Belum tau mau ke mana saja dia sudah packing. Paling kompor.

Kembali pada jumat malam, sebagai peserta yang sampai duluan, Tyas mulai berisik di chat conference. Mengabsen satu-persatu peserta sudah sampai di mana.

Pukul 20.30 peserta mulai berkumpul. Tema obrolan kami nyaris seragam, lapar dan macet di mana-mana. Jakarta malam itu sungguh menyebalkan. Tak rela rupanya, ditinggal beberapa warganya untuk berlibur barang sebentar.

Di trip kali ini, ada tiga peserta baru. Nama, wajah, asal muasal benar-benar tak terdeteksi. Mereka adalah Anty, Ochi, dan Becca. Maafkan jika saya salah menuliskan nama. Tiga perempuan ini adalah bawaan Hendra. Entah teman apa, sampai sekarang saya juga tidak paham. Yang pasti bukan teman kerja juga bukan teman main. Mungkin temannya teman. Ah, sudahlah. Yang pasti kehadiran mereka menyemarakkan perjalanan kali ini.

Pukul 22.10 bus kami bergerak menuju Garut. Saya ingat persis, formasi duduk kami. Saya duduk bersama Milani Yunitasari atau Nita. Di belakang kami ada Delly dan Yudhis, lanjut Tyas dan Hendra, Putri dan Jeremi, dan di seberang, di bangku tiga ada trio Anty, Ochi serta Becca.

Nita adalah patner sehati saya. Kami pertama bertemu pada Mei 2011 silam, saat trip ke Dieng. Kami sering ngebolang bersama. Mengenalnya makin menjerumuskan saya pada trip yang satu ke trip yang lain. Tak apalah, toh ini penjerumusan yang menyenangkan, tanpa paksaan. Nita orang yang kalem tapi dalem. Dialah mama bolang sejati. Pengalamannya berpetualang tak diragukan lagi. Nita juga orang yang sangat lihai mengatur keuangan. Mau travelling murah, percayakan saja keuangan padanya, dijamin, kamu akan mendapat harga terbaik.

Pernah satu waktu, dia tak bisa menyertai saya ke Semarang. Pesannya akan akan saya ingat sampai mati:
Ingatlah, lebih baik kamu lapar mata disbanding lapar perut

Ini merujuk pada sifat saya yang sering kalap jika melihat barang asli daerah tujuan. Prinsip saya, sebisa mungkin memiliki kenang-kenangan benda. Baru menjadi masalah saat saya kalap membeli ini-itu. Pergi bersama Nita membuat saya merasa aman dalam hal financial. Dia akan cerewet membatasi pengeluaran saya, tidak berhenti di situ, dia juga akan memberi pinjaman jika pengendalian diri saya kelewat buruk. Terima kasih ya Ta, untuk kebaikannya selama ini.

Kirim cium di udara, mmuah..

Hari #2, Sabtu, 22 Desember 2012
Kami sampai di Terminal Guntur Garut pukul 03.00 dinihari. Udara dingin mulai menunjukkan aksi. Kami kompak merapatkan jaket kecuali Yudhis, si Pakdhe. Yudhis adalah pemimpin dalam trip ini. Dia bertanggungjawab penuh nyaris untuk segala urusan. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai urusan menu Yudhis lah yang mengatur. Kami tinggal terima enaknya saja, terima jadi. Yudhis pula yang ngotot, harus membeli bawang bombay. Cita-citanya adalah kami semua bisa menikmati spaghetti di puncak Papandayan. Kami lebih setuju, Yudhis ingin kami menggelar gala dinner di puncak sana. Ransum kami banyak bukan main, lebih dari cukup.

Terima kasih Pakdhe Yudhis, untuk kerealaannya memimpin kami, yang masih suka banyak protes, suka sedikit bandel tapi tetap diajak ngetrip. Sebagai ucapan terima kasih, kami persembahkan Budhe Tyas untukmu, hahahahaha..

Dari Terminal Guntur, perjalanan kami lanjutkan ke Cisurupan. Awalnya, pendegaran saya berhianat. Saya mendengarnya ‘kesurupan’. Jika benar, ngeri sekali nama daerah itu, untunglah, saya salah dengar.

Tak banyak yang bisa diceritakan. Jalanan masih gelap, pagi juga masih buta. Hanya dingin yang makin unjuk gigi. Kami sampai di Cisurupan pukul empat pagi. Cisurupan ini hanya perempatan jalan. Ada banyak mobil bak terbuka (bakter) yang parkir.

Kami menjadi rombongan pertama yang datang. Sempat mati gaya. Instruksi ini itu, istirahat berbagai posisi, juga berbelanja telur dilakukan di sini. Satu persatu rombongan lain mulai datang. Mereka tak membutuhkan waktu lama, hanya istirahat sejenak, melanjutkan perjalanan dengan bakter.

