Sabtu, 26 November 2011

365 hari berselang


mengambil gambar di sini


365 hari telah berselang. Aku melanjudkan hidup, pun demikian denganmu. Kuduga hidupmu melaju pesat, sedang aku? Tidak, hidupku berjalan normal, perlahan dan pasti maju. Sedikit demi sedikit kuisi tabula mimpiku.

Harapanku, kau melakukan hal yang sama.

Meski tak mudah, kini aku sedang menumpuk satu-demi satu bata yang akan kugunakan untuk membangun rumah yang kunamakan mimpi.

Benar kata orang bijak, terkadang kita tidak harus selalu memakai jalan pintas untuk menuju sesuatu yang kita mau. Terkadang kita harus melewati jalanan terjal bahkan memutar. Namun saat mimpi itu menjadi nyata, setiap proses yang kita lewati, setiap kucuran keringat yang kita seka di dahi, mungkin juga ada beberapa luka yang menggores kaki, semuanya akan menjadi penghias. Menjadi kenangan manis-asam yang akan menggenapi kebahagiaan.

Dan aku mempercayainya.

Lalu bagaimana dengan hidupmu? Jangan kau pikir aku tak tahu, akan rencana besar yang mungkin terwujud di Januari mendatang. Katakan saja tak usah sungkan. Toh kita masih berteman.

Saat aku menuliskan barisan aksara ini, aku sedang berada di sebuah desa penuh kebersahajaan. Tempat yang mematik ingatan akan dunia di masa kecilku. Desa dengan riak tawa anak-anak yang bermain dibawah sinar bulan. Menggerombol, berlari-lari disepanjang jalan tanpa khawatir ada klakson yang memekakkan telinga. Pematang sawah dengan hamparan padi menghijau menyerupai permadani.

Yang paling kusukai, adalah angin sepoi-sepoi yang menyentuh pipi. Ya, angin ini dengan magisnya mampu menyelusupkan keping damai yang perlahan dan pasti sampai ke hati. Untuk merasa bahagia, terkadang kita hanya perlu mendengarkan isyarat alam. Membiarkannya menghampiri hati gundah, dan kita hanya perlu merentangkan tangan. Voila..seketika ingatan ini berhianat. Melupakan segala resah, hanya bisa merasa damai. Jika sudah begini, hati kecil ini hanya bisa berujar,
“Nikmat mana lagi yang berani aku dustakan?”

Selasa, 01 November 2011

Cinta Liar



gambar dari sini

Cintai aku tanpa ikatan
Berdiamlah di garis-garis tanganku
Cintai aku meski hanya
berpeka-pekan..berhari-hari..berjam-jam..
Karena aku tak mementingkan keabadian
Aku November..bulan badai
bulan hujan..dan dingin
Aku November..maka berkelebatlah di jasadku
Seperti petir


by. Nizar Qabbani

Jumat, 07 Oktober 2011

Kemenangan Kreatifitas Seorang Steve Jobs


Mengambil gambar di sini

Kemarin, dunia terhenyak dengan kepergian seorang Steve Jobs. Pendiri Apple yang sangat ikonik ini akhirnya harus menyerah pada kanker pankreas. 56 menjadi angka sakti yang diberikan Tuhan pada seteve Jobs untuk hidup. Waktu yang telah digunakannya untuk memukau dunia. Hasilnya, entah berapa liter air mata yang tertumpah dari penjuru dunia saat kematiannya diumumkan. Entah berapa lubang dalam hati yang menganga lebar karena kesediahan teramat dalam usai kepergiannya.

Steve Jobs menjadi spesial karena keberaniannya dalam merealisasikan mimpi. Inovasi tak terbatas yang kemudian dilahirkan menjadi produk-produk berbasis teknologi mutakhir namun menjanjikan kemudahan dalam pengoperasian. Orang yang gila gadget memberi istilah user friendly.

iMac, iPod, iPhone hingga iPad menjadi gadget paling dinanti.

Yang dilakukan Steve Jobs bersama Apple bukanlah mencipta sesuatu yang baru, namun memperbaiki dan menambahkan fitur dari produk yang sudah ada. iMac langsung mencuri hati dengan desain cantik dan adanya port USB. iPod yang lahir pada 2001 seakan mengajak dunia untuk merubah cara dalam mendengarkan musik. Belakangan dan masih akan terasa, tentu kita tidak bisa khilaf untuk tak menyebut iPhone dan iPad. Dua gadget yang menjual kata praktis, ringkas dan sentuh.

Steve Jobs dan Apple tidak bisa dipisahkan. Steve dikenal sebagai pemimpin yang tegas. Satu kali kalimat yang dilontarkannya, “tugas saya bukan menjadi pemimpin yang ramah. Tapi membuat orang lain lebih baik.” Galak sekali bukan?

Tim pembuat Macintosh kabarnya sempat bekerja 90 jam per minggu selama tiga minggu berturut-turut. Entah etos kerja macam apalagi yang dipersembahkan karyawan Apple. Meski demikian, sampai saat ini saya belum pernah mendengar citra buruk dari perusahaan berlogo apel cokot ini. Tidak ada seorang pun yang mau membeberkan rahasia perusahaan. Kesetiaan mutlak terjaga. Teori sederhana sekali lagi terbukti, passion menjadi modal utama untuk menjaga loyalitas. Besar kemungkinan, karyawan Apple mengerjakan hal-hal yang menjadi passion mereka. Mungkin dalam menyeleksi karyawan, Steve Jobs tidak mau abai dalam hal itu.

Siapapun tahu, Steve Jobs amat konsisten memilih busana sejak 1998. Levis 501 serta kaos kerah polo lengan panjang hitam yang dibuat oleh St. Croix dan sepatu New Balance 992. Entah apa maksudnya, namun kekonsistenan gaya dalam berpakaian ini tetap terjaga hingga akhir hayat. Bukan tak mungkin, style ini akan diikuti oleh beberapa fans fanatik.

Dia bukan hanya milik Amerika semata, namun seluruh dunia juga merasa memilikinya.
Lahir dari pasangan kekasih Abdullahfattah Jandali-Joanne Scieble yang bertemu di University of Wisconsin. Pasangan ini tidak bisa menikah terkendala restu orang tua Joanne yang asli Amerika merasa keberatan memiliki menantu imigran muslim Siria. Akhirnya Jandali dan Scieble memutuskan untuk memberikan bayi laki-laki tanpa nama ini untuk diadopsi.

Takdir telah tertulis, bayi laki-laki ini diadopsi oleh pasangan Paul Jobs dan Clara Jobs. Pasangan Jobs ini tidak pernah merasakan bangku kuliah, namun mereka berjanji akan menyekolahkan bayi laki-laki yang dikemudian hari bernama Steve Jobs hingga lulus universitas.

Steve Jobs menikahi Laurene Powell dan memiliki tiga orang anak. Sempat pula menjalin affair dengan Chrissan Brenan. Terlepas dari kesuksesannya sebagai CEO perusahaan sebasar Apple, affair yang dilakukan Steve membuktikan dia bukanlah dewa. Ternyata dia tetaplah laki-laki yang senang menyerempet bahaya, bermain api dengan sesuatu bernama wanita.

Mencoba merabanya dengan logika, rasanya tidak ada wanita yang bisa menolak kharisma seorang Steve Jobs. Otak brilian, harta melimpah dan sifat sedikit liar. Yeah, saya tidak akan menyangkal, dia laki-laki yang seksi. Absolut.

Jumat, 16 September 2011

Jangan Pergi


ambil gambar di sini

Aku ingin menguncimu dalam mataku yang terpejam
Sengaja ku kunci, agar kau tak pergi kemana-mana
Tetap ada di situ
Muncul selalu
Hadir disetiap aku ingin
Tidak pergi-pergi lagi

Aku sudah pernah kehilanganmu
Saat kau lupa jalan pulang
Saat itu, sungguh menyesakkan
Membuatku limbung tak karuan
Perlahan dan pasti aku berusaha bangkit
Dan dengan terpaksa memakai satu-satunya nyawa cadangan
Jadi tolong jangan lagi-lagi pergi
Jika kau pergi lagi
Aku sudah tak punya nyawa cadangan
Jadi aku bisa mati

Kamis, 25 Agustus 2011

Bolehkah aku Menyebut ini Kisah Tahun ke-2?


gambarnya kuambil dari sini looh..

Hari pertama kita melalui dengan senyum. Bahagia menyeruak tak tentu rimba. Ada kegelisahan, tapi hanya sedikit. Dia malu-malu bersembunyi diantara punggungmu. Ada juga secarik kegelisahan yang kusimpan rapi dalam saku celanaku. Aku tak mau menghiraukannya. Bahagia yang membuncah mampu menyimpan rapat gelisah ternyata.

Kemudian putaran hari berjalan dengan pasti. Bahagia yang kita rasakan pun timbul tenggelam. Sekali waktu dia merajai hari. Meski tak jarang dia menghilang dan baru datang usai kita memanggilnya begitu keras. Seharusnya kita mulai sadar, saat bahagia tak lagi mudah diundang, seharusnya kita mulai belajar untuk melepaskannya. Tapi ternyata kita bukan orang yang pandai belajar.

365 hari kemudian datang. Aku rasa saat itu kita memaksakan kebahagiaan. Tak peduli yang terjadi di belakang, hari itu kita harus bahagia. Kamu mengorbankan satu hari kerja. Aku mengorbankan setengah harinya.

Ingatanku masih segar, bagaimana hari itu sejak pagi aku gelisah. Mencari laci kreativitas dari dasar jiwa terdalam. Entah dia hilang atau memang tak kutemukan sejak awal. Usai menyelesaikan tanggung jawab yang cuma secuil, aku menggunting, merangkai dan menyatukan. Sebuah potongan kenangan, harapan juga asa. Semua kukemas dengan apa adanya.

Kukayuh sepeda, menuju sebuah toko foto copy. Menjilid rangkaian buku orange sederhana. Mengapa orange? Karena warna itu sarat dengan semangat. Sarat dengan keceriaan. Meski tak jarang manipulatif.

Kenanganku mulai buram. Kabur. Tak ada lagi yang aku ingat tentang peristiwa 365 hari silam. Aku justru lebih fasih mengingat 365 hari yang pertama.

Hari ini, 365 hari berikutnya. Setelah momen buku orange. Apa yang terjadi?
Kita menjalani legenda pribadi masing-masing. Tidak di satu jalan, bersisian mungkin. Sesekali aku masih mengenang. Awalnya mengenang dengan sakit. Namun kini sudah tidak sakit lagi. Jika ditanya, bagaimana rasanya? Aku tidak tahu, apa nama rasa yang saat ini bersemayam. Datar.

Aku bisa tersenyum mengingat potongan-potongan kenangan tentang kita, tapi sakitnya sudah tidak terasa. Hm..mungkin aku telah berhasil membayar dengan lunas, hutang bahagia bersamamu dengan kesedihan selama lebih kurang sembilan bulan ini.

Pemujaanku padamu, kucukupkan sampai di sini. Tidak ada lagi mimpi buruk. Tidak ada lagi caci maki. Juga tidak ada lagi harapan. Semua lunas tak bersisa. Jika nanti, sengaja atau tidak kita bertatap muka. Aku akan menawarkan persahabatan yang hangat. Lenganku terbuka. Menawarkan pelukan hangat. Tenang saja, jangan khawatir. Pelukan ini sama dengan yang kuberikan pada teman-temanku tercinta. Teman-teman yang membantuku tegar berdiri usai kau mematahkan kakiku. Tidak ada sedikitpun dendam. Aku menyayangimu, hanya karena aku mengenalmu, tidak lebih.

Rabu, 17 Agustus 2011

Balada Nonton Harry Potter dan Setelahnya..


Mengambil gambar di sini
Wah, lama sekali tak mengunjungi rumah ini. Maaf ya, bukan karena saya sibuk luar biasa. Ya ya ya, baiklah memang ada yang luar biasa dengan saya beberapa waktu belakangan ini, yakni malas luar biasa.

Hari ini menginjak hari ke-18 untuk bulan Agustus dan puasa. Stamina pun sedang tak memberi dukungan yang bulat penuh. Tenggorokan saya sukses serak sejak kemarin malam. Kuat dugaan akibat bermotor ria jam 12 malam dari Plaza Senayan menuju rumah di Bekasi. Sebenarnya malam itu sudah ada gejala, hanya saja saya mengabaikan. Jadi, sekarang ya terima saja hasilnya. Silahkan dinikmati rasa sakitnya.
Apakah menderita? Aw..aw..jangan ditanya!

