Kamis, 29 Maret 2012

Jejak Pertama di Borneo


Pekatnya biru pada langit mempercantik gumpalan awan yang menenangkan

Bulan April telah menjelang, akan menimbun Maret dengan gegap gempita. Pikiran melayang, kembali mengingat, apa-apa saja yang telah saya kerjakan. Jawabannya tak banyak. Tetap bepergian, menjejelajah ke tempat-tempat baru dan bertemu dengan orang-orang baru.

Kejadian lama yang selalu berulang, adalah kemalasan saya untuk membuat catatan perjalanan. Tapi, baiklah, saya sedang berusaha menyisihkan rasa malas ini.

Pertengahan Maret lalu, saya berkesempatan menjejakkan kaki di tanah Borneo. Benar-benar baru pertama kali. Untuk bekerja.

Menumpang maskapai lokal, Trigana Airlines. Ada yang tidak tahu maskapai macam apa ini?

Tenang saja, memang tak banyak yang tahu dengan keberadaan maskapai ini. Sekedar intermezzo, Trigana merupakan satu-satunya maskapai yang menyediakan rute penerbangan Jakarta-Pangkalan Bun. Tidak ada maskapai lain, tak satupun.

Saya berangkat seorang diri pada 13 Maret. Tertera pada tiket, jam keberangkatan saya adalah pukul 09.50. Saya diwanti-wanti agar datang sepagi mungkin, jangan sampai terlambat, mengingat sehari sebelumnya, kolega sempat membuat insiden tertinggal pesawat dari maskapai yang sama. Alhasil, saya sama sekali tak terlambat, malahan terlalu cepat. Bayangkan, jarum jam belum menunjuk ke angka 7 dan saya sudah duduk manis di terminal 1C menunggu loket check in dibuka. Takut terlambat dan terlalu bersemangat memang berbeda tipis.

Jam 9 teng, penumpang dipersilahkan masuk ke dalam pesawat. Jujur, saya agak khawatir. Terbang seorang diri, ke daerah yang lumayan pelosok pula. Begitu sampai di dalam pesawat, oh la la. Kursi penumpangnya cukup membuat saya tertegun. Kursi busa yang lumayan usang. Ah, beginilah wajah maskapai penerbangan kecil, batin saya.

Singkat kata, saya lumayan menikmati perjalanan. Menikmati gelembung awan yang menyerupai marsmellow. Menikmati suguhan alam dan hutan Kalimantan dari udara. Pohon-pohon yang meranggas hijau, menyerupai brokoli. Juga ada petak-petak berjajar rapi, saya duga itu adalah perkebunan sawit.

Bandar Udara Iskandar, Pangkalan Bun jauh lebih kecil dari yang saya bayangkan. Sederhana dan menenangkan. Bahkan saya sempat bertemu dengan Fred, anak laki-laki dr. Birute Mary Galdikas, seorang tokoh yang cukup disegani karena kepeduliannya pada kelangsungan hidup orangutan. Saya hanya menatap penuh kagum, dia ganteng.

Dari Pangkalan Bun, perjalanan saya berlanjut ke Hanau. Di sini saya menemukan sebuah kehidupan yang menyenangkan. Hidup yang bersahaja, penuh kesederhanaan.

Sebuah sekolah dasar yang berdiri kokoh, lengkap dengan berbagai sarana penunjang. Melihat anak-anak ini penuh semangat menimba ilmu, serta penuh tawa berlari-larian. Ah, saya jadi iri dengan ketenangan hidup di tempat ini.

Sekolah ini mengajak saya untuk menjelajahi kenangan belasan tahun silam. Saat saya masih mengenakan seragam putih merah. Bermain dengan riang bersama teman sebaya. Di Jakarta, pemandangan anak-anak kecil bermain di lapangan dengan bebas di waktu istirahat pasti nyaris mustahil. Anak-anak metropolis lebih memilih untuk diam dikelas, bermain dengan gadget terbaru. Aktivitas fisik bukanlah sesuatu yang menggugah minat.

Di depan sekolah terdapat bangunan dengan atap biru cerah. Bangunan ini adalah rumah pintar. Sebuah bangunan yang ditujukan untuk menggali potensi bagi anak-anak maupun para ibu. Di rumah ini, setiap orang memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk bermain sambil belajar. Ada perpustakaan, ada televidi dan DVD beserta playernya, ada computer, dan banyak mainan anak. Saya yang sudah dewasa saja betah berlama-lama memainkan setiap fasilitas yang ada di rumah pintar ini.

Bagi para ibu, tersedia sentra kriya. Terdapat mesin jahit yang kelak akan digunakan untuk melatih kemampuan para ibu. Sewaktu saya berkunjung, para ibu ini sedang mempraktikkan smoke, seni melipat dan menjahit kain yang menghasilkan bentuk unik.

Pengelola program di rumah pintar ini ada dua. Mereka disebut tutor dan asisten tutor. Dwi Puspa Setiasih dan Nur Indah Fitriani. Mereka adalah dua orang berhati mulia yang membaktikan diri untuk pengembangan rumah pintar ini.

Hidup di sebuah perkebunan macam ini, mau tak mamu memaksa setiap orang untuk menyelami kesederhanaan. Mengikuti ritme yang kadang berjalan terlalu lamban. Menjalani rutinitas yang trlampau monoton. Lalu, apakah saya merasa bosan? Tidak.

Saya menikmati setiap detik yang berjalan di tempat asing ini. Menikmati setiap fragmen bersama dengan orang-orang asing di tempat terpencil. Ketulusan hati yang ditawarkan dengan sebongkah senyum sayang menjadi pewarna alami disetiap waktu yang saya habiskan.

Bahkan, di malam terakhir, seorang ibu menyempatkan diri membuatkan empek-empek. Rasanya jangan ditanya, enak bukan kepalang. Di sini, saya mengucapkan terima kasih untuk Ibu Harefa yang dengan baik hatinya membuatkan kami makanan lezat yang bahkan begitu terpatri kuat dalam semak-semak ingatan.

Tepat di hari keempat, saya harus kembali. Pulang menjejakkan kaki di bentangan Jawa. Kembali disambut macet, bising dan orang-orang bersuara keras yang memekakkan telinga. Di perjalanan pulang menuju rumah, lamunan saya melayang. Mengingat setiap peristiwa di tanah Borneo. Mengingat senyum anak-anak yang tanpa beban. Mengingat eratnya pelukan para ibu yang saya pamiti. Ah, saya pasti kembali, entah kapan.

Selasa, 20 Maret 2012

Menitipkan Hati


Padamu kutitipkan sepotong hati
Untuk dijaga sebaik mungkin
Jika tak berkenan mohon dikembalikan
Jangan diterima lalu diabaikan.


gambar diambil di sini