Kami baru mulai menuju pos terakhir sekitar pukul tujuh pagi. Saya dan Nita duduk disamping sopir. Tempat ternyaman. Sisanya, berkumpul macam ketan yang siap ditaburi kelapa di bakter bersama tumpukan ransel yang besarnya ampun-ampunan.

Sampai di pos, sekitar pukul delapan. Kami kembali beristirahat, sambil menunggu nasi selesai dimasak. Waktu mulai merayap ke pukul 10. Akhirnya kami benar-benar mulai mendaki. Sambil pasang senyum sumringah, kami mulai memasang tas di punggung.

Gunung Papandayan tergolong landai. Meski ketinggiannya mencapai 2.665 dpl, namun jalur pendakiannya relatif ringan. Baru sekitar 100 meter melangkah, gunung ini sudah mulai narsis pamer diri. Suguhan landscape nya luar biasa. Dibalik bukit kapur, terbentang banyangan puncak-puncak gunung berwarna biru muda. Seperti backdrop saja. Kami kompak melongo, terkagum-kagum dengan mahakarya Tuhan kali ini.
Sepanjang jalan, mata kami berwisata. Tidak hanya hijau rimbun pepohonan, namun juga putih gradasi bukit kapur sungguh menakjubkan.

Pendakian ini relatif santai. Sering berhenti untuk mengunyah ransum. Menu utama adalah agar-agar INACO, Choki-Choci, dan coklat Silverqueen yang jadi rebutan.

Kami tiba di Pondok Salada pukul 13.00. Di sini kami akan mendirikan tenda. Sudah ada banyak tenda berdiri. Pondok salada hari itu menjamu banyak tamu.

Kami membawa tiga tenda Lafuma kuning. Lokasi kami berkemah agak jauh dari peradaban, mengingat kami ini berisik bukan main, rasanya ini keputusan bijak.

Dari siang hingga malam, kami berkegiatan tak banyak macam. Masak, makan, masak lagi dan tentu saja makan lagi. Saat petang mulai merambat, suhu udara makin menggigil, ditambah hujan yang turun semakin memperparah suhu. Keberisikan kami mulai padam pukul 21.00. Kami mulai kalem di dalam tenda masing-masing. Entah apa yang terjadi di tenda lain, namun di tenda kami yang berisi saya, Tyas, Nita dan Putri masih cukup aktif. Putri menjadi orang yang terlelap lebih dulu, disusul Nita. Saya dan Tyas kemudian malah asik berbagi kegalauan.

Hari #3, Minggu, 23 Desember 2012
Sekitar pukul 05.00 Tyas mulai membangunkan saya. Kami ingin ke tegal Alun. Namun dengan alami, rencana itu bubar jalan. Kami malah heboh memasak spaghetti impian Yudhis. Pagi itu ceria sekali, kami malas berjamaah, sulit sekali mencari relawan pengambil air dan pencuci piring.

Masak-memasak dimulai, dengan api cukup kecil, serta banyaknya topping, akhirnya spaghetti impian matang sudah. Asli, selama saya mendaki, ini adalah makanan gunung termewah. Spaghetti dengan bumbu Bolognese daging cincang plus sosis goreng dan telor kornet. Beuh, sarapan pagi yang enak luar biasa jendral.

Eit, saya nyaris lupa. Ada seorang yang tak menikmati menu dahsyat pagi itu. Dia adalah Delly Andrian. Saya lebih senang menyebutnya si klimis. Sebutan ini tentu bukan tanpa alasan. Tampilannya selalu rapi, kinclong tak ternoda. Delly juga sosok paling misterius, tak tertebak. Pembawaannya kalem, tak banyak tingkah, tapi sekali berucap, nusuk sampe ke ulu hati. Delly tipikal pemilih, terbukti dari menu makannya yang tak seperti kami semua. Untungnya, meski ia mengaku tak menyukai spaghetti, dia sungguh tak merepotkan. Untuk menu sarapan paginya, Delly cukup puas dengan mie instant. Delly agak rewel saat mulai meminta tutu otat. Maksudnya susu coklat. Ah, biar sok cadel, keimutan sama sekali malas mendekatimu Delly Mince!!!

Akhirnya baru sekitar pukul 11 kami baru selesai berkemas. Mengingat jalur yang tak mudah menuju Tegal Alun, sebaiknya kami tidak membawa banyak barang. Dengan penuh besar hati, Delly dan Anty memutuskan tak ikut serta. Mereka berdua menjaga tas kami. Duh, kalian berdua baik sekali, kami berhutang budi..

Kami bersembilan menuju padang edelweiss Tegal Alun. Jalur yang dilewati tak bisa dibilang mudah. Setelah melewati hutan mati, jalanan menjadi licin ditambah pula dengan guyuran air hujan. Terpaksalah kami memakai jas hujan.