Dalam situasi normal, serak tenggorokan itu bikin susah. Bisa agak dihalau dengan minum air hangat dan mengoleskan semacam balsam atau minyak kayu putih di tenggorokan. Tapi ya tapi..ini kan bulan Ramadhan sodara-sodara. Yang artinya saya ndak boleh minum sepanjang siang, baru boleh nanti selepas magrib. Jadi pilihannya, ya dinikmati saja. Ibu bilang biar saya lebih mensyukuri nikmat sehat yang selama ini Tuhan beri.

Ya, Ebeth dulu pernah bilang. Katanya fisik saya itu tergolong kuat. Mungkin perkataan Ebeth yang diamini beberapa teman itu bikin saya jumawa. Jadi suka gak perhatian sama badan, gak toleran meski dia minta diistirahatkan.

Kembali ke topik sebelumnya soal malam gaul saya ke PS. Akhirnya saya dan beberapa kawan jadi juga nonton Harry Potter edisi pamungkas setelah berkali-kali gagal rencana. Tim terdiri dari lima personel. Saya, Mas Andreas, Mbak Arie, Daus dan Mas Fahri. Berasal dari tiga penjuru mata angin, Daus yang dari selatan, saya yang dari utara dan trio Mbak Ari Mas andreas dan Mas Fahri dari barat, kami bertemu di PS. Kesibukan dan segala keribetan akhirnya membuat kami baru bisa menonton untuk yang jam 21.00. Jujur, saya agak deg-degan mengingat harus pulang ke rumah Bekasi. Ibu sudah memberi peringatan, saya harus pulang, gak boleh nginep. Seperti biasa, resiko belakangan saja dipikirkan, yang penting nonton dulu.

Film selesai jam 23.30. Larut memang. Tapi duo Daus dan Mas Andreas masih saja berenergi untuk berdiskusi. Haduuh, padahal otak saya sudah tak konsen, memikirkan perjalanan pulang yang nun jauh dimato.

Ini persoalan baru sebetulnya. Saya baru pulang kerumah Bekasi lebih kurang 45 hari setelah sebelumnya 6 tahun kost. Terbiasa dengan main hingga larut malam, pulang tak perlu sungkan karena yang menunggu ya hanya pintu dan kasur. Kali ini berbeda kasus, ada ibu yang khawatir atau bapak yang terkantuk-kantuk menunggui pintu. Jadi, jika mau pulang malam ya harus mengesampingkan rasa peduli mereka. Biasanya saya memilih jalan praktis. Tak usah pulang sekalian, menginap di tempat teman.

Agak merengek bin merajuk, akhirnya kami beranjak menuju parkiran. Saya meminta daus mengantar sampai Cawang, setelahnya angkot yang berbicara.

Saya fasih mengetahui jalur angkot, tapi untuk jalur alternatif mati kutu. Entah petunjuk apa yang saya beri ke Daus kami kok malah sukses sampai ke kuburan. Tengah malam, bermotor ria menerabas kuburan. Perfecto. Setelah Tanya sini dan sana akhirnyamenemukan jalanan angkot yang saya tahu.

Ternyata oh ternyata lagi, daus dengan begitu baik hatinya malah mengantarkan saya sampai rumah. Sampai di depan rumah ada persoalan baru muncul. Daus buta jalan pulang. Hadeuh!!! Apalagi ditambah GPS tidak mendeteksi keberadaan rumah saya. Duh Gusti!!! Berbekal arahan seadanya, akhirnya Daus pulang.

Besoknya saya sms daus menanyakan dia sampai rumah jam berapa. Untung dia sampai dengan selamat dengan waktu tempuh satu jam. Tapi sungguh kasihan, secara tak sengaja Daus menghapur ribuan file foto di server.

Daus itu seorang web designer sekaligus pengelolanya. Jadi hidup mati web plus server ya ada di tangannya. Lewan pesan pendek Daus memberi laporan singkat, bahwa dia harus begadang hingga subuh untuk memperbaiki. Oh, so pitty you.

Kembali ke masa di mana saya mengetik bait aksara ini. Duduk manis di kantor lantai 33 sambil menyaring berita. Melayani chat beberapa teman yang sukanya bertanya soal lowongan kerja dan dengan seorang sahabat yang berkantor di lantai 22 di gedung yang sama dengan saya bekerja.

Juga sambil menikmati serak tenggorokan. Ah, membayangkan tenggorokan ini diguyur air hangat tentu akan nikmat sekali. Tapi saya sedang PUASA!!!

Kamis, 14 Juli 2011

jaga hatimu..


mengambil gambar di sini

Jangan bermain-main dengan hatimu, lebih jangan lagi bermain-main dengan hati orang lain.

Itu jahat namanya, membuat seseorang jatuh cinta namun kamu kemudian mengacuhkan. Tidak mau menangkap. Setidaknya, janganlah memberi harapan meski sepercik. Karena, bagi hati yang sedang jatuh cinta, percikan harapan itu akan terus membelah diri, menggandakan dan akhirnya memenuhi ruang dalam hati.

Apa untungnya bagimu? Kebanggaan?

Percayalah, hidup dengan magisnya akan memberi keseimbangan luar biasa. Satu hari nanti, kau yang akan merasakan hati terseok karena jatuh cinta, sedang orang yang seharusnya menangkap hatimu justru melangkah pergi.

Jika tiba waktumu, jangan lupa kabari aku ya..

Jumat, 08 Juli 2011

Saya Mendapatkan Jauh Lebih Besar..


Pagi ini saya kecopetan. Kali kedua. Di tempat yang sama. Katakan saya bodoh. Katakan saya teledor. Silahkan, saya tak bisa ingkar, memang begitu adanya.

Dompet yang hilang itu berisi semua yang namanya identitas saya sebagai warga negara. Teringat perkataan seorang sahabat, saat ini saya tidak ubahnya mayat di RSCM, tanpa identitas.

Dompet warna ungu yang saya beli di China Town seharga 2 dollar Sing.

Dalam dompet itu berisi ATM, KTP dan sejumlah uang.

Bukan kehilangan itu yang membuat saya merangkai tiap aksara ini. Kehilangan itu justru mengantarkan saya pada pencapaian yang jauh lebih besar. Ya, saya mendapat kebaikan yang tak ternilai harganya.

Hei bocah-bocah MDP, ingin rasanya memeluk kalian satu per satu! Kalian tahu? Amplop coklat yang kalian selipkan diantara lipatan laptop sukses membuat saya banjir air mata.
Akhirnya, saya menyadari satu hal.

Saya mendapatkan sesuatu yang jauh lebih besar, kesadaran bahwa selama ini saya berada di lingkungan dengan orang-orang yang sungguh baik. Ya, saya dikelilingi cinta begitu besar namun dengan pongahnya saya tidak menyadarinya.

Kalian dengan penuh perhatian memasang telinga, tak bosan mendengar saya mengeluh. Sebagian dengan ketulusan menawarkan diri, jika saya butuh bantuan. Haduuuuuh, kemana saja si saya selama ini?!

Ya, hari ini saya mendapatkan jauh lebih besar dari hanya sekedar dompet yang hilang itu. Terima kasih.

Kamis, 02 Juni 2011

Sisa Kenangan Laga Barcelona-MU


Dialah alasan utama saya mendukung Barcelona, sengaja mengambil gambarnya dari sini

Saya bukan pecinta sepak bola, hanya penikmat. Penikmat kelas amatir tepatnya.

Menonton saat terjebak dalam euforia. Seperti saat klasemen AFF di penghujung 2010 silam. Juga saat Piala Dunia di tahun yang sama. Selebihnya, saya tidak tahu apa-apa yang terjadi dalam jagad persepakbolaan, selain kisruh PSSI dan Nurdin Halid serta Arifin Panigoro hingga sanksi FIFA yang ternyata tak jadi dijatuhkan pada PSSI.

Euforia menonton pertandingan itu kembali terpatik minggu dini hari, 29 Mei 2011 kemarin. Final Liga Champion antara Bercelona dan Manchester United. Dua klub bola yang cukup familiar di telinga, bahkan bagi orang yang tidak teraik dengan dunia persepakbolaan macam saya.

Sejujurnya, saya tidak terlalu ingin menyaksikan laga ini. Hanya diawali niat luhur menemani Melva Sirait atau biasa saya panggil Macil. Macil itu penggila bola sejati. Wawasannya terkait dunia cabang olah raga paling popular sejagad ini tak diragukan. Pengetahuannya tentang dunia sepak bola mampu melampui batas gender, luar biasa.

Jadi, Macil mengajak saya untuk nonton bareng laga Barca Vs MU. Uhm..lebih tepatnya dia minta saya untuk memfasilitasi nonton bareng. Sekalian temu kangen dan bertukar cerita.

Saat ini saya tinggal di sebuah rumah yang meskipun cukup megah berdiri, namun miskin fasilitas. Saya tidak memiliki televisi. Sempat terpikir untuk mengajaknya nonton bareng di kafe-kafe Kemang atau sekalian di MU Restaurant yang terletak di kawasan Thamrin. Namun niat itu urung.

Keluarga Andreas Harsono dengan murah hatinya mengijinkan kami untuk menonton di kediamannya. Saya tidak tahu persis ketertarikannya pada sepak bola.

Akhirnya tim tonton terkumpul. Ada saya, Macil, Fahri Salam, Firdaus Mubarik, Dormalan Sinaga dan Andreas harsono.

Di awal laga, sempat ada kesibukan mengganti antena. Khawatir televisi berbayar tidak akan menyiarkan pertandingan, akhirnya antena diganti dengan antena konvensional. Layaknya televisi di pelosok kampung, antena di putar-putar guna mencari gambar terbaik tanpa semut dan gangguan siaran. Untuk menjaga stabilitas posisi antena, Fahri Salam dan Andreas Harsono bahkan sempat menyelotip.

Eng ing eng..jreeeeng!! Ternyata ya ternyata kekhawatiran kami kosong belaka. Siaran bola dapat disaksikan jernih tanpa semut dengan menggunakan antena berbayar. Tak perlu repot ganti ini itu. Cukup nyalakan, voila..wajah-wajah tampan pemain mejeng mondar mandir mengggiring bola.

Begitu laga dimulai, mulai muncul karakter asli tim tonton bareng. Dormalan Sinaga lelap tertidur. Jelas terlihat dia datang hanya untuk meramaikan. Firdaus malah asik berselancar di dunia maya. Andreas mengambil posisi uenak di sofa, tapi sikapnya kalem bersebrangan dengan Macil dan Fahri yang usek sana-sini. Ya, gelar penonton paling atraktif saya anugerahkan pada Macil di tampuk juara, dan Fahri sebagai runner up. Mereka berdua pendukung sejati tim asuhan Pep Guardiola, Barcelona.

Saya tidak akan memberi ulasan bagaimana laga ini berlangsung. Tentu banyak orang yang lebih fasih menjabarkannya.

Sebelum paruh pertama berakhir, saya sudah memilih. Ya, saya menjagokan Barcelona. Bukan karena permainan mereka (yang katanya) memiliki teknik luar biasa, ataupun pengusaan bola mencapai angka lebih dari 60%. Saya memilih Barca karena pelatihnya cakep. Cukup sekian.

Pada akhirnya, jagoan Fahri dan Macil (dan saya) yang memang.

Dini hari yang sempurna untuk kami semua. Jagoan menang, perut kenyang. Nikmat mana lagi yang berani kami dustakan?!

Kamis, 05 Mei 2011

Stranger..

[Kamu] : Hei..
[Aku] : Hei..
[Kamu] : Semalam kamu ke GI ya?
[Aku] : Iyaak, kok tau?
[Kamu] : Aku liat kamu
[Aku] : Trus? Kenapa gak negor?
[Kamu] : Kaki kamu kenapa?
[Aku] : Abis jatoh, kamu liat aku dimana? Kok gak negor?
[Kamu] : Iya, gak enak mau negor, takut kamu gak inget
[Aku] : Ih, jahat banget tuduhannya..
[kamu] : Besok, kalo ketemu lagi aku sapa deh
[Aku] : Gitu doong 
[Kamu] : Sakit banget ya kakinya?
[Aku] : Lumayan, kok tau kalo sakit?
[Kamu] : Muka kamu meringis, :p , jalan kamu pincang
[Aku] : Yaiy..
[Kamu] : Kamu baik-baik sajakah? Mukamu juga terlihat sedih semalam
[Aku] : Ha? Sedih? Aku baik-baik aja kok
[Kamu] : Mata kamu gak bisa bohong, aku tau kamu
[Aku] : Ahahaha
[Kamu] : Sudah makan?
[Aku] : Belum, tapi udah pesen
[Kamu] : Yaaaah, padahal mau ngajak kamu luch bareng..
[Aku] : Emang kamu lagi dimana? Hujan looh
[Kamu] : Yups, aku lanjuut aja..ini di depan kantor kamu
[Aku] : Hei, serius kamu depan kantor aku?
[Kamu] : Iya, masih suka KFC?
[Aku] : Masih doong!!
[Kamu] : Ya, udah nanti aku traktir kamu KFC..
[Kamu] : Udah dulu ya, serem nyetir sambil chatting, hujan pula
[Aku] : Bye, take care..
[Kamu] : Bye..

