Selasa, 27 April 2010

getir..


hati yang meranggas tak tentu arah. saat sebuah perjalanan harus usai, maka sudahilah dengan sebaik mungkin. bagaimanapun, semua akan menuju pemberhentian. inilah korelasi hidup, antara ramai dan sepi, suka dan duka, hitam dan putih, pun aku dan kamu.

tak ada yang mau aku lakukan untuk menghentikannya, kecuali aku yakin ada kata kita disana, bukan sekedar aku ataupun kamu.

hidup tetap harus berjalan, meski getir terus merintih minta berhenti. tapi waktu tak pernah menunggu barang sejenak bukan? jadi, mari bersama kita berjalan menuju halte-halte kisah lain yang minta di datangi barang hanya sesekali.

Kamis, 15 April 2010

sedang bersemangat


Terancam menggila

Banyak pekerjaan yang harus dikerjakan dalam satu waktu. Saya senang-senang saja melakukannya. Capek sih sudah pasti, tapi yang terpenting dari itu semua, saya memang mau melakukannya. Ada semacam passion tersendiri yang membuat saya tetap memiliki energi untuk menyelesaikannya satu persatu.

Baru menjadi masalah adalah jika situasi tidak dapat berkompromi dalam pengaturan waktu. Saya yang makhluk tunggal, tentu akan sulit mengerjakan dua hal yang berbeda di waktu bersamaan. Lebih tidak mungkin lagi jika harus berada di dua tempat di waktu yang bersamaan. Untunglah sampai sejauh ini, semua terkendali dengan baik.

Saya sedang bersemangat. Semoga semangat ini akan menarik saya perlahan dan pasti ke perubahan yang lebih baik. Perubahan yang akan membawa saya pada masa cemerlang penuh tantangan. Saya masih sangat muda, membutuhkan banyak tantangan untuk menaklukkan hidup yang terkadang semakin beringas.

Beberapa hari terakhir ini, saya juga berkesempatan untuk bersua dengan orang-orang hebat. Usianya jauh diatas saya, namun prestasi yang berhasil dikumpulkan pun melebihi batas wajar. Saat saya seusia orang-orang hebat ini, saya mau menjadi hebat. Meski jika ditanya menjadi hebat yang seperti apa pun saya tak tahu pasti.

Coba nikmati saja kemeriahan hari demi hari, meski sejujurnya kepala pusing setengah mati. Menggila, bagi saya tak selalu berkonotasi negatif.menggila bisa jadi penggambaran kondisi bersemangat sangat. Ya, meski sedang sibuk berat, namun saya bahagia.

So?
Nikmat mana lagi yang saya dustakan???

Selasa, 13 April 2010

metamorfosa centil


Beberapa hari belakangan ini, kalimat ”Metamorfosa menjadi kupu-kupu” akrab terngiang di telinga. Entah mendapat wangsit darimana, yang pasti saya ingin berubah. Berubah dalam artian menjadi lebih peduli dan rapi dalam urusan penampilan. Beberapa teman hanya tersenyum simpul, tahu karakter asli saya yang serba anget-anget tai ayam, bersemangat hanya di muka. Itu masih jauh lebih baik, terkadang malah nol realisasi meski rencana berkumandang di pelosok negeri. Hehehehe, inilah saya, harap maklum ya.

Namun keinginan menjadi cantik rupanya lebih kuat daripada rencana yang sudah-sudah. Langkah pertama adalah merayu Mila dan Katri untuk menemani berbelanja alat perang di Puri. Alat perang yang dimaksud berupa mascara dan eye liner. Hari itu, saya baru tahu kalau ada eye liner bentuk mirip crayon.kan selama ini tahunya cuma yang pencil dan cair. Begitu diberi informasi mengenai keberadaan eye liner crayon, saya langsung tertarik. Menjanjikan kepraktisan tanpa raut.

Mascara dan eye liner terbeli sudah. Sejak kemarin sudah teraplikasi dengan manis dimata. Hasilnya, beberapa teman berkomentar positif. Ada yang menuduh saya telah insaf (emangnya selama ini saya murtad apa?). beberapa yang lain memberi komentar singkat, bagus.

Semalam, urusan kantor mengharuskan saya menyambangi pusat perbelanjaan elit. Disana bertemu dengan Ari, si cowok CHS yang selalu tampil eksentrik.