Namun tak ada perjuangan yang sia-sia. Kelelahan kami dibayar lunas oleh pesona padang edelweiss. Puas berfoto, kami memutuskan segera turun. Tak tega membiarkan duo Delly-Anty menjaga tas kami lebih lama lagi.

Sekitar pukul 14.00 tim telah kembali lengkap. Kami turun gunung. Bertekad secepatmungkin sampai pondokan, kami tak banyak beristirahat. Sempat ada sedikit insiden, saat rombongan ingin menjajal jalur yang berbeda. Setelah menyebrangi sungai cukup terjal, ternyata itu baru permulaan. Setelahnya, ada jalur nyaris vertical. Kengerian makin diperparah oleh teriakan rombongan lain. Mereka berteriak, menyuruh kami berputar arah, karena jalur di depan kami adalah jurang. Dilema mulai terjadi, untuk berputar membutuhkan energi yang tidak sedikit, namun jalur yang akan kami lalui juga tak memberi harapan pasti.
Di sini, Jeremi mulai unjuk gigi. Jeremi Lee yang sehari-hari bekerja sebagai guru sejarah ini memang memiliki sifat melindungi. Di jalur terjal, Jeremi mendampingi setiap orang yang turun. Mulai dari menahan, memberi instruksi batu pijakan, sampai menjadi pengaman dari runtuhan batu. Kang Jeremi teh heroik pisan lah.

Bercerita soal Jeremi, kamu bisa menanyakan apa saja padanya, dan dia akan selalu memiliki jawaban. Otaknya seperti gudang ilmu. Ensiklopedia. Setiap orang yang dekat dengannya, juga akan sangat mudah merasakan ketulusan hatinya. Pokoknya kalo cari pacar, carilah yang mirip Jeremi. Hahaha..

Tapi, diantara keceriaannya yang mendalam, saya menduga kuat, Jeremi adalah seorang introvert terselubung. Entah peristiwa apa yang dialaminya, sepertinya ada kenangan buruk yang cukup membuatnya belajar dan menjadi kuat dalam menjalani hidup. Maaf ya Jer, kalau sok tahu saya kambuh, piss ah..

Setelahnya, jalur yang harus kami lalui cukup aman. Lawan terberat kami adalah rasa lelah. Ajaibnya, saya masih bisa melihat wajah sumringah penuh semangat. Inilah wajah Putri Sari Suci. Dialah adik bagi kami semua. Si penebar kebahagiaan. Seseorang yang quote nya saya ambil tanpa izin untuk di pasang dia wal tulisan ini.

Putri seorang yang ceria. Semua sepertinya terasa enteng dimatanya. Dalam hal ketulusan, Putri sejajar dengan Jeremi. Karena dia sempat mengenyam pendidikan di Newcastle, England, Putri sering menjadi bahan olok-olok bagi kami.

Putri adalah anggota rombongan yang seharusnya paling berat hati untuk pergi. Karena sampai menjelang keberangkatan, ibunya tak juga kunjung memberi restu. Entah karena nekad atau bujukan kami terlalu manjur, Putri nekad berangkat meski tidak berbekal restu.

Delly sempat berucap, kesalahan terbesar Putri adalah bertemu kami, para jemaah bolang. Namun saya lebih meyakini sebaliknya.

Putri selalu ceria. Disuruh apa saja dia mau. Saat kami mati gaya dan nyaris mati bosan, maka Putri akan bernyanyi menghibur kami semua. Lagaknya bak komposer kelas dunia. Pilihan lagunya pun, beragam bukan main. Terima kasih ya Putri, untuk hiburannya, serta semangatnya selama perjalanan, energimu menular ke kami semua.

Sekitar pukul 17.00 akhirnya kami tiba di pos. menandakan perjalanan Papandayan akan segera berakhir. Langkah makin gontai, lelah mulai merambati kaki. Namun, saat perjalanan nyaris finish, Hendra justru tersandung. Jalannya menjadi pincang, saya duga kakinya terkilir. Sedih sekali melihat laki-laki tak banyak cakap ini harus jalan tertatih.

Hendra adalah sosok mulut terkunci, jarang bicara, pelit senyum, lengkap sudah dengan muka yang cukup banyak cemberut pula. Tapi kesemua sifatnya, merujuk pada satu karakter, cool. Saya dan Tyas setuju menyebutnya tengil. Hendra seperti leader bayangan. Ia menyuplai beberapa kebutuhan trio Anty-Ochi-Becca.

Bahkan, saat kepulangan pun, Hendra pulang lebih dulu bersama trio ini.

Berhubung waktu liburan masih jauh dari usai, perjalanan dilanjutkan ke Pantai Rancabuaya. Namun empat orang dari kami tak ikut serta.

Ah, senang sekali mengenang perjalanan kali ini. Ingin rasanya, membekukan setiap kenangan yang ada, meletakkannya di lipatan otak, agar tak usang dimakan waktu. Terima kasih ya untuk kebersamaan dan aroma persahabatan yang akrab. Kalian semua blengcek!!!