Kamis, 28 April 2011

Perjalanan yang Membekukan


mengambil gambar di sini

Menyebalkan. Itu satu kata yang mewakili kamu. Tidak ada lagi kata lain. Cukup.

Padahal saya sempat memberi kamu poin plus. Saya sempat berharap kamu akan menjadi teman menyenangkan di perjalanan pulang. Tapi semua langsung sirna.

Ya, kita hanya berdua tentu bersama penumpang asing, melintasi kota Banjarnegara, Purwokerto, Cilacap, Garut dan kota-kota lain sebelum bus malam kita menginjak Jakarta.

Saya tidak ingat persis, materi obrolan kita. Seputaran dunia militer, Tan Malaka dan Madilog-nya, sampai salah tempat menuntut ilmu. Ya, Pemikir yang justru berkuliah di sekolah tempat kaum borju. Tidak ada yang salah dengan kampus kamu, namun citra kapitalis yang melekat dalam institusi itu tentu menggelitik rasa penasaran saya. Bagaimana kamu melewati waktu di kawasan borjuis itu, sedang pemikiran-pemikiran kamu tentu melakukan penolakan.

Benar saja. Dalam satu putaran waktu, kamu nyaris di drop out gara-gara menentang sistem penjualan buku. Hal yang sepele sebenarnya, namun kamu yang keras kepala tentu tak mau mengalah begitu saja. Kamu tahu? Itu cerita seru, saya masih mengingat sangat tiap detail yang kamu ceritakan, kecuali pada bagian nama-nama yang kamu sebutkan tentu saja. Saya pengingat nama yang payah.

Perbincangan bergeser soal agama. Kita sama-sama tidak begitu fasih dan memahami. Akhirnya bahasan malah meluas, menyentuh Ayatullah Khomeini sampai Mahmoud Ahmadinejad. Untuk nama yang terakhir, tentu sedikit banyak saya tahu, dulu pernah membaptis diri jadi penggemar.

Menceritakan dunia-dunia kita yang ternyata bersinggung di masa lalu. Ya, kita pernah menginjak tempat yang sama. Mungkin berbeda putaran harinya, namun orang-orang yang kita jumpai kurang lebih sama. Saat itu saya merasa senang sekali.

Memiliki teman seperjalanan yang asik, seru, nikmat mana lagi yang berani saya dustakan?!
Namun, semua langsung poranda. Saat kamu mengatakan agar saya lebih banyak menggunakan perasaan dibanding logika. Sebenarnya bukan masalah besar. Namun kemudian menjadi masalah besar karena kamu tidak mau menjelaskan maksud kalimat itu. Kamu hanya memberi saya sebaris senyum tengil menyebalkan.

Kamu tahu? Ada tipikal orang yang akan sangat terganggu hidupnya karena didera rasa penasaran hebat. Itu yang saya alami. Sejak saat itu, hingga saat ini, saat saya merangkai aksara. Lebih menyebalkan lagi saat tahu kamu hanya tersenyum-senyum tidak mau menjelaskan. Saya terus memburu jawaban, tapi tidak dapat juga jawabannya sampai saat ini. Akhirnya saya mengambil kesimpulan sepihak.

Kamu tidak tahu harus menjawab apa.

Padahal malam itu, belum separuh perjalanan yang harus dilalui. Kamu memutuskan untuk pindah bangku. Mau tidur, begitu pamitmu. Sebodo teuing!

Pukul 2 pagi kamu kembali. Kedinginan dan berusaha menghangatkan badan dengan memakai kaos berlapis-lapis. AC bus memang keparat bukan main saat itu. Saya juga merasa kedinginan, namun tidak bisa berbuat banyak. Salah kostum pula. Celana kargo panjang yang saya bawa, melesak jauh di bawah ransel, sangat repot jika saya mau memakai. Rasa malas tak mengenal waktu dan tempat rupanya.

Yang saya takutkan terjadi. Bus terlalu dini sampai di Jakarta. Akhirnya saya turun lebih dulu. Tidak ada salam perpisahan yang hangat. Semua membeku, semenjak kamu tidak memenuhi tuntutan saya akan penjelasan. Saya sempat melihat kamu memandang keluar jendela bus. Selamat tinggal teman. Semoga kita bisa berjumpa dalam suhu persahabatan yang lebih hangat. Akan sangat menyenangkan tentu saja, jika kamu bermurah hati. Tidak hanya menyodorkan seuntai senyum tengil itu. Deal kakak pramuka?!

Perjalanan Pulang yang Membekukan



mengambil gambar di sini

Menyebalkan. Itu satu kata yang mewakili kamu. Tidak ada lagi kata lain. Cukup.

Padahal saya sempat memberi kamu poin plus. Saya sempat berharap kamu akan menjadi teman menyenangkan di perjalanan pulang. Tapi semua langsung sirna.

Ya, kita hanya berdua tentu bersama penumpang asing, melintasi kota Banjarnegara, Purwokerto, Cilacap, Garut dan kota-kota lain sebelum bus malam kita menginjak Jakarta.

Saya tidak ingat persis, materi obrolan kita. Seputaran dunia militer, Tan Malaka dan Madilog-nya, sampai salah tempat menuntut ilmu. Ya, Pemikir yang justru berkuliah di sekolah tempat kaum borju. Tidak ada yang salah dengan kampus kamu, namun citra kapitalis yang melekat dalam institusi itu tentu menggelitik rasa penasaran saya. Bagaimana kamu melewati waktu di kawasan borjuis itu, sedang pemikiran-pemikiran kamu tentu melakukan penolakan.

Benar saja. Dalam satu putaran waktu, kamu nyaris di drop out gara-gara menentang sistem penjualan buku. Hal yang sepele sebenarnya, namun kamu yang keras kepala tentu tak mau mengalah begitu saja. Kamu tahu? Itu cerita seru, saya masih mengingat sangat tiap detail yang kamu ceritakan, kecuali pada bagian nama-nama yang kamu sebutkan tentu saja. Saya pengingat nama yang payah.

Perbincangan bergeser soal agama. Kita sama-sama tidak begitu fasih dan memahami. Akhirnya bahasan malah meluas, menyentuh Ayatullah Khomeini sampai Mahmoud Ahmadinejad. Untuk nama yang terakhir, tentu sedikit banyak saya tahu, dulu pernah membaptis diri jadi penggemar.

Menceritakan dunia-dunia kita yang ternyata bersinggung di masa lalu. Ya, kita pernah menginjak tempat yang sama. Mungkin berbeda putaran harinya, namun orang-orang yang kita jumpai kurang lebih sama. Saat itu saya merasa senang sekali.

Memiliki teman seperjalanan yang asik, seru, nikmat mana lagi yang berani saya dustakan?!
Namun, semua langsung poranda. Saat kamu mengatakan agar saya lebih banyak menggunakan perasaan dibanding logika. Sebenarnya bukan masalah besar. Namun kemudian menjadi masalah besar karena kamu tidak mau menjelaskan maksud kalimat itu. Kamu hanya memberi saya sebaris senyum tengil menyebalkan.

Kamu tahu? Ada tipikal orang yang akan sangat terganggu hidupnya karena didera rasa penasaran hebat. Itu yang saya alami. Sejak saat itu, hingga saat ini, saat saya merangkai aksara. Lebih menyebalkan lagi saat tahu kamu hanya tersenyum-senyum tidak mau menjelaskan. Saya terus memburu jawaban, tapi tidak dapat juga jawabannya sampai saat ini. Akhirnya saya mengambil kesimpulan sepihak.

Kamu tidak tahu harus menjawab apa.

Padahal malam itu, belum separuh perjalanan yang harus dilalui. Kamu memutuskan untuk pindah bangku. Mau tidur, begitu pamitmu. Sebodo teuing!

Pukul 2 pagi kamu kembali. Kedinginan dan berusaha menghangatkan badan dengan memakai kaos berlapis-lapis. AC bus memang keparat bukan main saat itu. Saya juga merasa kedinginan, namun tidak bisa berbuat banyak. Salah kostum pula. Celana kargo panjang yang saya bawa, melesak jauh di bawah ransel, sangat repot jika saya mau memakai. Rasa malas tak mengenal waktu dan tempat rupanya.

Yang saya takutkan terjadi. Bus terlalu dini sampai di Jakarta. Akhirnya saya turun lebih dulu. Tidak ada salam perpisahan yang hangat. Semua membeku, semenjak kamu tidak memenuhi tuntutan saya akan penjelasan. Saya sempat melihat kamu memandang keluar jendela bus. Selamat tinggal teman. Semoga kita bisa berjumpa dalam suhu persahabatan yang lebih hangat. Akan sangat menyenangkan tentu saja, jika kamu bermurah hati. Tidak hanya menyodorkan seuntai senyum tengil itu. Deal kakak pramuka?!


Rabu, 27 April 2011

Bersama Kalian, Dieng Lebih Mengesankan


Kau nyanyikan untukku
Sebuah lagu tentang negeri di awan
Dimana kedamaian menjadi istananya
Dan kini telah kau bawa aku menuju kesana..


Petikan lagu negeri di awan yang dilantunkan Katon Bagaskara, saya rasa cocok menjadi soundtrack perjalanan saya menelusuri Dieng.

Dataran tinggi diatas 2000 kaki. Tak heran jika Dieng juga mendapat julukan negeri di atas awan. Dalam situasi tertentu, saat mata memandang kebawah, hanya hamparan kabut putih yang terlihat.

Bersama 8 orang yang semuanya berlabel baru kenal. Tidak ada kesepakatan sahih, tapi saya senang menamakan rombongan ini dengan geng KYU. Mengacu pada permainan kartu yang merujuk pada angka 9.

Berangkat dari terminal lebak bulus, bersama dengan Meldawati (si kepala suku) dan Milani Yunitasari aka Nita.

Melda memiliki karakter super ceria. Dialah peramai suasana, dengan celoteh ini itu, kadang penting kadang tak penting. Hihihi. Bisa dikatakan, Berkat Melda-lah geng KYU terbentuk. Dia yang mengajak dan membuat woro-woro rencana trip ini. Semua informasi kepesertaan berpusat padanya. Bahkan, namanya lah yang menjadi jaminan booking ini itu, mulai dari booking penginapan, elf, sampai tiket pulang. Sembah nuwun ya Melda, untuk kerelaannya bersibuk ria mengurusi kepentingan operasional ini. Seminggu sebelum keberangkatan, saya bertemu dengan Melda, membicarakan itinerary.

Untuk Nita. Sebelumnya saya belum pernah bertemu dengannya. Perawakannya kurus. Kesan pertama yang mampir di otak saya, dia kalem. Senyum saja cuma segaris. Terlihat menjadi antithesis Melda jika mereka berdiri berdampingan. Nita bekerja di GE, General Electric. Semoga saya tidak salah menuliskannnya. Saya tidak tahu persis job desk Nita, pokoknya berurusan dengan kartu kredit. Kesan pertama, saya langsung menyukainya. Nampaknya, dia akan menjadi teman seperjalanan yang asik.

Saat petang mulai beranjak, bus yang kami tumpangi berangkat. Ternyata, kami menjemput penumpang di Rawamangun.

Sekitar pukul 21.00 WIB bus baru bisa dikatakan sah meninggalkan Jakarta.

Eng ing eng, belum apa-apa jadwal kami sudah berantakan. Perkiraan awal, kami sampai di terminal wonosobo sekitar jam 5 pagi, paling telat jam 7. Tapi ya tapi, bus Malino Putra baru dengan manisnya memasuki terminal lebih dari jam 12 siang.

Tim yang datang dari Surabaya dan Jogja sudah tiba sejak pagi. Mereka memutuskan untuk menunggu kami di Dieng saja.

Saya, Melda, dan Nita langsung menuju loket untuk membeli bus pulang. Antisipasi.