Komentarnya, ”Abis dari pergi-pergi ya?”

Hahaha, berhasil! Berarti cita-cita saya untuk tampil beda berhasil. Tolak ukurnya adalah, orang-orang bisa langsung mengenali adanya perubahan di mata saya. Nah, keberhasilan merubah penampilan disempurnakan dengan pertanyaan Ari. Kita kan jarang ketemu, kalau dia ampai tahu ada yang berubah, berarti perubahan ini pastilah dasyat. Teori asal yang saya yakini kebenarannya.

Sebenarnya, saya juga gak tau mengapa melakukan semua ini. Tiba-tiba saja muncul. Mungkin tergelitik iri melihat para perempuan yang anggun melenggok di mall. Atau bisa jadi manifestasi kecewa. Untuk alasan kecewa, saya tak berani memastikan. Saya yang kecewa atau malah dia yang kecewa? Tak jelas. Mungkin kami sama-sama kecewa. Ya sudahlah.

Yang pasti, saya ingin semuanya cepat-cepat selesai. Biar tenang, tanpa beban.

Kembali ke urusan metamorfosa. Tak ada niatan apa-apa. Hanya ingin tampil beda. Hak saya sepenuhnya kan? Jadi tolong, buat yang punya komentar negatif berintonasi nyelekit, simpan saja dalam hati. Sensitifitas saya sedang menebal.

Selasa, 06 April 2010

sedang bingung

terbang mengangkasa
layaknya elang
yang terkadang cukup sial
bersanding dengan petir yang menggelegar

jangan sembarangan sesumbar
sok ingin menjadi berarti
begitu kesempatan datang
ragunya setengah mati

berani dan tidak
hanya kamu yang memutuskan
resiko tentu selalu ada
posisinya tepat berdampingan
dengan berkah yang mungkin saja kau dapat

Minggu, 04 April 2010

sonata sendu

aku tertancap
dalam ladang persembahan
selang beberapa waktu
kakiku membelukar
menuju segala arah
meski banyak tujuan yang tercipta
hanya satu yang pasti aku tahu
kemana jalan pulang
harus kutuju..

tak perlu khawatir
aku akan baik-baik saja
malaikat penjaga yang kau pesan bekerja sangat baiknya
justru aku yang khawatir disini
kamu sendirian saja disana
terpuruk dalam rasa sepi
dan kerinduan bisu yang tak bisa kau bagi

Sabtu, 03 April 2010

Jelajah Tidung Bersama Tim 11 Untar



Baru saja miLLe Explorer mengadakan trip perdana menjelajahi pulau yang selalu dan selalu saya rindukan. Pulau Tidung. Sebuah pulau yang berada dalam jajaran Kepulauan Seribu dan merupakan pulau kedua yang berpenghni setelah Pulau Pramuka.

Pulau Tidung memang tidak memiliki kepopuleran seperti Pulau Pramuka yang konon memiliki lokasi penangkaran penyu, namun pulau ini memiliki daya tarik yang tidak kalah.

Salah satu keistimewaan terletak pada jembatan yang menghubungkan Tidung Besar dan Tidung Kecil. Panjang jembatannya tak kurang dari 2 kilometer. Setiap pengunjung bisa melaluinya dengan sepeda ataupun berjalan kaki. Meskipun untuk pilihan kedua, saya sangat tidak menyarankannya, terlebih jika panas sedang menyengat di siang yang terik.

Perjalanan yang berlangsung 19-21 Maret ini menyisakan kisah dalam beragam warna. Ada merah, hijau, kuning, biru, abu-abu, bahkan hitam pekat bagi beberapa orang. Namun secara keseluruhan, jika boleh, saya ingin memasukkannya dalam kotak kuning. Tak ada alasan spesifik, apalagi bermuatan filosofis. Hanya alasan sederhana, keceriaan yang tercipta begitu sempurna, meski sempat ada sebuah insiden, tak berhasil merusak kegembiraan yang kami lalui bersama. Yah, saya rasa, kuning warna yang cocok.

Perjalanan diawali dengan janji bertemu dengan rombongan pukul 5 dinihari di pelataran Universitas Tarumanagara (bener ya spell-nya?). Dibanding saya, Hans datang lebih dulu. Meski demikian, Hans rupanya didahului oleh Layar, peserta yang paling dewasa diantara rombongan. Kedewasaannya terlihat dari sikapnya memperlakukan 10 peserta lain yang notabene memang juniornya di kampus.

