Senin, 27 April 2009

kebenaran hakiki tak pernah seragam!

kebenaran hakiki tak pernah terjadi, inilah yang saya yakini saat ini. segala sesuatu yang menurut kebanyakan orang benar, tidaklah bisa disimpulkan sebagai kebenaran yang sesungguhnya. kecuali pada ilmu pasti tentunya.

tak peduli seberapa besar dan banyaknya orang yang mengaggap sesuatu sebagai kebenaran. tetaplah saya seharusnya dapat lebih menghargai kaum minoritas yang berani menyuarakan mengenai pendapat tentang sesuatu. yah, banyak dan mayoritas bukanlah alat shahih untuk membenarkan namun terkadang kita salah menggunakannya. banyaknya jumlah terkadang menjadi senjata untuk mengumpulkan kebenaran pendapat dengan dukunan si A, Si B, si C, dan si...si... yang lain.

beberapa waktu lalu, ada kejadian menarik di kompleks rumah saya. terjadi tepat di hari minggu, hari dimana saya menjadikannya spesial karena di waktu inilah saya mencecap dengan rakus kasih bunda. tetangga saya yang menyambi menarik odong-odong (semacam delman yang dimodifikasi laiknya sepeda dan biasanya menjadi objek permainan anak-anak) di hari minggu tertangkap basah mencuri ponsel. ibu saya di kabari oleh abang becak karena istri si tersangka sedang tidak di rumah, jadi rumahnya sedang dalam keadaan kosong song.

ibu langsung panik bukan kepalang. memaksa-maksa saya untuk mengantarkannya ke lokasi kejadian dan menemui pamong wilayah di lokasi pencurian. jujur, saat itu saya langsung menghujat. hanya dalam hati memang, tapi tetap saja menghujat bukan?
batin saya tak habis pikir, untuk apa ibu saya segitunya membela orang yang sudah jelas-jelas mencuri itu. tak mau disebut tak berbakti saya mengantarkan ibu ke lokasi kejadian. dalam perjalanan ibu berkomat-kamit berdoa, harapnya si tetangga saya jangan sampai sudah di bawa ke polisi, takut terlanjur rumit urusannya.

sampai di lokasi, ternyata kekhawatiran ibu terjadi. tetangga saya sudah terlanjur di amankan di kantor polisi. kami akhirnya mengobrol dengan beberapa orang yang berada di lokasi kejadian. malah ada yang merekam wajah yang disangka mencuri itu. ibu langsung memastikan benar tidaknya dia tetangga kami, dan ternyata benar dia tetangga kami.

di sana, bersama orang-orang tak dikenal itu, ibu bercerita betapa tetangga kami itu sungguh patut diberi rasa iba dan kasihan. anaknya baru saja di rawat di rumah sakit dan hingga kini masih terlilit hutang akibat biaya perawatan yang tak murah tentu saja. untuk menambah penghasilan, makanya si tetangga ini menyambi dengan menarik odong-odong sedangkan senin sampai jum'at digunakannya untuk bekerja.

pandangan saya langsung berubah seketika. ternyata sosok yang sebelumnya saya hujat sebagai maling itu adalah seorang ayak dan kepala keluarga yang mencoba memenuhi tanggungjawabnya. mencoba bertindak adil pada si penghutang, mencoba menyelesaikan masalah lilitan hutang, meskipun yah..dengan 'caranya'.

cara yang menurut pandangan tatanan bermasyarakat salah, tapi benar menurut keluarganya, istri dan anaknya. juga ternyata benar menurut pandangan ibu. ibuku sekali lagi tampil menjadi pemenang dalam kompetisi manusia bijak versi rekaan saya.

saya malu pada ibu. yang meskipun bangku SMP pun tak tamat dapat berpikir lebih bijak. mungkin pengalaman hidup yang mengajarkannya. kita tidak bisa menilai baik atau tidaknya sesuatu atau seseorang hanya dari satu sisi, tidak hanya berdasarkan nilai moral dan budaya yang berlaku. kebali saya mengingat kalimat sakti, 'lihat lebih jauh baru nilai sendiri!'.

saya belajar banyak. tak mau gegabah. tak mau merasa paling benar, semoga yang ini benar-benar terealisasi tidak hanya sesumbar.