Diterminal, rombongan bertambah satu orang, Muhammad Ali Firman, biar singkat panggil saja Firman. Sebelumnya Firman satu kantor dengan Nita, namun kini dia telah berpaling dan mengapdi pada CIMB Niaga. Urusannya masih sama, seputaran kartu kredit. Firman berperawakan tinggi semampai. Rambutnya pendek dan keriting. Orangnya easy going. Usut punya usut, dia baru memiliki kamera DSLR Sony. Seri-nya saya tidak tahu.

Kami bersemangat mencari Mie Ongklok yang tersohor itu. Tanya sana-sini, Mie Ongklok tak ditemukan. Akhirnya kami memutuskan untuk makan seadanya. Saya dan Nita memilih soto daging, sedangkan Melda soto ayam. Firman? Hm..untuk menu kedua, dia makan bakso. Sebelum bertemu dengan kami, Firman mengaku telah makan nasi rames.

Sedang menikmati santap siang, kami kedatangan seorang laki-laki yang mengaku bernama Dwi. Dialah guide yang akan mendampingi petualangan kami menggerayangi Dieng Plateau. Nama panjangnya Dwi Yono. Cukup panggil Mas Dwi. Saya tak menyangka, guide kami ternyata masih muda. Belakangan, saya mendapat informasi, Mas Dwi itu kelahiran 1984. Pantas aja masih muda. Mas Dwi cocok sekali menjadi pemandu wisata, pribadinya menyenangkan. Usahanya untuk melucu cukup baik, meski hasilnya suka garing. Tapi karena kegaringannya itulah, kami jadi punya bahan celaan. Kami ber-4 belum bisa melanjutkan perjalanan menuju Dieng karena masih menunggu satu peserta yang juga datang dari Jakarta, Andika Ferdiansyah.

Sekitar pukul 4 sore, Dika tiba. Kami langsung meluncur menuju Dieng Plateau. Kami tidak langsung berkenalan dengan Dika. Sama-sama capek, kami malah asik mendengarkan lagu dangdut pantura yang diputar di Elf. Dika sosok yang cool. Bekerja di perusahaan advertising. Cita-citanya menjadi marketing handal. Cita-cita aneh, terlebih setelah Dika positif terdeteksi sebagai manusia elang versi saya. Ya, di perjalanan ini, saya menemukan si manusia elang. Ah, senang sekali. Saya sedang tidak ingin menceritakan apa itu manusia elang, lain kali saja.

Tak berlebihan rasanya, jika Dieng dijuluki negeri di awan. Awan putih yang biasa hanya bisa kita pandangi di angkasa, di Dieng dia tak malu-malu menghampiri. Ya, kami bersentuhan dengan kabut putih yang biasa disebut awan itu.

Sampai di Dieng, ada 4 orang perempuan yang menghampiri. Satu persatu dari mereka memperkenalkan diri. Vera, Ovie, Fatma dan Ami. Kostum mereka sudah sangat siap tempur melawan suhu kejam Dieng. Topi kupluk, sarung tangan dan syal.

Tim akhirnya sudah lengkap, 9 orang plus Mas Dwi. Kami menuju Dieng Plateau Theater. Disana kami bertemu dengan bocah berambut gimbal. Nita namanya. Kami menyaksikan film berdurasi 12 menitan tentang Dieng. Film ini cukup informatif. Saya jadi tahu, tahun 1976, gunung meletus. Setidaknya ada 149 orang tewas keracunan gas CO2 yang muncul dari dalam perut bumi.

Film ini juga menunjukkan objek-objek menarik yang bisa dikunjungi. Telaga Warna, Candi, Kawah Sikidang, dan kawah Candradimuka.
Sebelum berangkat, seorang teman mewanti-wanti saya untuk tidak melewatkan kawah Candradimuka. Dia tidak menjelaskan alasan spesifik. Tapi sayang, karena keterbatasan waktu dan jarak tempuh yang lumayan, geng KYU tak sempat menyambanginya.

Malam semakin merapat, kami makan malam berjamaah. Makan mala mini menjadi semacam momen sambung rasa. Kami berbincang untuk mengenal lebih jauh. Saya sendiri, berusaha menghafal nama. Ini kelemahan akut saya. Sulit menghafal nama.

Paling saya ingat Vera. Dia menjadi satu-satunya perempuan yang membawa kamera DSLR. Peralatan pembeku momennya lumayan lengkap. Lensa ini itu sampai tas kedap air. Vera kerja di Surabaya, di Phapros. Jika tak salah, sebenarnya, rumah Vera di Jakarta. Surabaya hanyalah tempat untuk mendulang rupiah. Malam itu dia memakai topi kupluk merah. Khusus untuk Vera, saya menggarisbawahi penampilannya. dia memang memakai kupluk, sarung tangan dan syal. Tapi blus yang dikenakannya justru tipis. Celananya juga pendek. Jadi, saya tak habis pikir, bagaimana dia bisa menahan hawa dingin yang malam itu begitu kejam menyergap. Saya ingat Nita pernah nyeletuk mengomentari penampilan Vera. “Leher ke atas untuk digunung, tapi leher ke bawah gaya pantai”. Vera malah kegirangan jika dikomentari perihal penampilan ini. Saya memanggilnya Mami Vera.

Keesokan harinya, kami telah siap siaga di jam 4 pagi. Tekad kami bulat, menyaksikan golden sunrise yang tersohor itu. Cuaca membekukan tidak menghalangi semangat membaja kami. Ternyata, trek yang harus ditempuh lumayan juga. Bagi yang tak terbiasa dengan aktivitas fisik, tentu lumayan menyita energi, saya termasuk di dalamnya. Namun, beratnya perjalanan langsung terbayar lunas.

Semburat kuning nampak mempesona di ufuk timur. Perlahan dan pasti, Gunung Sindoro makin jelas terlihat. Keindahan alam, sahih tak terbantahkan. Saat cakrawala menyajikan nyanyian alam berupa gradasi warna, dan gerakan anggun matahari yang merangkak naik perlahan dan pasti.

Ovie sangat terlihat menikmati suguhan alam kali ini. Ovie belakangan saya tahu, dia seorang dokter yang tinggal di Jogja. Dalam geng KYU, Ovie satu-satunya anggota yang sudah menikah. Kami sempat mendengar cerita, bagaimana Ovie merayu Vera agar memintakan ijin pada suami untuk diperbolehkan turut serta. Saya tebak, Ovie bukanlah orang yang senang mendominasi. Beberapa kali saya lihat, dia hanya tersenyum melihat celoteh masing-masing dari kami. Tipikal pengamat.

Sampai menjelang pulang, saya sering tertukar antara Ovie dan Fatma. Fatma juga seorang dokter yang sedang mengambil spesialis syaraf di Jogja. Bisa dikatakan, Fatma adalah anggota yang paling memperhatikan gaya berbusana. Semua outfit yang dikenakan nampak serasi. Fatma pandai memadupadankan warna dalam pakaian. Ya, Fatma jadi terlihat cantik. Tak heran, selama trip, Fatma berhasil mendapat penggemar, minimal satu. Hahahaha

Kami melanjutkan perjalanan. Kali ini Telaga Warna. Untuk menghindari tagihan tiket masuk, kami diajak Mas Dwi untuk mendaki. Lumayan juga jalur yang harus kami lewati. Lagi-lagi Mas Dwi tidak mengecewakan. Kami mendapat sudut pandang terbaik untuk melihat Telaga Warna. Gratis pula. Di sini, kali pertama kami melakukan photo keluarga. Lengkap.

Yang paling kasihan adalah Mbak Ami. Dia terlihat kelelahan. Saat turun, Mbak Ami dibantu Dika. Mbak Ami itu kalem-kalem punya sisi premanisme. Saya ingat, dialah yang memastikan pembayaran makan malam sudah seperti seharusnya. Dengan gayanya yang khas, dia mengecek satu-satu nominal uang yang harus di bayar oleh masing-masing dari kami. Kekhawatirannya terbukti, uang malah lebih ternyata. Jumlahnya Rp 5.500,- menjadi tanggung jawab Dika untuk mengembalikan. Mbak Ami juga orang paling misterius dalam rombongan. Alamat FB-nya menjadi yang paling terakhir saya ketahui. Meski begitu, dia penyayang. Saya terharu, saat di perjalanan pulang menerima pesan pendek darinya.

Setelah mengunjungi Telaga Warna, kini giliran Kawah Sikidang dam Candi Arjuna. Kami diwanti-wanti oleh Mas Dwi, agar tidak terlalu lama berada di sekitar kawah. Gas CO2 yang tidak berwarna dan tidak berbau bisa membahayakan nyawa. Selanjutnya kami menuju candi Arjuna. Seperti turis pada umumnya, kami banyak membekukan momen disini. Konon, keberadaan candi di Dieng ini merupakan bukti bahwa pemeluk agama Hindu pertama di Indonesia berasal dari Dieng. Bukan Bali.

Setelah makan siang dan mengepak barang, kami menuju Sumur Jalatunda. Mitos yang berlaku, barangsiapa berhasil melempar batu hingga ke seberang, maka keinginannya akan terkabul. Melihat besarnya diameter sumur, saya tidak heran jika banyak yang tidak berhasil melakukannya.

Dika nyeletuk, “Saya kalo mau keinginannya terkabul, ya usaha!” Statemen yang masuk akal Dik.

Destinasi berikutnya adalah pemandian air panas. Setelah berunding, akhirnya kami menuju pemandian kalianget di kota Wonosobo. Tiket masuknya murah sekali. Tapi begitu melihat air dalam kolam, yaiy..saya sempat bergidik. Warna airnya coklat. Jujur, bukan karena saya merasa jijik. Namun karena saya takut warna kaus saya akan mengalawi pemudaran warna permanen. Melihat Dika dan Nita cuek, saya akhirnya tertarik juga. Ada yang menarik di kolam ini. Ada sejoli di pojok nun jauh di sana. Yang tak lazim, si perempuan memakai kacamata hitam. Baru ini, kali pertama saya melihat orang berenang memakai kacamata hitam. Hitam loh ya, bukan kacamata renang. Sejoli ini memiliki percaya diri luar biasa. Mereka cuek sekali, tak peduli dengan sekeliling. Ini kolam renang paling ajaib yang pernah saya datangi. Menjelang beranjak, saya dan Dika sempat menggunjing sejoli lain yang asik berfoto dengan ponsel, dengan bahasa tubuh birahi tinggi. Hadoooh, saya langsung merasa ada di kawasan penuh lumpur dosa. Lebaaaaay.

Least but not last. Kami berburu Mie Ongklok. Diantara telepon agen bus yang memastikan kami agar tidak terlambat sampai di terminal. Dika sampai menamainya “Mie Ongklok Rush Hour” di twitternya. Akhirnya saya mencicipi mie khas Wonosobo ini. Mie Ongklok menjadi penutup yang sempurna dalam perjalanan ini.

Bahkan, saat saya menyusun bait aksara ini, sudah empat hari lalu berselang. Namun kebahagiaannya masih menyusup dalam tiap pori. Terimakasih ya, untuk sepotong perjalanan yang membahagiakan ini. Kebahagiaan semakin sempurna, karena perjalanan ini mempertemukan saya dengan orang-orang menyenangkan seperti kalian teman. sinih..sinih, tak peluk satu-satu.

Senin, 25 April 2011

Hey, Kakak terbaik di Dunia!!


Memenuhi tautan janji yang terbersit dalam hati. Menulis tentang kamu, Partini.

Saya biasa memanggilnya Mbak Tin. Tapi kali ini, saya mau sedikit durhaka, meamanggilnya dengan sebutan Apta. Sengaja mengilangkan sebutan Mbak, bukan berarti saya tak hormat loooooh.

Partini, di akun FB dia menyematkan nama ayah dan nama gabungan bulan plus zodiac, jadilah Partini Apta Sadiin. Nama Apta muncul dari gabungan April-Taurus.

Berhubung kami adalah saudara sepupu, jadi dia tentu melihat busuk-busuknya saya sejak kecil. Busuk dalam kemalasan, busuk dalam kemanjaan, dan busuk dalam ketakmampuan menggambar. Saya ingat persis, dulu saya memintanya membuatkan tugas menggambar penari bali. Tangannya begitu lihai memindahkan guratan penari bali dalam buku gambar saya. Tapi tidak gratis, ujung-ujungnya dia memalak. Saya harus membayarnya 50 perak. Jaman itu, nominal itu bisa untuk membeli es mambo dua.

Kami juga pernah nyaris tewas gara-gara obat nyamuk bakar. Untung mati konyol tak sampai terjadi. Betapa tidak, saat tidur nyenyak, api bahkan telah melahap bantal yang kami pakai. Gusti pangeran masih sayang sama kita.

Apta. Dalam pandangan saya, dia paling militan diantara saudaranya.