Saat saya sampai dilokasi yang dijanjikan, rupanya telah hadir dua peserta. Peserta kedua yang datang bernama Anto. Laki-laki berperawakan sedang dengan rambut yang berpotongan penuh gaya ini memberikan saya catatan khusus. Dia sangat senang difoto. Percayalah, berapapun banyaknya lensa kamera menjepret, gayanya tak akan pernah habis. Selalu tersedia. Seperti halnya model pakaian yang dikenakan. Di hari kedua, Anto malah menggunakan kaos dengan model tak lazim.

Selanjutnya saya tidak ingat persis, siapa saja urutan peserta yang hadir. Satu persatu datang berkumpul, dan saya berusaha sekuat tenaga mengingat tiap fragmen wajah mereka. Sayang, usaha saya gagal total di hari pertama. yang tidak saya lupa adalah peserta yang terakhir datang. Setelah diatas kapal, baru saya tahu, peserta pamungkas dalam perjalanan ini bernama Yeni. Sosoknya mungil. Paling mungil malah, jika dibandingkan dengan peserta lainnya. Namun, jangan coba-coba meragukan nyalinya. Semua temannya saya rasa akan menyepakati, keberanian Yeni saat melakukan terjun diatas jembatan dengan ketinggian 5 meter sungguh mengejutkan. Si pendiam yang cenderung enggan ambil bagian saat yang lain bersenda gurau ini memiliki mental malas bicara langsung saja bertindak. Voila…semua terkejut dan terkagum-kagum.

Dua peserta perempuan yang memiliki nyali tak kalah besar adalah Shanti dan Yantica atau biasa disapa dengan sebuatn Asuang. Keduanya sama-sama berambut panjang. Sama-sama suka difoto, dan yang pasti sama-sama berisik. Konon, tempat tinggal merekapun berdekatan, benar-benar sabahat siam saya rasa.

Perjalanan kami dimulai dengan menumpang Taxi Transcab menuju Muara Angke. Ternyata, jadwal pelayaran kapal tidak secepat yang saya kira, malah rombongan kami termasuk penumpang yang pertama hadir. Selama perjalanan, kami saling bercerita, bercanda, dan tentu saja mencela. Kebiasaan khas anak muda.

Anto mengusulkan untuk bermain kartu. Akhirnya, saya dan 3 peserta lainnya terlibat dalam permainan kartu yang seru. Semuanya sibuk dengan keriuhan masing-masing sampai kapal mendarat di dermaga Pulau Tidung.

Di Dermaga, kami dijemput oleh Ricky, si anak pulau yang kalem.

Saya berkenalan dengannya pada awal tahun ini saat kali pertama menyambangi Tidung. Ricky sempat mengenyam bangku kuliah di Universitas Islam Syarif Hidatullah Jakarta. Saat ini dirinya bekerja di tiga istitusi berbeda dengan posisi yang berbeda pula. Bahasa kerennya, Ricky menjalani tiga profesi dengan job desk dan lokasi berbeda dalam waktu bersamaan. Wow…siapa yang tak kagum?! Pembawaannya yang santun menambah daftar kekaguman saya padanya. Dugaan saya, pasti banyak gadis-gadis yang menaruh hati. Terasa sekali saat beberapa kali saya berboncengan motor, ada beberapa makhluk hawa yang melemparkan senyum simpul. Senyum itu tidak mungkin untuk saya kan?!!

Mengikuti instruksi Ricky, kami menuju rumah yang akan menjadi tempat tinggal selama bermukim di Tidung. Jaraknya lumayan jauh, apalagi bagi yang tidak biasa berjalan, pasti cukup menyiksa.

Tibalah kami disebuah rumah yang memiliki ruang tengah cukup lapang. Pemiliknya bernama Pak Sueb. Keluarga ini meminjamkan dua kamar tidur dan satu ruang tengahnya untuk kami.

Begitu sampai, kami langsung menyantap makan siang yang disediakan oleh tuan rumah. Menunya adalah nasi, sayur asam, ikan asin, lalapan, sambal dan tempe goreng.

Sen Sen menjadi satu-satunya peserta yang tidak memakan daging alias vegetarian. Selama disana, menu specialnya adalah telor mata sapi dan sambal. Saya sempat lupa tidak memesankan si telor mata sapi, akhirnya dia hanya makan dengan tempe goreng. Kasians ekali saya melihatnya, tapi yam au apa lagi? Tak ada yang bisa dilakukan juga.

