Jumat, 24 April 2015

After Meet Syndrome

Dengan berat hati, saya mengakui, ternyata saya memang terlahir dengan jiwa romantis akut. Ini kutukan atau malah berkah, entahlah. Mungkin pasangan saya kelak yang bisa memutuskan.

Dimulai saat semalam iseng membuka email. Mendapati folder yang isinya surat cinta, untuk seseorang yang pernah menjadi kekasih di masa lalu. Amboi, banyak sekali kalimat beraroma bunga-bunga penuh cinta dan pemujaan. Tenang saja, saya tidak sedang terkena demam kenangan. Toh, tergila-gila, jatuh cinta hingga batas maksimal dan entah apalagi istilahnya itu, tentu dialami oleh semua orang. Buat yang memungkiri, duh, kasihan sekali kamu.

Meski tak selalu berakhir bahagia, jatuh cinta tentu menjadi hal terindah yang harus disyukuri.

Diantara beragam email cinta itu, saya mendapati istilah ciptaan bernama after meet syndrome. Istilah ini bisa adi melintas di kepala karena saya sempat menjadi script writer untuk program talkshow kesehatan selama bertahun-tahun.

Jadi, after meet syndrome adalah istilah yang sering saya ucapakan, untuk menggambarkan betapa saya sedang merasa rindu sangat pada kekasih, justru setelah bertemu. Rindunya malah jadi berkalilipat hebatnya, dan baru akan menurun kadar intensitasnya setelah berhari tak bertemu, begitu.

Dipikir-pikir, after meet syndrome ternyata tak hanya berlaku pada sebuah hubungan, namun juga pada sebuah pengalaman. Saya yang gemar bepergian, biasanya masih akan terbayang-bayang tempat cantik yang baru saya singgahi, hingga berhari-hari kemudian. Masih tersenyum membayangkan kesenangan berada di sebuah tempat, bersama teman tersayang.


                        coba, bagaimana tempat seperti ini tak membuat terbayang-bayang?

Jadi, untuk setiap kejadian menyenangkan yang terjadi dihidupmu, dan hingga berhari setelahnya kamu masih mengenangnya komplit dengan paket senyum dikulum, itulah yang namanya after meet syndrome.

Kamis, 09 April 2015

Menonton Filosofi Kopi


Jangan bayangkan ini sebuah resensi film, hanya kesan yang mendalam usai menonton.

Menonton Filosofi Kopi di hari pertama pemutaran serentak. Ini film Indonesia pertama yang saya tonton tahun ini. Seperti sebelumnya, Angga Dwimas Sasongko tak pernah gagal.

Film ini bercerita tentang persahabatan Ben dan Jody serta perjuangan untuk mempertahankan kedai kopi mereka, Filosofi Kopi. 

Ayah Jody meninggalkan hutang senilai Rp 800 juta dan sebagai anak, Ia berkewajiban membayar, bagaimanapun caranya. Jody pun harus menguji kesabaran untuk bernegosiasi dengan idealisme karibnya, Ben. 

Saya menyukai dialog dalam film ini, cerdas dan menghibur. Sampai saya bingung saat dua kali Jody memaki Ben dengan kalimat, "Cibai lo". Gegar budaya jadi terasa, saat bioskop dipenuhi gelak tawa dan saya kebingungan. Sampai akhirnya saya menemukan arti kata cibai, hahahahaha..

Juga jangan abaikan kampanye tim promosi film ini, yang ingin mengkopikan Indonesia. Setelah nonton, rasanya ingin nongkrong dan menyeruput kopi, tapi sayang, waktu mendekati tengah malam dan teman menonton memiliki kewajiban bekerja besok pagi buta.

Pokoknya besok saya kudu ngopi, titik.

Oia, sekedar intermezzo, film ini lahir dari impian besar Anggia Kharisma, sang producer. Kembali saya harus meyakini, apa yang dibuat dengan hati tentu akan diterima dengan hati. Sembah hormat untuk orang-orang hebat yang mendedikasikan diri bagi film ini. Terima kasih banyak Angga, Anggi dan Jenny. Juga untuk setiap cast yang membuat film ini sungguh layak diberi tepuk tangan yang meriah.

Daaaan..bagi yang menonton, jangan beranjak pergi sampai film ini benar-benar selesai. Pokoknya jangan.