Lulus SMK dia mengadu nasib di Jakarta. Ini kali pertama terjadi. Anak keluarga Sadiin mengadu nasib ke kota, Jakarta lagi. Bahkan, dia pernah juga tinggal di Manado. Saya tak ingat persis hitungan waktunya. Yang saya ingat dia pernah berlebaran sebatang kara di Manado sana.

Banyak pelajaran hidup yang saya petik darinya. Soal keuletan, kesabaran, dan sifat bijak yang dengan malas harus saya akui. Ya, dia laksana telaga. Jika sedang di puncak emosi, saya sering menelponnya. Ajaib, hati ini serasa disiram air, adem.

Bagaimana soal skill? Hm..Apta memiliki jiwa seni mumpuni. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Apta pandai sekali menggambar. Entah terbuat dari apa urat-urat di jemari tangannya, setiap coretan kok ya bisa-bisanya selalu jd gambar indah. Apta paling tak bisa melihat sesuatu polos tanpa sentuhan. Tak heran, kita akan menemukan kaos ataupun taspolos tiba-tiba bermotif. Tentu hasil ulahnya.

Dia juga senang memetik gitar. Beberapa lagu gubahannya sempat saya dengarkan. Tak bisa dikatakan mengesankan, namun cukup okelah. Lagu ciptaannya bernada sendu nan pilu. Sejalan dengan karakternya yang kalem. Saya tak bisa membayangkan, jika dia terbakar amarah. Saya rasa, teriakannya hanya akan menyentuh level satu oktaf.

Meski kalem begitu, jangan coba-coba membuatnya kecewa. Dia akan menyimpan kekecewaan di hati terdalam. Menyimpannya dalam memori. Mengingat dengan keakuratan sahih. Apta bukan pendendam, karena tak akan ada aksi yang dilakukan untuk membalas kekecewaan. Namun dia akan mencatat baik-baik. Jadi, jika masih ingin memiliki hubungan jangka panjang, jangan membuatnya kecewa. Karena, sekali kecewa, percayalah, hubunganmu dengan Apta tidak akan pernah sama lagi. Sebenarnya, Apta adalah orang yang pemaaf. Namun memaafkan tidak berarti melupakan bukan?
*Maaf ya jika sok tau saya menyembul

Tulisan ini saya buat, untuk mengenang hari lahirnya. Tepat jatuh di hari ini, 26 April.

Semoga, berkah selalu mengikuti tiap jejak langkahnya. Selamat ulang tahun, hei kakak terbaik di dunia!!!

Rabu, 20 April 2011

Hey, Tolong Jangan Palsu!


gambar diambil dari sini

Saya memiliki kebiasaan buruk. Memindai orang saat kali pertama bertemu. Entahlah untuk tujuan apa, itu terjadi dengan sendirinya. Mata ini dengan kurang ajarnya akan memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Mulai dari rambut. Apakah potongan rambutnya oke. Apakah rambutnya indah atau malah kusam yassallam. Apakah memakai aksesoris di kepala atau tidak. Apakah pemilihan aksesoris cukup indah hingga memperindah atau malah menjadikannya norak.

Pemindaian kejam ini akan terus turun. Leher. Badan. Kaki. Hingga alas kaki yang digunakan. Semua terkait dengan outfit yang dikenakan. Pemindaian ragawi.

Sungguh tak ada niatan apa-apa. Toh jika hasilnya minus pun tidak mempengaruhi sikap saya selanjutnya. Faktor utama yang akan mempengaruhi sikap saya pada seseorang adalah manner. Yup, sikap.

Saya paling tidak suka orang yang berbicara terlalu besar. Besar sekali sampai kadang tak masuk di otak saya yang hanya secuil ini. Percayalah, semakin kamu berusaha terlihat hebat dengan ‘tinggi’ nya pembicaraan, justru akan semakin menurunkan skor penilaian.

Jadi, mbok ya tolong jangan sok-sok an bilang belanjanya di Grand Indonesia kalau saat itu yang saya lihat situ hanya memakai outfit Ramayana. Jangan sok-sok an bilang pernah keliling Eropa kalau situ ngomong English aja masih sama gagapnya dengan saya.

Kebiasaan ini kemudian memukul balik diri sendiri. Ya, saya sebisa mungkin berusaha tidak melakukan yang aneh-aneh a.k.a omong besar. Karena yak arena saya tidak suka menjumpai orang bermulut besar, maka saya berusaha sebisa mungkin tak menjadi si mulut besar.

Apakah sudah berhasil? Saya hanya bisa nyengir kuda jika ditanya ini.

Untung omong besar tidak menjadi kebiasaan saya. Tapi ya ndak tahu ya kalau itu saya lakukan saat tak sadar.

Jadi teringat seorang kawan jaman kuliah dulu. Anggap saja namanya Tina. Nyaris semua teman kuliah, mengingat si Tina dengan predikat si omong besar. Ada-ada saja yang dipamerkannya. Awalnya terasa masuk akal, sampai lama-lama keluar nalar.

Tina pernah mengaku sedang mengikuti kuliah di Kampus A dengan jurusan Sastra Jepang, bersamaan dengan program studi Jurnalistik (jurusan saya saat kuliah). Saat itu saya terkagum-kagum. Hebat. Bagaimana tak sakti? Anak jurnalistik itu pasti sibuk luar biasa dengan tugas liputan ini itu plus bikin makalah-makalah. Tina kok sempat-sempatnya dobel kuliah. Sampai lama-lama kami sadar dia berbohong. Karena Tina selalu ngendon di kampus. Yah, dia berperilaku sebagaimana mahasiswa yang kuliah hanya di satu kampus.

Satu waktu kelompok saya ditugaskan membuat feature tentang nelayan. Saya beruntung mendapat tim yang luar biasa kompak. Kelompok itu kami namakan Pasar Monyet. Kami sepakat mengambil angle kehidupan nelayan Pelabuhan Ratu. Sekalian jalan-jalan. Disana saya gembira bukan main. Di Tempat Pelelangan Ikan, dijual cumi besar dan segar dengan harga Rp. 20.000,-/kg. meski tidak tahu harga pasaran cumi pada umumnya, saat itu terasa murah. Dasar bocah sotoy.

Di kampus, saya pamer-pamer pengalaman membeli cumi dengan harga Rp. 20.000,-/kg itu. Ada Tina di sana. Entah merasa harus menang atau bagaimana, tiba-tiba dia nyeletuk,

“Belum apa-apa itu Ndang, gue beli di Muara Angke dua puluh ribu dapet sepuluh kilo”

What?! Tentu kami lebih percaya, dia pembual paling bodoh sejagad.

Entahlah, pendidikan keluarga macam apa yang membentuk pribadi anehnya itu. Bualan-bualan lain masih tak terhitung jumlahnya. Kuping saya sampai kebal jika dia bercerita pengalaman liburan sama papi mami ke pelosok nusantara sampai luar negeri. Bagaimana saya mau percaya, jika tidak ada satupun bukti kebenaran yang mendukung ceritanya?!

Kali lain, dia mempromosikan black forest buatan tantenya. Katanya enak bukan main. Untuk memberi kejutan pada teman yang berulang tahun, maka kami sepakat untuk minta dibuatkan black forest oleh tantenya Tina. Katanya, kami hanya cukup menyetor uang 50 ribu saja sebagai pengganti bahan. Dasar lugu, kami percaya saja. Sampai sore yang dinanti, Tina tak muncul. Ditelepon, tak diangkat. Kami gelisah bukan main. Sampai sore menjelang magrib dia muncul dengan wajah kuyu. Katanya si tante sedang ada masalah dengan suami, jadi tidak bisa membuatkan black forest. Dan uang 50 ribu itu sudah terlanjur diberikan.

Dooh, sumpah saat itu saya ingin sekali meninjunya. Maksud hati ingin memberi kejutan pada teman yang berulang tahun, malah kami beramai-ramai yang diberi kejutan asam oleh Tina. Sejak saat itu, saya tidak mau berteman lagi dengannya.

Jadi, bagi yang suka besar omong. Intropeksilah. Kita tidak akan mendapatkan tulusnya persahabatan, jika dimulai dengan kebohongan. Bagaimana kita akan mendapat sebuah ketulusan, jika kita sendiri masih palsu?!

tiba-tiba ingin menyenandungkan lagu Radiohead bertajuk Fake Plastic Trees

Kamis, 07 April 2011

Kenangan Kelabu


mengambil gambar di sini

I just wanna hold you
I just wanna kiss you
I just wanna love you all my life
I normally wouldn't say this but I just can't contain it
I want you here forever right here by my side


Itu petikan lagu by my side yang dinyanyikan David Choi. Saya tak tahu persis seberapa tenar dia dalam dunia musik. Saya juga tak tahu dia berasal dari mana. Yang saya tahu, suara-nya dalam lagu itu berhasil membolak-balikan hati. Mengingatkan saya pada tragedi patah hati.
Kejadiannya akhir November tahun 2010 lalu. Saya tak ingat tanggal persisnya. Baiklah, sebentar saya cek di facebook.

Mari kita mulai mendongeng pilu.

27 November 2010 kami, saya dan batu, memutuskan untuk mengakhiri semua.
Saya merasa baik-baik saja. Sedih pasti, namun jujur reaksi saya sangat jauh lebih baik dari yang saya duga. Tadinya saya berpikir, saat putus saya akan menangis meraung-raung, tak bisa tersenyum, meski sekedar senyum palsu, dan menjadi pendiam sangat hingga tak mau bertemu orang.
Ternyata yang terjadi justru lebih baik. Sangat jauh lebih baik malah. Saya merasa datar-datar saja. Merasa tidak terjadi apa-apa. Getas. Hambar.

Sampai dua hari setelah itu, kesadaran yang menyesakkan mulai menyeruak. Ternyata kesedihan yang begitu dalam justru akan terasa pelan-pelan namun menyakitkan. Di bawah sadar, kesedihan itu merasuk sukma. Menggerogoti tiap detik waktu yang ada. Datang bersama kesakitan luar biasa. Tak bisa dilihat, hanya bisa dirasa. Sesak.

Hari-hari di waktu itu sama sekali tak memiliki aspek bahagia. Semua rata menjadi kelabu. Semuanya bermanifesto dalam tindakan. Saya jadi banyak melakukan kesalahan yang seharusnya tak perlu. Berangkat pagi-pagi menuju kantor, malah nyasar ke Roxy, padahal kantor saya ada di Thamrin. Besoknya, saya pulang dari kantor menuju kost, malah nyasar sampai ke Serpong, padahal saya kost di kawasan Meruya. Tidak cukup rupanya. Besoknya, dengan bodoh saya meninggalkan sepatu di apartemen teman.

Awalnya, saya berpikir semua baik-baik saja. Sampai kesadaran menyeruak dengan keji. Saya terluka. Sebenar-benarnya terluka. Hingga kesedihan merasuk di alam bawah sadar.

Bahkan, saat merangkai bait-bait aksara ini, rasa sesak itu kembali menjelma. Padahal, peristiwa itu pun telah berlalu. Melintasi 131 putaran dalam hitungan hari. 4 bulan lebih.

Saya tidak tahu, berapa lama lagi putaran waktu yang saya butuhkan. Untuk menjadikan saya kembali utuh. Tidak terbelah.
Yang saya tahu, saat ini dia baik-baik saja. Harapan saya juga demikian tentu.

Senin, 04 April 2011

Tenang Saja, Ada Tangis Untukmu


mengambil gambar di sini
Menulis ini untuk memenuhi tautan janji yang sore tadi saya ucapkan atas permintaan seorang kakak bernisial SFS. Tak perlulah saya mengungkap jati diri si kakak ini. Orang-orang yang mengenal saya dengan kedekatan massif tentu mengetahui siapa si SFS ini.

Saya mengajaknya untuk bertemu di Taman Suropati. Tak ada niatan apa-apa. Saya hanya merasa bosan karena sejak kemarin tak melakukan apapun selain ngoler-ngoler di kamar tanpa juntrungan. Sungguh tak bermanfaat lah pokoknya. Tak perlu diperjelas kan, aspek-aspek seperti apa yang dinamakan tak bermanfaat ini. Jadi, saat ini saya sedang dalam posisi nyaris depresi, tak memiliki harapan, asa ataupun keinginan luhur. Hampa tak berujung.