Usai makan siang, kami langsung bergegas memilih sepeda dan mulai menggenjotnya. Semilir angin yang sepoi-sepoi semakin mempertegas suasana pesisir. Saya dan Hans akhirnya membelah diri. Bersama para sahabat miLLex, Hans mengajak berkeliling pulau, sedang saya ditemani Ricky menyiapkan bibit bakau yang akan kami tanam di Tidung Kecil.

Satu persatu pohon Bakau kami tanam. Peserta penuh rasa antusias menanamkan tunas-tunas harapan yang semoga saja suatu hari kelak dapat menghadang arus ombak laut yang terkadang merusak.

Usai menanam bakau, rencana awalnya adalah menikmati kelapa muda yang langsung dipetik dari pohonnya. Sayang seribu sayang, bapak-bapak si pemetik kelapa sedang pergi ke Tangerang. Kesempatan menikmati segarnya kelapa muda raib sudah.

Sambil menunggu sunset, kami semua membekukan momen lewat jepretan kamera yang di bawa Hans, Layar, Yenny, dan tentu saja Jimmi. Jimmi bisa dikatakan si kepala suku dalam kelompok perjalanan ini. Dialah yang mengkoordinir semua peserta agar turut serta. Ekspektasinya mengikuti trip ini adalah menambah koleksi foto-foto yang saya yakin sudah berjibun. Belakangan saya ketahui, Jimmi pengusaha muda yang mumpuni. Like this dua jempol untuk keuletannya menjalankan ini itu dalam usia yang masih belia.

Sunset yang ditunggu pun datang. Sekali lagi, dengan kemenangan mutlak, alam mempesonakan mata kami. Kami, sekelompok remaja yang terkadang begitu pongah terhadap realitas dunia, terangkum dalam satu suara, mengagumi keindahan suguhan sang pencipta.

Begitu gelap menjelang, kami menuju jalan pulang. Bersepeda ria, menyusuri setapak . Entah bagaimana ceritanya, kelompok tercerai berai menjadi tiga sub kecil. Untunglah, kami selamat sampai rumah, lengkap.

Setelah makan malam, jadwal berikutnya adalah mencari ikan di dermaga utara.

Air laut begitu jernih. Kami juga diberi bonus taburan bintang yang memenuhi angkasa raya. Meski hasil pancingan tak seperti yang diharapkan, namun kenyamanan suasana dermaga membuat kami malas beranjak. Beberapa anak harus dipaksa agar mau beranjak pulang dan beristirahat.

Hari kedua, waktunya snorkeling.

Tunggu dulu, ada yang harus dilakukan sebelum menaiki kapal. Ya, peserta diharuskan untuk memungut sampah yang ada di dermaga. Maaf kawan, untuk sesi ini saya tak begitu tahu apa yang terjadi. Hans bercerita, kalian menunjukkan sikap yang rupa-rupa. Ada yang bersemangat, ada juga yang malas. Tak apa, paling tidak, ini akan menjadi pengalaman yang patut diceritakan. Paling tidak, kali ini kalian telah member sesuatu pada alam. Bukankah kita juga terlalu banyak menikmati alam?

Pelayaran akhirnya dimulai. Tujuan pertama adalah pulau Karang Beras. Kami berencana untuk makan siang di pulau kecil tak berpenghuni ini. Meski tak sama persis, saya ingin peserta merasakan makan di pulau pribadi sambil ditemani kicau burung dan semilir angin laut yang melenakan.

Ternyata kata tak berpenghuni tidak sepenuhnya tepat saya tujukan bagi pulau karang Beras. Di pulau ini sedang di bangun resort, yang rencananya mulai beroprasi per oktober 2013. Ada dua orang patugas yang berjaga, untungnya kami diperbolehkan makan siang di pulau mungil ini, asalkan tidak mencipta sampah. Selain makan siang bersama, peserta memulai snorkeling. Nyaris semua peserta menceburkan diri, kecuali Meryska. Meryska mirip dengan saya, bernyali ciut jika dihadapkan dengan renang. Gadis berambut panjang ini juga baru mengaku di hari kedua, jika dirinya tak terlalu menyukai ikan. Glek. Padahal menu sehari-hari yang saya rencanakan adalah ikan dan ikan.

Perjalanan kami lanjutkan menuju lokasi snorkeling sesungguhnya.

Kapal mengantarkan kami ke parairan yang terlihat dangkal. Dari kapal saja terlihat karang dan ikan-ikan berwarna-warni yang seolah mengundang kami untuk menyambanginya. Satu persatu terjun. Tiap orang mulai asik dengan kekagumannya masing-masing.

Disini, Yenni dan Asuang tanpa sengaja menjatuhkan alat snorkeling di perairan yang dalamnya lebih dari 22 meter. Keceriaan langsung raib dari wajah mereka. Peserta lain berusaha menghibur.

“Tak apa kawan, soal ganti rugi, nantilah kita bicarakan, yang bisa kita lakukan saat ini adalah lanjutkan kesenangan agar tak menyesal kemudian hari,” guman saya.

selain bersnorkel ria, beberapa peserta juga memancing. Setiap ada ikan yang berhasil kami pancing, sorak-sorak bergembira langsung berkumandang. Bahkan Okem dengan senang hati menyiksa binatang-binatang malang yang berhasil kami tangkap. Entah dari mana, Okem mewarisi sifat sadis ini. Laki-laki ini memiliki perpaduan sifat yang agak janggal menurut saya. Sekali waktu dia begitu manis dengan hobinya yang suka jajan. Namun, di waktu berikutnya, dia sangat bersemangat melihat ikan menggelepar akibat ulahnya. Aneh.

Petualangan terus berlanjut menuju jembatan. Yang memiliki nyali besar tak melewatkan kesempatan untuk terjun diatas ketinggian 5 meter. Ada Yenni, Asuang, Shanti, Anto, Okem, Sensen, Layar, Anto, Cipto, dan Rendy yang menikmati sensasi lepas bebas melayang dan kemudian terhempas di air.

Untuk Cipto dan Rendy harus melalui sesi khusus. Awalnya mereka berdua takut, namun peserta lain begitu bersemangat menggoda.

Rendy malah sempat menemukan teman seperguruan dalam hal meragu. Ya, laki-laki kurus yang jago mengedit foto ini akhirnya berani menghempaskan diri dari ketinggian 5 meter.

Kami menikmati kegiatan berkecipak-kecipuk dalam air hinggam senja menjelang.Kemudian kami pulang.

Selanjutnya adalah Time To Barbeque. Meski lelah bukan kepalang, usai membersihkan diri dan makan malam, kami beranjak ke dermaga untuk membakar hasil pancingan siang tadi. Sambil mengelilingi api unggun dan diiringi gitar pinjaman, kami menyampaikan keluh kesah dan tentu saja kesan yang berhasil terekam dengan mendalam. Senang rasanya, setiap peserta ternyata merasa bahagia dengan petualangan yang nyaris berakhir ini. Beberapa memberikan saran untuk mille Explorer. Sambil menikmati gurihnya ikan, kami semua larut dalam suasana akrab.

Ups, tidak bisa dikatakan semua. Cipto asik sendiri menceburkan diri di dermaga. Dia sepertinya takjub dengan jernihnya air, sehingga ikan-ikan terlihat jelas. Tangannya menyorong-nyorong. Berusaha menangkap ikan dengan kedua tangannya.

Kebersamaan kami terus berlanjut hingga larut. Kelompok terakhir baru meninggalkan dermaga sekitar pukul 02.00 dinihari.

Keesokan harinya, kami bergegas dan bersiap-siap pulang. Tak ada satu pun dari kami yang mandi, hanya cuci muka dan gosok gigi seadanya. Takut tak mendapatkan kuota tumpangan, saya datang lebih cepat dari pada si penjual tiket. Di dermaga, saya juga menyelesaikan masalah ganti rugi alat snorkeling yang hilang. Dari Jimmi, saya ketahui, seluruh peserta sepakat untuk patungan demi mengganti alat yang hilang. Salut untuk kekompakan dan rasa setia kawan kalian.

Sekitar pukul 08.00 kapal mulai berlayar menuju Muara Angke. Usai sudah perjalanan. Terimakasih kawan, untuk pengalaman mengesankan bersama kalian. Semoga, kebersamaan kita bukanlah yang terakhir, melainkan pintu yang membuka cakrawala untuk perjalanan-perjalanan berikutnya. Adios!!

Jakarta Barat, 1 April 2010