Jika sedang galau gulana begini, ada dua orang yang bisa diandalkan. Salah satunya ya si kakak SFS ini. Satunya lagi Firdaus Mubarik, berhubung dalam beberapa bulan belakangan ini, Ki Daus (panggilan sayang saya untuk Firdaus Mubarik) sedang menjadi milik umat yang akhirnya akan berafiliasi pada kesibukan yang luar biasa. Pokoknya umat Ki Daus tidak hanya saya seorang, masih banyak orang-orang di luar sana yang membutuhkan perhatiannya. Saya tak mau mengganggunya.

Sore sekitar pukul 15.00 saya mengirim pesan pendek pada si kakak. Isinya menanyakan dia sedang di mana dan sedang apa. Saya tak ingin tahu dia sedang bersama siapa. Karena dengan mengetahui lokasi dan apa yang sedang dilakukan, saya sudah bisa mengira-ira orang-orang yang ada di sekeliling. Biasa, sok tahu saya kan kadang mencuat tanpa komando. ^_^

Rupanya si kakak sedang makan. Dia menawari saya untuk menyambanginya. Merasa enggan, saya malah mengajaknya untuk pergi ke Taman Suropati. Iseng saja. Saya ingin merasakan atmosfer yang berbeda. Tidak hanya nguyel di kamar kost-nya kemudian lanjut makan nasi kucing. Itu sudah menjadi semacam SOP jika saya berkunjung ke kost-nya di malam hari.

Meskipun Taman Suropati letaknya dekat sekali dengan kost saya, ternyata SFS lebih dulu sampai. Saya taksir, dia menunggu lebih dari 30 menit. Berhubung dia seorang penyabar, jadi tidak perlu ada insiden ngambek atau mengomel kecil. Duh, baik deh kamu.

Begitu bertemu, dia langsung mengatakan ingin pipis. Dasar. Seharusnya kan laki-laki lebih bisa menahan hasrat ingin pipis ya? Kan dia punya semacam ‘pipa’ penyalur yang jaraknya lebih panjang di banding wanita. Karena, ya wanita kan tidak memiliki ‘pipa’. hihihi

Seperti biasa, kami membicarakan banyak hal. Sambil menikmati suasana taman yang elok di pandang. Ada gerombolan orang yang memegang alat musik seperti biola dan flute. Ada beberapa lagi yang asik berfoto, dengan kamera SLR tentu saja. Entah mengapa, akhir-akhir ini saya mulai jarang melihat orang membekukan momen dengan digital camera biasa. Lanjut membahas tentang apa-apa yang saya lihat di taman ya. Ada pedagang yang matanya awas. Sigap menangkap pertanda berupa lambaikan tangan calon konsumen. Dan, tentu saja ada pasangan yang saling menggelayut manja dengan mata syahdu yang dengan sok tahunya saya terjemahkan ilopyu.
*Udah deh Ndang bilang aja pacaran, repaot amat? (kepala digetok panci)

Kami banyak bertukar cerita. Mengingat dua minggu ini kami jarang berbincang. Dia masih dengan urusan hati yang tak kunjung padam. Masih merasa sesak akibat cinta. Merasa sulit tidur dan membuang energi dengan menonton banyak film. Malang tak dapat ditolak, ternyata beberapa film yang ditontonnya justru mengambil setting cerita pilu. Ya makin mellow-lah suasana hatinya.
Dia juga bercerita tentang rencana. Rencananya untuk pergi ke Papua. Melakukan liputan mendalam. Ah..semoga tak membahayakan nyawa.

Cerita tentang mantan kekasih yang umur pacarannya sama dengan jumlah tahun untuk menyelesaikan Sekolah Dasar. Yups, 6 tahun saja. Hubungannya kandas akhir November 2010 lalu. Pas sekali, sehari setelah saya pun putus dengan si batu. SFS masih bertelepon ria dengan mantan yang ada nun jauh di Jogja sana.

Berbagi kisah tentang usaha untuk kembali merasa jatuh cinta. Bukan keberhasilan yang didapat, namun justru sakit. Begitu katanya. Jujur, saya tak mengerti. Tak mengerti, bagaimana kegagalan merasa jatuh cinta justru menuai rasa sakit.

Padahal, posisinya saat ini lebih strategis. Jika dia mau, saya rasa dia bisa dengan mudah menjerat hati. Tapi mungkin ya dia memang tak mau. Cintanya telah ditujukan pada seseorang yang namanya tentu tak boleh saya sebutkan di sini.

mm..apa lagi ya topik yang kami bahas?

Uhm, soal pekerjaan saya. Pekerjaan yang ternyata tidak memenuhi ekspektasi dan dengan sukses membentuk lubang menganga dalam bernama kekecewaan.

Juga membahas tentang teman-teman kami yang belakangan ini sibuk luar biasa. Sibuk karena insiden Cikeusik yang menewaskan tiga orang itu.

Saya kemudian makan somay dengan lahap. Dia tidak tertarik setelah mencoba sesuap.

Melanjutkan obrolan. Saya tak ingat persis rentetan materi perbincangan kami.

Kami kemudian memutuskan mencari makanan. Tujuan awal adalah soto ceker di dekat 711 Tosari. Kami adalah sepasang manusia impulsif akut. Di tengah jalan, kami malah berbelok menuju Taman Menteng.
Saya memesan roti bakar, si kakak memesan sate ayam. Untuk minum, kami kompak, pilihan jatuh pada es teler.

Makan di Taman Menteng memberi pelajaran tersendiri. Kami sukses kena getok harga. Satu porsi sate ayam, sukses dihargai Rp 26.000,- saja dong.

Ternyata, kami malah lanjut mengobrol. Banyak yang kami perbincangkan. Sesekali, saya melihatnya tertegun. Melihat perempuan dengan tampilan modis. Saya saja yang perempuan suka, apalagi dia yang notabene laki-laki normal. Ya, Taman Menteng di malam hari memang menyenangkan. Kita bisa wisata mata.

Entah bagaimana awalnya. Tak ingat rentetan cerita. Ternyata kami memiliki kesamaan. Suka menghayal menjelang tidur.

Baiklah, setiap menjelang tidur, saya terbiasa membentuk fragmen. Saya menjadi apa, bertemu siapa, atau mengatakan apa. Itu ada di dunia khayal semata. Terkadang saya menjelma jadi orang pintar luar biasa. Saya ingat Persis, saat masih SMU khayalan saya adalah tinggal di Jepang. Berkawan dengan laki-laki yang tampannya menyerupai Hideaki Takizawa. Kadang tokoh laki-lakinya saya ganti dengan yang menyerupai Takuya Kimura. Bagaiamana saya bisa sampai di Jepang juga dipikirkan. Saya pelajar Indonesia yang mengikuti pertukaran pelajar. Namanya juga berkhayal, sah sah saja bukan?

Tak jarang pula saya mencipta fragmen pilu. Malah terkadang, saya benar-benar menangis. Biasanya fragmen semacam ini tercipta saat suasana hati sedang benar-benar merasa sedih.

Saya tak tahu, ada sedikit atau malah banyak orang yang melakukan hal serupa. Mengkhayal sebelum tidur. Tak ingin juga mencari tahu. Namun ternyata si kakak juga serupa. Dirinya juga sering mencipta fragmen sebelum pergi ke taman mimpi.

Dia menceritakan kisah yang pernah dia bentuk saat menjelang lelap. Lebih banyak tentang kesedihan. Saya dan teman-teman lain masuk dalam ruang imajinya. Kebanyakan dia membentuk kami (teman-temannya) akhirnya berbahagia. Sedang dia? Tetap tenggelam dalam kesedihan. Duh..kasihan sekali. Kami takjub, ternyata ada lagi kesamaan kami. Jangan-jangan di kehidupan sebelumnya kita ini terlahir kembar ya?
*nyengir kuda

Si kakak pernah bilang, katanya beberapa orang mengatakan hubungan saya dan si kakak itu unik.
Satu dua orang pernah bertanya, mengapa saya dan kakak tidak pacaran saja?
Saya langsung mesem. Bukan kegirangan dengan pertanyaan itu.

Sebutan kakak disini benar-benar murni, tulus. Saya menganggapnya kakak. Meski kami tidak dilahirkan dari rahim yang sama, namun saat ini bisa saya pastikan, hubungan kami benar-benar murni platonik. Tak ada rasa yang terlibat. Saya pernah menangis dalam pelukannya. Bayangkan, jika ada rasa diantara kami, sesudah adegan tangis peluk tentu aka nada rasa canggung. Namun bukan itu yang terjadi. Yang ada saya malah merasa bersalah telah memenuhi syal rajut miliknya dengan lendir ingus. Yiacks. Masih sambil sesegukan, saya berjanji akan mencuci syal penuh ingus dan campur air mata itu. Hahahaha

Bagaimana mungkin kami akan saling jatuh cinta? Lah wong tiap ketemu, kami selalu berebut cerita, tentang cinta setengah hati. Dia dengan dongeng saturnus dan saya dengan pemujaan akut pada seseorang tak penting yang seharusnya juga tak layak dipuja.

Jadi, jika yang membaca ini adalah perempuan yang diam-diam menyimpan rasa pada si kakak, tak usah khawatir. Tenang saja. Saya dan kakak tidak ada hubungan apa-apa kok. Sini, tinggal bilang saja pada saya, nanti saya bantu. Dengan senang hati.

Diperjalanan pulang menuju kost saya, kami berdebat soal siapa yang akan lebih sedih jika ditinggal mati oleh salah satu dari kami. Dia yang mulai.
“Kamu nanti akan menangis tidak jika aku mati?” tanyanya.
“Sedih iya,tapi gak tahu deh nangis apa nggak”, jawab saya. Itu jawaban bohong.

Ya iyalah, pasti aku nangis. Itu jawaban aku yang asli wahai kakak. Jangan tanya kenapa. Aku kan cengeng. Mengkhayal aja bisa bikin aku nangis, masa kamu mati aku gak nangis?
Jadi, tenang saja kakak. Jika kamu mati, sudah pasti akan ada orang yang menangisi kamu. Tak perlu khawatir.

Selasa, 15 Maret 2011

UNICEF Bergaya Jalanan


United Nation Children’s Fund atau lebih akrab di telinga dengan sebutan UNICEf. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kurikulum pendidikan di Indonesia telah memperkenalkan adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa lengkap dengan badan atau semacam divisi khusus yang akan membantu peningkatan kesejahteraan. Untuk buruh berada di bawah naungan ILO, untuk budaya kita bisa mempercayakannya pada UNESCO. Masalah kesehatan dibawah naungan WHO. Pun demikian untuk mengangani masalah anak-anak, kita bisa menggantungkan diri pada UNICEF.

UNICEF memberikan pelayanan teknis, pembangunan kapasitas, advokasi, perumusan kebijakan serta mempromosikan isu-isu mengenai anak.

UNICEF identik dengan warna biru muda, dan siluet warna putih bergambar ibu dan anak.
Citra organisasi ini tentu luar biasa bagus. Kehadirannya di tanah air sejah tahun 1948, saat Lombok dilanda kekeringan hebat. Kerjasama dengan pemerintah Indonesia pun telah terjalin pada 1950 dengan memprioritaskan diri pada perbaikan kesehatan anak Indonesia.

Saya sempat terkagum-kagum dengan jajaran pemuda berseragam biru muda bergambar logo UNICEF. Mereka terlihat pintar dan penuh percaya diri. Mereka adalah jajaran volunteer yang membaktikan sebagian waktunya untuk turut serta dalam aksi perbaikan kualitas anak, terlebih Indonesia. Mereka memberikan penyuluhan tentang kondisi anak-anak Indonesia. Mereka juga membagikan leaflet dengan senyum ramah. Mereka bak pahlawan. Demikian hati ini menilai keberadaan para relawan muda ini. Mengagumkan.

Namun, kekaguman itu sekarang runtuh.

Semua karena aksi UNICEF yang menggalang dana di jalan-jalan. Belum lagi si mbak-mbak dan mas-mas (saya tak tahu apakah mereka layak disebut relawan) ini kerjanya mencegat setiap orang yang lalu lalang.

“Bisa permisi sebentar…”
“Ini bukan jualan..”
“Anda tahu Unicef?”

Begitulah kira-kira sapaan segerombol orang berpakaian UNICEF ini. Jujur, saya memang tidak pernah sekalipun menyempatkan waktu mendengar penjelasan dari mereka. Saya malas, karena ujung-ujungnya dibalik presentasi mini itu akan mengerucut pada permintaan donasi.

Selama ini, saya dengan senang hati akan turut memberikan donasi untuk UNICEF lewat pembelian pin yang ditawarkan di gerai-gerai. Saya pernah membeli pin UNICEF di gerai Sony Ericsson.

Sungguh disayangkan, organisasi bergengsi macam UNICEF rela mempertaruhkan citra dengan menyebar segerombol orang di jalanan untuk menggalang dana. Bagi saya pribadi, konsep penarikan dana seperti itu kok jadi terkesan kumuh. Member kesan urakan.

Maaf ya, mbak-mbak dan mas-mas berseragam UNICEF itu seakan tak lebih dari sales yang sedang menjajakan dagangan dengan mencegat orang di jalanan.

Penggalangan dana serupa juga dilakukan oleh oragnisasi kelas dunia macam Greenpeace. Namun, caranya sangat jauh lebih elegan. Mereka membuka booth di mall serta mengerahkan relawan untuk menjaring pengunjung yang mau mendonasikan sejumlah uang. Cara ini tentu lebih elegan. Orang yang dijaring adalah pengunjung mall yang notabene memiliki waktu senggang.

Berbeda jauh dengan UNICEF yang menggalang dana dengan gaya jalanan. Tak peduli seberapa cepat langkah orang yang lewat, mereka main cegat, dengan gaya pendekatan yang aduhai mengesalkan. Ah..semoga pihak yang berkepentingan di UNICEF segera memperbaiki metode penggalangan dana model begini.

Minggu, 13 Maret 2011

Kangen Dydit, Ebeth dan Butet



Ini hari senin. Hari dimana pekerjaan saya menumpuk berkalilipat tekanannya. Hari dimana seharusnya saya memiliki double energy untuk menyelesaikan satu persatu pekerjaan saya, mencari berita kemudian membuat ikhtisarnya.
*tentu saya menulis ini seusai menjalankan tanggung jawab primer

Namun, hati ini diliputi kerinduan mendalam pada tiga orang sahabat yang pernah mengisi hari-hari saya dalam rumah ceria. Ya, aku sedang merindukan kalian teman. Dinia Saridewi a.k.a Dydit, Elyzabeth Tamba a.k.a Ebeth, dan Melva Herawati Sirait a.k.a Butet.

Tak kupedulikan seberapa banyak perselisihan yang pernah ada. Tak kuingat seberapa mangkel aku pernah merasa kesal pada kalian. Saat ini aku ingin bersama kalian. Titik.

Yang kurasa saat ini, aku ingin berada dalam ruangan itu. Ruang tengah yang lampunya sering mati. Kita sering bespekulasi bahwa ruang tengah itu berhantu, makanya ‘si pengunggu’ tak suka jika ruangan itu terang benderang. Ruang dimana kalian bertiga akan merajut mimpi usai menonton televisi.

Ruang tengah serbaguna. Tempat kita makan bersama. Tempat kita leyeh-leyeh. Tempat kita nonton televisi maupun DVD yang seringnya bajakan.

Ah, aku mau melakukan apa saja untuk mereka ulang satu scene saja adegan di rumah ceria bersama kalian teman.

Tak kusangka, aku akan merindukan semua itu. Saat dimana rasanya tak akan menjadi berarti, tapi ternyata mengesankan hati hingga mencipta nyeri di ulu hati.

Hayuk, kapan kita bisa makan bubur ayam di dekat tukang buah itu?
Kapan kita makan Ayam Taliwang?
Atau..
Makan nasi-kangkung-sambal-dan tempe goreng pun jadi. Asalkan itu bersama kalian teman. Lengkap. Tak boleh kurang satu pun!!! Saya menggungat!!!

Minggu, 06 Maret 2011

meninggalkan jejak

tidak sedang ingin bercerita
hanya mau meninggalkan sedikit jejak
semacam petilasan
saat aku
sedang berada jauh dari pusat dunia
jauh dari ari-ari yang tertanam

semua yang kutemukan
mengerucut pada satu simpulan
kecintaan pada akar budaya
bagaimanapun
sesuatu yang membiasakan memang mencipta nyaman

itu mutlak

Kamis, 03 Maret 2011

Happy Birthday Pisces!!


Maret
Ini adalah bulan yang menarik perhatian saya. Bulan ketiga dalam urutan kalender masehi. Bulan dimana beberapa orang yang saya kasihi merayakan hari lahir. Terpengaruh seorang teman, saya jadi memberi perhatian lebih pada setiap orang yang berulang tahun di bulan Maret.

Mengacu pada cocok-cocokan zodiac yang mengatakan cancer itu berjodoh dengan pisces. Saya cancer.

Jodoh tentu tak selamanya berafiliasi pada pasangan hidup. Jodoh bisa diterjemahkan teman karib.

Mengingat cancer, lipatan otak ini akan mengangkasa membayangkan beberapa kawan yang berada di bawah naungan zodiac yang berlambang ikan ini.

Baiklah, karena iseng saya akan mereview satu-satu dari mereka.

Shelvy
Saya pernah membuat postingan khusus tentangnya. Jadi agak malas jika akan membuat tulisan panjang tentangnya. Yang pasti, dialah yang membuat saya percaya, pisces itu cocok dengan cancer. Siyal, paham itu merasuk dalam otak, diamini sepenuh hati. Hasilnya, langsung ada bunyi ‘klik’ tiap ada cowok lucu yang ternyata berbintang pisces.

Saya tahu itu cuma sugesti. Tapi bunyi ‘klik’ itu kan juga tidak bisa dikendalikan.

Shelvy berulang tahun di tanggal 6.

Iyan
Dia teman saya sejak SMP. Namanya aslinya Sri Maryati tapi orang akan lebih familiar dengan memanggilnya Iyan. Meski kami sudah satu sekolah sejak SMP, namun saya baru akrab dengannya di bangku SMU. Kelas 2 dan 3 kami sebangku. Dia yang tidak alergi pada fisika, kimia, dan matematika terapan sontak menjadi pahlawan bagi saya.

Iyan itu memiliki karakter ceplas-ceplos. Bicara suka seenaknya, tapi itu yang saya suka. Rasa canggungnya tipis, apalagi terhadap saya.

Iyan sering menjadi donator bayangan. Saat SMU, dia sering sekali menjadi penombok uang saat beramai-ramai sedang jalan berpetualang.

Main ke rumahnya pun tak jauh beda. Saya dan teman-teman sering kali ditraktir bakso. Bakso tentu makanan mewah jaman itu.

Saya rasa teman-teman SMU akan mengamini tentang sifat baik-suka menolong yang dimiliki Iyan. Dia tak akan sungkan menjadi seksi repot ini dan itu. Jadi teringat reuni SMU yang berlangsung 8 Agustus tahun lalu. Dia pontang-panting sibuk sana-sini mengkoordinir ini dan itu demi suksesnya acara. Two tumbs for you Iyan!!!

Yah, Iyan memang selalu begitu. Orangnya tipikal nerimo, pengalah dan ya sudahlah. Dia akan pasrah, yang penting semua senang. Jika sedih, jangan harap orang akan sadar. Dia tipikal orang yang pandai menyimpan duka. Dasar introvert terselubung. Jangan heran, dia akan selalu terlihat senang gembira, meski mungkin hatinya sedang berdarah-darah.

Saya yang telah mengenalnya lebih dari 10 tahun saja masih sering salah menerka suasana hatinya.

Tanggal 10 nanti Iyan berulang tahun.

Rere
Ulang tahunnya sama dengan Iyan. Saya mengenalnya pertengahan 2009.

Rere orang yang sangat tertata. Jadi jika dia mau melakukan sesuatu, pasti otaknya telah mengatur step by step apa-apa yang mau dikerjakan. Dia tidak akan mau melakukan Sesutu mengikuti nafsu spontanitas. Baginya, semua akan berjalan baik jika direncanakan dengan matang.

Keahliannya mengutak-atik. Apa saja diutak-atik.

Pernah saat saya pindahan, dia menemukan borgol berkarat. Borgol betulan yang ada lambang kepolisian. Borgol itu dalam kondisi terkunci. Mental mekaniknya menyembul keluar. Diutak-atiknya borgol itu, sampai kemudian si borgol berfungsi kembali.

Tak heran, selalu ada pisau victorinox di dalam tas-nya. Menunjanglah dengan hobi utak atiknya itu.

Bunda Dewi
Yang ini juga berulang tahun di tanggal 10 Maret. Orang paling sepuh dalam jajaran fragmen ini. Saya mengenalnya saat menjadi narasumber di Healthy Life. Narasumber paling mengesankan.

Bunda Dewi seorang hypnotherapist. Hobinya melakukan aksi sosial, bagi-bagi ini itu. Bergaul dengannya mengajarkan saya bagaimana mengambil tindakan dengan hati. Berbagi. Sikap rendah hatinya juga patut diberi stabilo. Meski berasal dari kaum sosialita, Bunda Dewi benar-benar mengaplikasikan pengertian sosialita. Borjuis yang suka melakukan tindakan sosial. Bukan sosialisasi bersama rekan sejawat semata.

Tahun lalu, saya ikut-ikutan di kemeriahan birthday party-nya. Saya ingat persis bentuk kue tart-nya yang tak biasa. Berbentuk boops lengkap dengan singkapan bikini ditambah ulat. Bunda Dewi dikelilingi orang-orang yang mencintainya. Dia seakan menjadi poros dilingkungan pertemanannya.

Baginya, semua masalah bisa diperingan dengan mengatur pola pikir. Berpikiran positif, maka hidupmu akan ringan.

Darisman
Yang ini teman saya di kelas menulis. Sebenarnya sudah cukup lama saya tak berhubungan dengannya. Sampai pertengahan November lalu saya mencari-cari tulisannya.

Darisman seorang pembela buruh. Tak heran, hidupnya didedikasikan untuk meningkatkan kesejahteraan para buruh yang katanya berupah rendah dan jam kerja menggila.

Darinya saya banyak mendapat wejangan. Dia jadi menyerupai nenek-nenek yang memiliki laci nasehat tinggi sekali. Entah jalan hidup apa yang pernah ditempuhnya, namun dia selalu memiliki kata-kata menyejukkan. Jiah..lama-lama dia bisa menjelma jadi I Gede Prama.

Jadi, jika ada yang punya masalah berat dan ingin curhat, percayalah. Telinganya selebar dunia untuk mendengar keluh kesah.

Bapak ini berulang tahun 12 maret.

Selamat ulang tahun teman-temanku sayang. Semoga ada berkah menyerupai atom yang menggandakan diri melingkupi hari-hari kalian!!!!

Selasa, 22 Februari 2011

Kematian


Seperti di sebuah pemakaman, satu persatu mereka datang, satu persatu pula mereka pergi. Bertemu untuk sebuah alasan, menghormati seseorang. Menjalin kenangan akan sebuah sosok, dan kemudian merelakan kepergian untuk selamanya.
Requiem. Aku bisa tersedu sedan jika mendengarkan nada-nada pilu dari sebuah upacara pemakaman. Mengingat akan kehilangan paling sahih. Adakah kepergian yang lebih mutlak lagi daripada kematian?

Hari ini, tepat setahun lalu aku bersikeras untuk menggenggammu. Berusaha melawan kenyataan, bahwa kematian seharusnya bisa ditaklukkan dengan tetap menghidupkan kenangan. Ternyata semua salah. Bagaimanapun, kepergian akibat kematian adalah sebuah entitas takdir, dan waktu akan menjadi pemenang dalam pertarungan melawan kenangan.

Aku harus rela, seiring berjalannya waktu, semua akan memudar untuk kemudian menghilang tanpa bekas. Yang tersisa hanyalah daya ingat bahwa semua pernah terjadi, namun tidak secara spesifik menjelma menjadi diorama yang nyata.

Kamis, 17 Februari 2011

Saya dan 1'st Juli yang Lain


Saya percaya bahwa orang yang dilahirkan pada tanggal dan bulan yang sama, maka akan memiliki beberapa persamaan karakter. Saya yang lahir 1 Juli ternyata memiliki banyak ‘kembaran’ lahir. Ada Agnes Monica, Aryo Wahab, Fedi Nuril, dan tentu saja saya, Endang Prihatin. Hehehe.

Eh, teman-teman main yang lahir di tanggal 1 Juli dan tidak menyandang gelar selebritis juga ada, yaitu Susanti, Rohmadtika Dita, dan Laksita Kurniati.

Santi
Susanti, waktu kelahirannya benar-benar berbarengan dengan saya, tanggal bulan dan tahun sama plek. Dia teman sekelas saya saat SD di pedalaman Lampung. Anaknya pintar, pintar apa saja. Di sekolah selalu juara satu, dari pertama mendapat raport sampai lulus SD. Saya sampai keki bukan main. Itu baru keenceran otak. Soal perilaku jangan ditanya. Santun bukan main. Nenek saya sampai jatuh hati. Tiap main ke rumah, pulangnya Santi pasti diberi rambutan. Hal itu terus berlanjut, bahkan saat saya sudah tidak lagi tinggal di Lampung. Lewat surat, Santi bercerita nenek sering mampir dan memberinya jajanan pasar. Mungkin nenek ingin saya menyerupai Santi. Grasak-grusuk berubah jadi lemah gemulai. Petakilan dan tampilan awut-awutan menyerupai laki-laki bermetamorfosa jadi rapi manis. Maaf ya nek, harapanmu terlalu mengawang hingga tak terjangkau.

Yang membuat saya iri dari Santi adalah rambut. Ya, rambut. Rambutnya lurus, tebal, rapi. Ya, tipikal rambut di iklan Sunsilk. Sampai sekarang saya ingin punya rambut seperti miliknya.

Jadi, bentuk santi bisa dikatakan antithesis dari saya. Dia lemah gemulai, berotak encer, santun, rapi dan rajin. Saat saya menulis kata rajin, saya tidak berlebihan. Dia betul-betul rajin. Saya ingat, dia sama sekali tak malas menyapu halaman rumahnya yang luasnya sekitar setengah lapangan bola basket. Dia juga rajin memasak, meski sebelumnya harus belanja dulu ke pasar yang jaraknya 15 menit naik angkot. Saya ingat persis, di kelas 1 SD, tiap pulang sekolah dia akan mencuci kaos kaki dan pita rambut. Saat itu saya terkagum-kagum, melihat teman sebaya sudah begitu berpikiran maju soal kemandirian. Tapi saat ini, saya kok merasa itu berlebihan ya? Tiap hari gitu nyuci pita rambut?

Berhubung kelas 5 SD saya pindah, sejak saat itu saya jarang bertemu dengannya. Sesekali saja jika saya mengunjungi nenek. Terakhir bertemu dengannya sekitar 2 tahun lalu.

Oh ya, Karena keterbatasan biaya dan kemiskinan informasi (tentang betapa mudahnya beasiswa didapat), akhirnya otak encer Shanti tak dimanfaatkan maksimal. Dia hanya tamat SMU. Saat ini kerjanya menjaga toko. Saya rasa dia cukup bahagia, mengingat toko itu cukup tersohor di Lampung sana. Minimnya akses, meminimkan dia membaca tulisan ini. Saya tak yakin dia menikmati berselancar di ranah maya ini.

Dita
Si pemilik tanggal lahir sama yang kedua adalah Rohmadtika Dita. Jangan protes, namanya memang aneh, seaneh orangnya. Dia memiliki banyak panggilan, lazimnya orang memanggilnya Dita. Tapi pernah saya khilaf memanggilnya babi karena melihat pipi-nya bersemu merah muda, mirip boneka-boneka babi itu looohhh!! Pacar tersayangnya memanggil dia Nta, yang ini terdengar lebih manis di telinga. Pernah juga sapaan ‘nasi’ menghampirinya. Sebutan terakhir itu mengacu pada perawakannya yang kecil dan putih. Si nasi yang punya mata dan hidung.

Dia ini teman kuliah. Lagi-lagi si 1 Juli menunjukkan kedigjayaan. Dia pintar bukan main. Kuliah S1 bisa dilaluinya dalam waktu 3,5 tahun saja. belum cukup, bahkan saat wisuda pun dia mendapat IP tertinggi. Bikin syirik saja. dulu dia memasukkan nama saya dalam phone book-nya ‘kembaranku’.

Siapa yang mau jadi kembarannya? Dia mengungguli saya disemua bidang. Dia lebih cantik. Dia lebih pintar. Dia punya pacar. Aaarrrgh!! Saya kalah telak. Saya menolak disebut kembaran. Akhirnya saya menang satu poin, saya yang menolak.
*bakat culas menyembul

Mbak Uchi
Si 1 Juli yang terakhir namanya Laksita Kurniati. Saya dan teman-teman bisa memanggilnya ‘Mbak Uchi’ Dia teman kost saat saya masih kuliah. Badannya lebih tinggi besar dibanding saya. Semlohai. Sekarang ini dia bekerja di Bank Indonesia, entah jadi apa.

Mbak Uchi ini orangnya berisik. Sukanya jadi pusat perhatian. Gak puas kalau belum mengeluarkan suara 5 oktaf. Sedikit temperamen, mudah dihasut dan disulut kemarahannya. Tapi diantara semuanya, dia itu baik hati sekali.

Hatinya mudah jatuh iba. Meski memiliki pekerjaan yang lumayan dia memilih kost di tempat yang sederhana. Pertimbangannya, kenyamanan dan rasa persaudaraan yang ditawarkan dalam kost sederhana milik Bapak dan Bu Jeje. Meski tak tahu persis, saya dan teman-teman kost menduga, Mbak Uchi itu anak saudagar kaya di kampung sana. Oia, kampungnya di Bangka Belitung.

Ah, hari ini saya menulis fragmen si 1 Juli.

Senin, 07 Februari 2011

Teman Baikku Ahmadiyah


Saya bukan orang Ahmadiyah, namun saya berkawan baik dengan beberapa orang jemaatnya.

Perkenalan saya dengan Ahmadiyah sudah berlangsung sejak di jaman kuliah. Melalui berita di televisi, juga perbincangan dengan kawan.
Katanya Ahmadiyah itu sesat.
Katanya Ahmadiyah itu mempercayai ada nabi lain setelah Nabi Muhammad SAW.
Katanya Al-Quran mereka berbeda.
Katanya bacaan shalat mereja juga berbeda.
Saya ingat persis, media ramai memberitakan Ahmadiyah bersamaan dengan isu agama sesat di Jawa Timur, yang menerjemahkan bacaan shalat dalam Bahasa Indonesia. Mungkin sebelumnya sudah pernah diberitakan, namun saya tidak tahu.

Saat itu, teman saya yang kader partai Islam terang-terangan menunjukkan keberatan sikapnya pada kehadiran Ahmadiyah. Saya yang bukan orang religius tak ambil pusing.
“Urusan agama itu sangat personal, antara manusia dan Sang Pencipta, manusia lain tak berhak mencampuri,” ujar saya.
“Ya nggak dong, kalo kita tau ada yang salah, sudah kewajiban kita untuk meluruskan yang salah itu,” teman saya itu sengit tak terima.

Awal juli 2009 saya berkenalan dengan jemaat Ahmadiyah di kelas menulis narasi. Firdaus Mubarik namanya, namun saya biasa memanggilnya daus. Kesan pertama, dia menyebalkan. Banyak bicara, mendominasi kelas. Positifnya, atmosfer kelas jadi hidup. Rasa kantuk jauh-jauh. Namun sayangnya, yang dia bahas itu tidak ada dalam silabus. Ah..dasar krisis eksistensi. Begitu batin saya. Selebihnya tidak ada yang istimewa. Berangsur-angsur kesan sok tau-nya luntur dalam kepala saya.

Sampai pada pergantian tahun 2009 menuju 2010 ternyata kami menghabiskan waktu di tempat yang sama. 1809. Tengah malam Daus mengajak saya pergi ke Pulau Tidung di kepulauan seribu. Meski tanpa persiapan, sifat impulsif saya tak kuasa menolak ajakan itu. Akhirnya, saya turut serta bersama daus dan teman-teman yang baru saya kenal di perjalanan.

Setelah itu saya semakin mengenal Daus. Banyak pertanyaan yang saya ajukan tentang Ahmadiyah yang kata orang sesat itu. Lewat Daus pula saya mengenal jemaat-jemaat Ahmadiyah lainnya.

Jujur, ibu saya kerap khawatir jika saya terlalu banyak bergaul dengan Ahmadiyah. Namun bagi saya, berteman tak seharusnya memandang latar belakang. Cukup lihat bagaimana karakternya. Dia menyenangkan, saya akan temani. Tak perlu alasan lain.

Oktober 2010 saya berkunjung ke Cisalada, Bogor. Ada penyerangan yang merusak banyak rumah serta pembakaran masjid. Cisalada merupakan pemukiman Ahmadiyah. Desa kecil yang terpencil. Mereka ramah bukan main, meski sorot kesedihan masih membayang. Siapa yang tidak sedih jika rumah dirusak. Ahmadiyah atau bukan tentu itu sedih. Toh Ahmadiyah juga tetap manusia. Saya menginap semalam. Fakta mengagumkan tentang Ahmadiyah yang masih terekam dalam lipatan otak saya misalnya nyaris setiap jemaat Ahmadiyah telah terdaftar sebagai donor mata. SOP yang diterapkan pun lucu dan bersahaja. Dari daus saya tahu, setiap jemaat tidak dibenarkan menggunakan senjata tajam. Jika terjadi penyerangan, mereka boleh menggunakan jus cabe ataupun ketapel. Tidak pisau dapur apalagi samurai.

Saya juga melihat Al-Quran yang katanya berbeda itu. Tak ada yang berbeda. Jadi teori ‘katanya’ soal Al-Quran tumbang sudah. Saat magrib, saya diajak Ali untuk shalat berjamaah di masjid.

“Emang gak beda Li bacaannya? Katanya beda?”
“Makanya ayo ikut, biar tahu beda atau nggak” jawab Ali
“Gak ah, lagi males, tapi sebenernya beda gak sih?” tanya saya lagi
“Nggak kok, gak ada bedanya”

Meski tidak membuktikan secara langsung, saya percaya. Satu lagi teori ‘katanya’ tumbang.

Jujur, saya masih terheran-heran. Mengapa Ahmadiyah diusik. Dalam keseharian, tak ada sifat yang menyimpang dari mereka. Sebagai pribadi pun, mereka santun, ringan tangan dalam artian suka menolong. Daus orang yang sering saya repotkan untuk membantu urusan remeh temeh. Mulai dari pindahan sampai minta ditemani kesana dan kesitu.

Saat ini, ada banyak jemaat Ahmadiyah yang menjadi teman saya. Mereka semuanya baik hati, tanpa kecuali.

Barusan saya menyaksikan video penyerangan di Banten terhadap Ahmadiyah yang terjadi kemarin, Minggu, 6 februari 2011. Miris melihat orang yang tak berdaya masih dipukuli. Bukan karena dia Ahmadiyah, namun karena mereka manusia.

Tanpa malu sekelompok orang ini meneriakkan ‘Allahuakbar’ sambil membawa kayu dan memukul orang yang tak berdaya.
Jadi mana slogan Islam sebagai agama pembawa kedamaian?
Mbok ya kalo mau anarkis gak usah bawa-bawa identitas agama segala.
Bikin malu saja!!!

Saya tidak suka melihat kekejian semacam itu. Saya benci melihat manusia kehilangan hati nurani seperti itu. Itu sudah tindak kriminal, bukan lagi konflik sara.

Bahkan, jika yang tersungkur tak berdaya itu bukan datang dari golongan Ahmadiyah, reaksi saya akan sama. Sedih, miris.

Semoga pemerintah mampu mengambil tindakan tegas. Maling ayam saja nasibnya tak semenyedihkan itu. Mengapa saya membandingkan dengan maling ayam? Tentu jika membandingkan dengan maling kas negara tak sepadan. Tak ada maling kas negara (yang berjulukan keren koruptor) itu yang mati dihajar massa. Mereka melenggang penuh senyum dan kental perlindungan.
Berikut saya meng copy paste pernyataan jemaat Ahmadiyah yang saya dapatkan dari milis:

12 butir pernyataan Jemaat Ahmadiyah

Tertanggal 14 Januari 2008, Jemaat Ahmadiyah mengeluarkan 12 butir pernyataan setelah melalui rentetan dialog dengan Departemen Agama. Pernyataan itu terkait dengan rapat Pakem yang akhirnya menetapkan bahwa negara tak melarang Jemaat Ahmadiyah.

1. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW, yaitu Asyhaduanlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasullulah, artinya: aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.

2. Sejak semula kami warga jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (nabi penutup).

3. Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW.

4. Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai’at yang harus dibaca oleh setiap calon anggota jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata Rasulullah.

5. Kami warga Ahmadiyah meyakini bahwa

a. tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada nabi Muhammad.
b. Al-Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.

6. Buku Tadzkirah bukan lah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohami Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908).

7. Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata maupun perbuatan.

8. Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut Masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah.

9. Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan manapun.

10. Kami warga jemaat Ahmadiyah sebagai muslim melakukan pencatatan perkimpoian di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai dengan perundang-undangan.

11. Kami warga jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahim dan bekerja sama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakat untuk kemajuan Islam, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

12. Dengan penjelasan ini, kami pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah Islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa.

Jakarta, 14 Januari 2008
PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia