Selasa, 25 Desember 2012

Menikmati Papandayan bersama Tim Blengcek

(ki-ka): Yudhis, Ochi, Anty, Putri, Jeremi, Becca, Tyas, Hendra, saya, Nita, Delly


Pulanglah ke rumah ketika di luar tak aman, pergilah ke luar ketika di rumah tak nyaman’ by @pup0

Quote di atas saya baca di linimasa milik Putri.

Perjalanan selalu memberi rasa buncah, nyaris bagi sebagian besar orang. Kali ini, saya cukup beruntung, bersama orang-orang terbaik, memiliki kesempatan untuk mengunjungi Gunung Papandayan, Garut.

Hari #1, Jumat, 21 Desember 2012

Janji bertemu pukul 20.00 WIB. Kami datang dari setiap penjuru mata angin, mengarah pada satu titik, Terminal Kampung Rambutan.

Orang yang pertama sampai, justru peserta yang datang dari titik terjauh. Tyas Listyo datang dari Tangerang, cukup beruntung tak menemui kemacetan. Tyas orang yang ceria, saya menyukainya. Tyas menjadi semacam ibunya anak-anak semenjak trip pertama kami ke Gua Buniayu, September silam. Dia mendapat panggilan sayang dari kami semua. Budhe, begitu kami memanggilnya. Meski begitu, jangan salah sangka, dia sama sekali bukan peserta tertua, bukan pula yang paling dewasa. Paling gila mungkin saja iya.

Bisa dibilang, Tyas selalu menjadi orang paling bersemangat tiap mau ngetrip. Belum tau mau ke mana saja dia sudah packing. Paling kompor.

Kembali pada jumat malam, sebagai peserta yang sampai duluan, Tyas mulai berisik di chat conference. Mengabsen satu-persatu peserta sudah sampai di mana.

Pukul 20.30 peserta mulai berkumpul. Tema obrolan kami nyaris seragam, lapar dan macet di mana-mana. Jakarta malam itu sungguh menyebalkan. Tak rela rupanya, ditinggal beberapa warganya untuk berlibur barang sebentar.

Di trip kali ini, ada tiga peserta baru. Nama, wajah, asal muasal benar-benar tak terdeteksi. Mereka adalah Anty, Ochi, dan Becca. Maafkan jika saya salah menuliskan nama. Tiga perempuan ini adalah bawaan Hendra. Entah teman apa, sampai sekarang saya juga tidak paham. Yang pasti bukan teman kerja juga bukan teman main. Mungkin temannya teman. Ah, sudahlah. Yang pasti kehadiran mereka menyemarakkan perjalanan kali ini.

Pukul 22.10 bus kami bergerak menuju Garut. Saya ingat persis, formasi duduk kami. Saya duduk bersama Milani Yunitasari atau Nita. Di belakang kami ada Delly dan Yudhis, lanjut Tyas dan Hendra, Putri dan Jeremi, dan di seberang, di bangku tiga ada trio Anty, Ochi serta Becca.

Nita adalah patner sehati saya. Kami pertama bertemu pada Mei 2011 silam, saat trip ke Dieng. Kami sering ngebolang bersama. Mengenalnya makin menjerumuskan saya pada trip yang satu ke trip yang lain. Tak apalah, toh ini penjerumusan yang menyenangkan, tanpa paksaan. Nita orang yang kalem tapi dalem. Dialah mama bolang sejati. Pengalamannya berpetualang tak diragukan lagi. Nita juga orang yang sangat lihai mengatur keuangan. Mau travelling murah, percayakan saja keuangan padanya, dijamin, kamu akan mendapat harga terbaik.

Pernah satu waktu, dia tak bisa menyertai saya ke Semarang. Pesannya akan akan saya ingat sampai mati:
Ingatlah, lebih baik kamu lapar mata disbanding lapar perut

Ini merujuk pada sifat saya yang sering kalap jika melihat barang asli daerah tujuan. Prinsip saya, sebisa mungkin memiliki kenang-kenangan benda. Baru menjadi masalah saat saya kalap membeli ini-itu. Pergi bersama Nita membuat saya merasa aman dalam hal financial. Dia akan cerewet membatasi pengeluaran saya, tidak berhenti di situ, dia juga akan memberi pinjaman jika pengendalian diri saya kelewat buruk. Terima kasih ya Ta, untuk kebaikannya selama ini.

Kirim cium di udara, mmuah..

Hari #2, Sabtu, 22 Desember 2012
Kami sampai di Terminal Guntur Garut pukul 03.00 dinihari. Udara dingin mulai menunjukkan aksi. Kami kompak merapatkan jaket kecuali Yudhis, si Pakdhe. Yudhis adalah pemimpin dalam trip ini. Dia bertanggungjawab penuh nyaris untuk segala urusan. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai urusan menu Yudhis lah yang mengatur. Kami tinggal terima enaknya saja, terima jadi. Yudhis pula yang ngotot, harus membeli bawang bombay. Cita-citanya adalah kami semua bisa menikmati spaghetti di puncak Papandayan. Kami lebih setuju, Yudhis ingin kami menggelar gala dinner di puncak sana. Ransum kami banyak bukan main, lebih dari cukup.

Terima kasih Pakdhe Yudhis, untuk kerealaannya memimpin kami, yang masih suka banyak protes, suka sedikit bandel tapi tetap diajak ngetrip. Sebagai ucapan terima kasih, kami persembahkan Budhe Tyas untukmu, hahahahaha..

Dari Terminal Guntur, perjalanan kami lanjutkan ke Cisurupan. Awalnya, pendegaran saya berhianat. Saya mendengarnya ‘kesurupan’. Jika benar, ngeri sekali nama daerah itu, untunglah, saya salah dengar.

Tak banyak yang bisa diceritakan. Jalanan masih gelap, pagi juga masih buta. Hanya dingin yang makin unjuk gigi. Kami sampai di Cisurupan pukul empat pagi. Cisurupan ini hanya perempatan jalan. Ada banyak mobil bak terbuka (bakter) yang parkir.

Kami menjadi rombongan pertama yang datang. Sempat mati gaya. Instruksi ini itu, istirahat berbagai posisi, juga berbelanja telur dilakukan di sini. Satu persatu rombongan lain mulai datang. Mereka tak membutuhkan waktu lama, hanya istirahat sejenak, melanjutkan perjalanan dengan bakter.

Kami baru mulai menuju pos terakhir sekitar pukul tujuh pagi. Saya dan Nita duduk disamping sopir. Tempat ternyaman. Sisanya, berkumpul macam ketan yang siap ditaburi kelapa di bakter bersama tumpukan ransel yang besarnya ampun-ampunan.

Sampai di pos, sekitar pukul delapan. Kami kembali beristirahat, sambil menunggu nasi selesai dimasak. Waktu mulai merayap ke pukul 10. Akhirnya kami benar-benar mulai mendaki. Sambil pasang senyum sumringah, kami mulai memasang tas di punggung.

Gunung Papandayan tergolong landai. Meski ketinggiannya mencapai 2.665 dpl, namun jalur pendakiannya relatif ringan. Baru sekitar 100 meter melangkah, gunung ini sudah mulai narsis pamer diri. Suguhan landscape nya luar biasa. Dibalik bukit kapur, terbentang banyangan puncak-puncak gunung berwarna biru muda. Seperti backdrop saja. Kami kompak melongo, terkagum-kagum dengan mahakarya Tuhan kali ini.
Sepanjang jalan, mata kami berwisata. Tidak hanya hijau rimbun pepohonan, namun juga putih gradasi bukit kapur sungguh menakjubkan.

Pendakian ini relatif santai. Sering berhenti untuk mengunyah ransum. Menu utama adalah agar-agar INACO, Choki-Choci, dan coklat Silverqueen yang jadi rebutan.

Kami tiba di Pondok Salada pukul 13.00. Di sini kami akan mendirikan tenda. Sudah ada banyak tenda berdiri. Pondok salada hari itu menjamu banyak tamu.

Kami membawa tiga tenda Lafuma kuning. Lokasi kami berkemah agak jauh dari peradaban, mengingat kami ini berisik bukan main, rasanya ini keputusan bijak.

Dari siang hingga malam, kami berkegiatan tak banyak macam. Masak, makan, masak lagi dan tentu saja makan lagi. Saat petang mulai merambat, suhu udara makin menggigil, ditambah hujan yang turun semakin memperparah suhu. Keberisikan kami mulai padam pukul 21.00. Kami mulai kalem di dalam tenda masing-masing. Entah apa yang terjadi di tenda lain, namun di tenda kami yang berisi saya, Tyas, Nita dan Putri masih cukup aktif. Putri menjadi orang yang terlelap lebih dulu, disusul Nita. Saya dan Tyas kemudian malah asik berbagi kegalauan.

Hari #3, Minggu, 23 Desember 2012
Sekitar pukul 05.00 Tyas mulai membangunkan saya. Kami ingin ke tegal Alun. Namun dengan alami, rencana itu bubar jalan. Kami malah heboh memasak spaghetti impian Yudhis. Pagi itu ceria sekali, kami malas berjamaah, sulit sekali mencari relawan pengambil air dan pencuci piring.

Masak-memasak dimulai, dengan api cukup kecil, serta banyaknya topping, akhirnya spaghetti impian matang sudah. Asli, selama saya mendaki, ini adalah makanan gunung termewah. Spaghetti dengan bumbu Bolognese daging cincang plus sosis goreng dan telor kornet. Beuh, sarapan pagi yang enak luar biasa jendral.

Eit, saya nyaris lupa. Ada seorang yang tak menikmati menu dahsyat pagi itu. Dia adalah Delly Andrian. Saya lebih senang menyebutnya si klimis. Sebutan ini tentu bukan tanpa alasan. Tampilannya selalu rapi, kinclong tak ternoda. Delly juga sosok paling misterius, tak tertebak. Pembawaannya kalem, tak banyak tingkah, tapi sekali berucap, nusuk sampe ke ulu hati. Delly tipikal pemilih, terbukti dari menu makannya yang tak seperti kami semua. Untungnya, meski ia mengaku tak menyukai spaghetti, dia sungguh tak merepotkan. Untuk menu sarapan paginya, Delly cukup puas dengan mie instant. Delly agak rewel saat mulai meminta tutu otat. Maksudnya susu coklat. Ah, biar sok cadel, keimutan sama sekali malas mendekatimu Delly Mince!!!

Akhirnya baru sekitar pukul 11 kami baru selesai berkemas. Mengingat jalur yang tak mudah menuju Tegal Alun, sebaiknya kami tidak membawa banyak barang. Dengan penuh besar hati, Delly dan Anty memutuskan tak ikut serta. Mereka berdua menjaga tas kami. Duh, kalian berdua baik sekali, kami berhutang budi..

Kami bersembilan menuju padang edelweiss Tegal Alun. Jalur yang dilewati tak bisa dibilang mudah. Setelah melewati hutan mati, jalanan menjadi licin ditambah pula dengan guyuran air hujan. Terpaksalah kami memakai jas hujan.

Namun tak ada perjuangan yang sia-sia. Kelelahan kami dibayar lunas oleh pesona padang edelweiss. Puas berfoto, kami memutuskan segera turun. Tak tega membiarkan duo Delly-Anty menjaga tas kami lebih lama lagi.

Sekitar pukul 14.00 tim telah kembali lengkap. Kami turun gunung. Bertekad secepatmungkin sampai pondokan, kami tak banyak beristirahat. Sempat ada sedikit insiden, saat rombongan ingin menjajal jalur yang berbeda. Setelah menyebrangi sungai cukup terjal, ternyata itu baru permulaan. Setelahnya, ada jalur nyaris vertical. Kengerian makin diperparah oleh teriakan rombongan lain. Mereka berteriak, menyuruh kami berputar arah, karena jalur di depan kami adalah jurang. Dilema mulai terjadi, untuk berputar membutuhkan energi yang tidak sedikit, namun jalur yang akan kami lalui juga tak memberi harapan pasti.
Di sini, Jeremi mulai unjuk gigi. Jeremi Lee yang sehari-hari bekerja sebagai guru sejarah ini memang memiliki sifat melindungi. Di jalur terjal, Jeremi mendampingi setiap orang yang turun. Mulai dari menahan, memberi instruksi batu pijakan, sampai menjadi pengaman dari runtuhan batu. Kang Jeremi teh heroik pisan lah.

Bercerita soal Jeremi, kamu bisa menanyakan apa saja padanya, dan dia akan selalu memiliki jawaban. Otaknya seperti gudang ilmu. Ensiklopedia. Setiap orang yang dekat dengannya, juga akan sangat mudah merasakan ketulusan hatinya. Pokoknya kalo cari pacar, carilah yang mirip Jeremi. Hahaha..

Tapi, diantara keceriaannya yang mendalam, saya menduga kuat, Jeremi adalah seorang introvert terselubung. Entah peristiwa apa yang dialaminya, sepertinya ada kenangan buruk yang cukup membuatnya belajar dan menjadi kuat dalam menjalani hidup. Maaf ya Jer, kalau sok tahu saya kambuh, piss ah..

Setelahnya, jalur yang harus kami lalui cukup aman. Lawan terberat kami adalah rasa lelah. Ajaibnya, saya masih bisa melihat wajah sumringah penuh semangat. Inilah wajah Putri Sari Suci. Dialah adik bagi kami semua. Si penebar kebahagiaan. Seseorang yang quote nya saya ambil tanpa izin untuk di pasang dia wal tulisan ini.

Putri seorang yang ceria. Semua sepertinya terasa enteng dimatanya. Dalam hal ketulusan, Putri sejajar dengan Jeremi. Karena dia sempat mengenyam pendidikan di Newcastle, England, Putri sering menjadi bahan olok-olok bagi kami.

Putri adalah anggota rombongan yang seharusnya paling berat hati untuk pergi. Karena sampai menjelang keberangkatan, ibunya tak juga kunjung memberi restu. Entah karena nekad atau bujukan kami terlalu manjur, Putri nekad berangkat meski tidak berbekal restu.

Delly sempat berucap, kesalahan terbesar Putri adalah bertemu kami, para jemaah bolang. Namun saya lebih meyakini sebaliknya.

Putri selalu ceria. Disuruh apa saja dia mau. Saat kami mati gaya dan nyaris mati bosan, maka Putri akan bernyanyi menghibur kami semua. Lagaknya bak komposer kelas dunia. Pilihan lagunya pun, beragam bukan main. Terima kasih ya Putri, untuk hiburannya, serta semangatnya selama perjalanan, energimu menular ke kami semua.

Sekitar pukul 17.00 akhirnya kami tiba di pos. menandakan perjalanan Papandayan akan segera berakhir. Langkah makin gontai, lelah mulai merambati kaki. Namun, saat perjalanan nyaris finish, Hendra justru tersandung. Jalannya menjadi pincang, saya duga kakinya terkilir. Sedih sekali melihat laki-laki tak banyak cakap ini harus jalan tertatih.

Hendra adalah sosok mulut terkunci, jarang bicara, pelit senyum, lengkap sudah dengan muka yang cukup banyak cemberut pula. Tapi kesemua sifatnya, merujuk pada satu karakter, cool. Saya dan Tyas setuju menyebutnya tengil. Hendra seperti leader bayangan. Ia menyuplai beberapa kebutuhan trio Anty-Ochi-Becca.

Bahkan, saat kepulangan pun, Hendra pulang lebih dulu bersama trio ini.

Berhubung waktu liburan masih jauh dari usai, perjalanan dilanjutkan ke Pantai Rancabuaya. Namun empat orang dari kami tak ikut serta.

Ah, senang sekali mengenang perjalanan kali ini. Ingin rasanya, membekukan setiap kenangan yang ada, meletakkannya di lipatan otak, agar tak usang dimakan waktu. Terima kasih ya untuk kebersamaan dan aroma persahabatan yang akrab. Kalian semua blengcek!!! 

Minggu, 21 Oktober 2012

Happy Birthday Bungsu..



Sudah sejak lama mengendapkan pikiran, ingin menuliskan sesuatu tentangmu, seseorang yang biasa kupanggil Si Bungsu. Anggap saja ini kado ulangtahun untukmu.

Aku mengenalmu, sekitar Maret lebih dari tiga tahun silam. Berperawakan kurus dan rambut lurus. Sejalan dengan karaktermu yang simple, tak banyak motif.

Kamu, gadis manja yang sedang belajar menjadi dewasa. Belajar berani menaklukkan setiap rintangan dalam hidup. Dimulai dengan memberanikan diri naik angkutan umum menuju rumah orangtua mu di Bekasi. Jujur, aku masih senyum-senyum sendiri jika ingat kamu dengan begitu bangganya mengabarkan, sudah berani ke Bekasi seorang diri naik angkot.

Kini kita tidak lagi tinggal di satu atap. Aku telah beberapa kali mengganti alamat tinggal, sedang kamu tetap konsisten di rumah itu. Rumah kos-kosan yang pemiliknya lumayan manis. Dari statusnya masih single hingga kini sudah menikah.

Hobimu yang berkembang pesat adalah membaca novel. Kukatakan berkembang pesat, karena terakhir kutinggalkan, koleksi novelmu tak sebanyak sekarang. Kini, setiap aku singgah, koleksi novelmu semakin menumpuk tinggi.

Kini, kamu telah berhasil menamatkan kuliah. Sudah sarjana nih ye..

Bungsu, kamu telah semakin dewasa. Selamat menikmati dunia yang sebenar-benarnya. Dunia di mana terkadang teman terbaik justru menjadi musuh paling menyakitkan. Tapi yakinilah, apa yang kamu kerjakan dengan hati, akan diterima juga dengan hati.

Menurutku, untuk mengarungi dunia, kamu hanya memerlukan satu doa bernama tulus. Tulus berarti sebuah kejujuran. Apa adanya, tak berpura-pura.

Cintailah apa yang kamu miliki saat ini, tak usah melihat apa yang orang lain miliki dan kamu tidak.
Selamat mencari kerja, memilih profesi. Lakukan apa yang benar-benar bisa membuatmu bahagia. Uang bukan segalanya, meski tak bisa dipungkiri uang menjadi sumber ketenangan. Ketenangan, bukan kebahagiaan.

Terima kasihku, untukmu, yang sempat menjadi tongkat penyangga dengan kepercayaanmu untukku saat yang lain menghakimi. Hingga kini, masa itu menjadi sesuatu yang kelam, bahkan aku belum sanggup untuk menuliskannya. Aku takut dan tak mau dianggap hanya membela diri.

Selasa, 09 Oktober 2012

Bukan Cinta?


gambar diambil dari sini

Apakah ini cinta namanya? Jika selalu menyesakkan, membuat bulir air mata selalu menetes. Meninggalkan sesak tak bertepi.

Apakah ini juga namanya masih cinta? Jika dalam diam kamu masih menyimpan gumpalan asa yang tak sanggup kau bagi?

Bisa jadi ini cinta. Bisa jadi ini sebenar-benarnya cinta. Menyayangi, tanpa obsesi ingin memiliki. Hanya ingin melihatnya bahagia, tak harus bersama. Hanya saja, sesak menyeruak, sesak benar-benar membuatku kesulitan bernafas, saat kenyataan terhampar. Bukan aku, bukan aku orang yang membuatmu bahagia. Aku tak ingin memilikimu, benar. Tapi masih bolehkah aku berharap? Menjadi orang di lingkaran terdekatmu. Menjadi orang yang membuatmu merasa bahagia??

Jakarta, 27 Februari 2012

Senin, 08 Oktober 2012

Selamat Ulang Tahun Mbak Wid..


Dulu sekali, aku berniat membuat jurnal. Mengenai teman-teman terbaik yang saya temui di perjalanan hidup. Tak perlu merunut dari yang paling dekat dan akrab. Sifatnya random saja. Dalam pelaksanaannya, banyak nama yang tersimpan. Saya tulis pandangan saya mengenai mereka. Namun, sayangnya banyak yang akhirnya berakhir membeku menjadi sebuah draft.

Saat saya menjalin aksara ini, bisa jadi pun akan berakhir menjadi draft semata.
Saya sedang memandangi bungkusan coklat kertas nasi. Berkode Bi. Isinya bihun. Pemberian seorang perempuan teman sekantor.

Namanya Widyaningtyas. Aku biasa menyapanya dengan sebutan Mbak Wid. Jika aku disuruh menggambarkan, bagaimana orang ini? Jutek. Cukup itu jawabanku. Tak peduli kami telah menjadi kawan baik, dia tetaplah jutek dimataku.

Dalam sesi awal perkenalan kami, dia jutek luar biasa. Terasa sekali, dia tak suka padaku. Ah, tapi apa peduliku. Sebodo teuing, toh hidupku tetap melaju. Aku terlalu sering dijuteki, oleh orang-orang yang tak mengenalku dengan baik.

Melengkapi jutekismenya, Mbak Wid adalah tipikal orang yang memperhatikan gaya berbusana. Dia berani memakai baju super cerah sampai motif bunga-bunga gonjreng. Kulitnya putih, jadi yang semua outfit yang dikenakan akan terasa pantas-pantas saja.

Mbak Wid juga orang yang suka belanja. Aku pernah berkelakar, jika ada yang mau berjualan di kantor, hal wajib yang dilakukan pedagang adalah menawari dagangan kepadanya. 95 persen kemungkinan, dia akan membeli daganganmu. Ini sudah terbukti sahih jendral. Saya tebak, uangnya tak memiliki nomor seri, buanyak tak terkira, hahahaha..

Jangan marah ya mbak, anggap saja ini doa *wink*

Dibalik kegalakannya, Mbak Wid sebenarnya orang yang nrimo. Karakter jawanya kental sekali. Sekitar Desember 2010, Mbak Wid kehilangan orang terpenting dalam hidupnya. Ibu. Hingga kini, aku sering ikut merasa haru, jika Mbak Wid mulai merindukan ibunya. Rasanya pingin tak ajak ke rumahku aja. Yuk mbak, kita berbagi ibu J

Mbak Wid orang yang cukup terbuka, untuk beberapa hal. Namun ada banyak hal lainnya yang tak akan dia bagi. Disimpannya rapat-rapat sampai dia jadi muring-muring sendiri. Dia juga penyimpan kenangan sejati.

Kami perlahan mulai ikrib, setelah Mbak Wid akan dipindahtugaskan. Kami sempat akan menjadi rekan kerja. Dia sudah cukup parno. Jika ingat masa itu, aku bisa senyum-senyum sendiri.

Allah memang selalu mendengar doa hambanya. Dengan magis, Mbak Wid batal menjadi teman satu tim. Dia malah melintas nun jauh di sana. Di bawah divisi yang kerjaannya terkait dengan advisor, berbicara perundang-undangan dan entah apalagi. Ruwetlah.

Keakraban ditandai dengan makin seringnya kami makan siang bersama.

Hingga saya merajut aksara, Mbak Wid menikmati tugas-tugas barunya. Termasuk hari ini, tepat di hari ulang tahunnya, ditandai dengan kepergiannya ke Mojokerto. Berulang tahun di udara deh.

9 Oktober Mbak Wid berulang tahun. Oktober adalah penanda bulan badai sebelum November. Sejalan dengan karakter orang-orang yang dilahirkan dalam pelukan bulan ini. Tangguh, menggebrak galak dan tegar.

Mbak Wid, selamat ulang tahun ya. Semoga setiap detik setelah hari ini, menjadikanmu manusia yang semakin bijak. Berselimut kebaikan.

Sebab, saat dirimu menjadi pribadi yang baik di mata para sahabat. Menurutku, itu bukan hanya keberhasilanmu dalam menempa diri. Namun juga keberhasilan sosok ibu yang berhasil menanamkan budi pekerti padamu.

Peluk erat buatmu hei Mbakkuuh..

Selasa, 02 Oktober 2012

Goodbye..

Aku ingat persis, pernah melayangkan pertanyaan ini, "Jadi kita akan tetap akrab seperti ini, kira-kira untuk durasi berapa lama ya?"

Awalnya kamu tak mau menjawab, namun akhirnya kamu mengatakan ingin selamanya. Aku kemudian menjelaskan, apapun di dunia ini akan ada masa kadaluarsa, tak ada yang selamanya. Lalu kita menebak angka yang merujuk pada bilangan waktu.

Katamu saat itu, "Hm..mungkin tiga tahun."

Saat masa itu datang, salah satu dari kita akan lebih bersedih dibanding satu yang lainnya.

Teman terbaik, tahukah kamu?

Masa keparat itu benar-benar datang. Dan kesedihan benar-benar meresap di setiap pori tubuhku. Ada sesak luar biasa, menghujam ulu hati, saat aku baru saja membuka kelopak mata usai tersadar dari mimpi.

mengambil foto di sini
Aku tidak tahu kamu bersedih atau tidak untuk perpisahan di depan mata ini, tapi aku iya.

Kamis, 26 Juli 2012

Si Bluwek, teman setia..


Saat saya bersama Si Bluwek di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin


Saya tak ingat persis sejak kapan suka ngebolang. Yang pasti saya selalu bersemangat jika akan mendatangi tempat baru. Yang pasti selalu saya butuhkan adalah ransel. Selama bepergian, saya menggunakan si ransel hitam yang saya beli sejak awal 2008 silam. Merek Export dengan kompartemen untuk laptop di dalamnya.

Ya, saya membelinya tak lama berselang setelah saya membeli laptop. Tas ini multifungsi, saya pakai bekerja, tak jarang juga diajak ngebolang. Meski sesekali saya juga meinjam ransel milik Mas Fahri, jika membutuhkan tas dengan ukuran lebih besar.

Cinta mati saya pada si Export harus berakhir. Bukan karena salah satu dari kami berhianat, namun perpisahan memang harus segera dilakukan.

Bermula dari musibah kecopetan Part I dengan TKP Jembatan Tosari. Saya kehilangan dompet serta beberapa kartu yang tak begitu penting. Nominal uang yang ada saya juga sudah tak ingat. Yang menyesakkan, musibah berikutnya. Kecopetan Part II dengan TKP sama.

Ini sungguh keterlaluan. Tak hentinya saya mengutuki diri sendiri. Bodoh kok berulang. Kecopetan kedua ini membuat saya sempat menjadi warga gelap, tanpa identitas dan uang barang sepeser pun. Setelah melakukan pengurusan kartu ini dan itu, akhirnya saya kembali memiliki KTP dan ATM.

Seharusnya dua musibah kriminal sudah cukup bukan?

Nyatanya tidak. Sabtu, 10 Desember 2011 kehilangan kembali terjadi. Tak tanggung-tanggung, kali ini uang Rp 4,4 juta raib. Bukan kecopetan, levelnya sedikit lebih tinggi. Pencurian. Saya sedang berada di Pulau Tidung. Kamar tempat kami menginap, jendelanya di congkel paksa dan uang dalam dompet digasak si pencuri. Anehnya, si maling ini kok ya sempat-sempatnya cuma mengambil uang, dompet ditinggalkan.

Tak mau kejadian buruk terulang, saya mulai menabung. Akhirnya dengan setengah memaksakan diri, saya membeli ransel baru. Lebih tepatnya carriel. Deuter Futura 24 SL. Berwarna biru cerah, biru donker dan abu-abu. Warna ransel ini cukup feminim, belakang saya tahu, memang istilah future disematkan Deuter bagi carriel yang akan dipakai oleh penjelajah perempuan.

Saya membelinya di toko Tandike kawasan Seskoal Ciledug. Konon, toko ini cukup terkenal di kalangan penjelajah. Harganya lumayan miring dan keaslian terjamin.

Si Deuter Futura 24 SL ini memulai debutnya pada 31 Desember 2011. Menemani saya berhiking ria di Gunung Guntur Garut. Cukup memuaskan dan penuh gaya. Meski daya tampungnya tak terlalu banyak, saya mencintainya amat sangat. Hm..kira-kira apa ya nama yang tepat untuk tas baru ini. Aha..tiba-tiba terpikir satu nama. BLUWEK. Baiklah, saya akan memanggilnya dengan Si Bluwek saja.

Bluwek, temani saya kemanapun ya. Jangan bosan dan tolong jaga barang-barang berharga saya. Juga jaga setiap kenangan bersama kita. J

Jumat, 20 Juli 2012

Menjadi satu, tak lagi terbelah dan terpisah..





Mengambil gambar di sini


Kami adalah sesosok manusia yang biasa, tak terlampau istimewa. Saling menemukan kunci jawaban dalam setiap pertanyaan yang datang dari kehidupan. 

Pertemuan, kami syukuri sepenuh hati. Saling jatuh cinta dan memuja satu sama lain. Cinta datang untuk melengkapi. Mengisi kekosongan satu sama lain. Membuat hati penuh dan buncah seketika.

Tumbuh bersama, belajar menjadi dewasa. Melewati riak ombak, sesekali memaksa untuk bersiap dan waspada, namun tak jarang mengajak bermain-main dan tertawa.

Kami mencoba untuk tetap kukuh dalam jalinan kebersamaan, ada aral namun dukungan lebih banyak kami temui di tengah perjalanan. Pada sebuah hari, di mana matahari tetap terbit untuk memenuhi janji, bersama semilir angin yang menderu di antara wajah, keinginan telah membatu, menjadi keyakinan. Kami tak lagi ingin terpisah.

Dua kepala ini, menginginkan kebersamaan. Menjalani hidup untuk saling mengisi. Saling memberi yang terbaik.

Kami yang setengah kemudian menjadi satu. Menjadi penuh, tidak lagi terbelah dan terpisah.


untuk Katri-Ikhsan

Kamis, 07 Juni 2012

Cinta yang Erat


Foto dari sini ya
Seberapa sering aku jatuh cinta?
Jawabnya tak banyak
Bisa dihitung dengan jari-jemari tangan ini
Lalu, seberapa dalam cinta yang kumiliki?
Ah, aku memang terlahir entah dengan berkah atau malah kutukan
Setiap jatuh cinta, aku terlalu bersungguh-sungguh
Membatu dan kaku
 Tidak sambil lalu dan mudah menghilang

Rabu, 06 Juni 2012

Akhirnya Nonton Snow White and The Hunstman


Ngambil gambar dari sini

Saya mengaku, kerap kali menjadi kompor. Namun lebih sering lagi jadi pihak yang terkompori. Ah, istilah macam mana pula ini. Baiklah, mari mulai fokus.

Pada sebuah ritual makan siang bersama geng Pantry Office. Stephanie, yang lebih seringnya saya panggil dengan Hantu Rambut menceritakan film Snow White and The Hunstman (SWATH). Dia menyanjung-nyanjung film itu setinggi langit. Menggali rasa penasaran saya sampai titik maksimal.

Terlebih, sebelum makan siang itu, saya sempat melihat thriller Si Dark Snow White ini di You Tube. Sempat salah info, konon baru masuk Indonesia awal Juli, eh lah kok ternyata sudah eksis aja di awal Juni.
Katakan saya korban keberhasilan tim marketing film SWATH.

Sejak film ini masih dalam proses pembuatan, sudah begitu lihai mematik keinginan saya untuk menonton. Saya ingat persis, bagaimana infotainment memberitakan perseteruan Charlize Theron dengan Kristen Stewart. Ya maaf saja, tontonan infotainment saya kelas Hollywood. Uhuk.

Beberapa artikel dari Koran yang saya baca nyaris setiap pagi juga kerap menyinggung bagaimana film ini masuk dalam list harus tonton. Menjanjikan kegelapan yang pekat. Jadilah, niat suci menonton film ini semakin menjadi.

Tapi, tentu saya tak akan iseng ngeblog kalau acara nonton ini biasa saja.

Saya mengajak Mas Mario. Ada semacam peraturan tak tertulis, mengajak mas Mario, sama juga halnya harus mengajak kembaran siamnya, Mbak Mardahlia Johan. Jadi, ajakan ini harus meyakinkan mereka, bahwa film SWATH layak tonton.

Ajakan mulai meningkat jadi rayuan. Tak berhasil juga, kadarnya ditinggikan lagi menjadi permohonan. Akhirnya proposal nonton bersama disetujui oleh mereka. Tapi, sialnya jam tayang film fenomenal ini tak ramah bagi saya yang harus pulang ke pelosok Bekasi. Sigh.

Jadwal tayang di tiga bioskop, Plaza Indonesia, EX dan Djakarta Theatre seragam. 17.05 dan 19.05. Dilematis. Mengambil pilihan pertama, sangat riskan tertinggal cerita awal, terbentur absensi kantor yang baru memperbolehkan pulang di jam 17.00.

Memilih jam kedua, saya yang riskan. Jadwal kereta menuju Bekasi sungguh tak ciamik. Jika nekat, alamat akan sampai rumah jam 11 malam. Dalam kondisi stamina sedang kurang fit, pilihan ini tentu tak bijak.

Akhirnya kami bertiga menyepakati untuk nonton di jam 17.05 pada Selasa, 5 Juni, tentu dengan mengerahkan strategi nomor wahid. Tiket dibeli saat jam makan siang. Gilanya, saya dan Mas Mario bahkan melakukan simulasi jalan cepat untuk mengukur kecepatan waktu, dari kantor menuju bioskop. Sakit.

Dari lobi BII Tower menuju XXI EX, kami membutuhkan waktu 5 menit, pas, tak kurang tak lebih. Tiket dibeli, ditraktir oleh si mas terganteng sedunia lah pokoknya, hehe..

Sore telah tiba. Masing-masing dari kami harus bisa membebaskan diri dari kubikel kantor. Bagaimanapun caranya, jam 5 teng kami harus sudah ada di mesin absen. Mbak Lia sempat disapa bos nya. Untung dia bisa selamat.

Takdir telah tertulis, kami direstui oleh dunia.

Kecepatan kami berjalan layak diberi applause. Kami sampai di XXI jam 17.08.

Sampai di bangku, menonton dengan manis, memenuhi hasrat penasaran. Sambil ngos-ngosan, dan special untuk saya, sambil menahan pipis.

Cerita film SWATH tak biasa, dia mematahkan beberapa mitos yang sudah terlanjur melekat. Seperti jumlah kurcaci dan si pencium tuan putri. Tapi ini justru menunjukkan bahwa kita tak perlu terikat dengan hal-hal yang sudah menjadi kepercayaan publik bukan?

Lalu, apakah film SWATH memenuhi ekspektasi saya? Saya jawab ya. Meskipun tak akan saya masukkan dalam kategori bagus yang layak dianugerahi gelar ‘ayo tonton lagi’, namun film ini cukup menarik, sekian. Oh ya, si Hunstman, matanya bikin khilaf :D

Keesokan harinya, saya diledek oleh duo Lia-Mario.

“Jangan deket-deket Endang, ntar diajak ngos-ngosan”. Sial.

Ah, tapi kalian berdua baik hati, sini-sini tak peluk satu-satu. Wink.

Selasa, 15 Mei 2012

Belanda ke Indonesia Dulu, untuk apa?

Mengambil gambar di sini

Belanda. Apa yang terlintas di benak Anda jika saya menyebut negara ini?

Saya sempat menanyakan hal serupa pada beberapa kawan. Jawabannya cukup beragam dan tak ada yang dominan. Benteng, tulip, kincir angin, dan penjajah. Tak ada satupun yang menjawab Vereegnigde Oostindische compagnie (VOC). Padahal, saat ditanya apa yang terlintas di benak saya tentang Belanda, jawaban saya ya hanya tiga huruf ini, VOC.

Tahun 2012 ini VOC memperingati hari jadi ke 410 tahun karena telah berdiri sejak 1602 silam.
VOC menjadi simbol keberhasilan Belanda kala itu, yang mampu menciptakan sebuah perusahaan multinasional dengan cengkraman mendunia. Hebatnya lagi, Belanda seakan menjadi kuda hitam di tengah dominasi negara besar Inggris, Spanyol dan Portugis, terutama dalam hal penjelajahan dan mengarungi dunia baru kala itu.

Bagi Belanda, VOC merupakan kekayaan sejarah yang membanggakan.VOC  dianggap telah membawa kemakmuran. VOC juga menjadi monumen keberhasilan Belanda akan kemampuannya menjelajahi dunia dan turut serta menyumbang berbagai hasil penelitian pada permulaan abad ke-17. Generasi muda saat ini mengenal VOC sebagai karya leluhur yang membawa kejayaan di masa lampau. Bahkan, terkait dengan Indonesia, hingga saat ini banyak penduduk Belanda yang menganggap kedatangan Belanda ke Tanah Air adalah mengusung semangat positif, diantaranya:
(1) Men-civilized-kan orang-orang Indonesia yang masih primitif;
(2) Memberi kemakmuran kepada orang-orang Indonesia yang masih terbelakang;
(3)  Mempersatukan orang-orang Indonesia yang selalu berkelahi antar mereka;
(4) Memberi pendidikan dan kemajuan rakyat indonesia, dan
(5) Kedatangan VOC ke Indonesia semata-mata untuk berdagang saja.

Itulah pandangan sekilas mengenai VOC dari sudut pandang warga Belanda. Apakah Anda menyetujuinya?

Saya pribadi tidak sepaham. Bagaimanapun, kehadiran VOC di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kolonialisme Belanda di Indonesia. Kurikulum pendidikan sejarah di Indonesia bercerita betapa dahulu kala, negeri makmur sentosa ini harus rela memberikan kesejahteraan yang direnggut paksa oleh Belanda. Belanda adalah penjajah, titik.

Memiliki pengalaman pahit, pernah menjadi negeri jajahan ini, mendorong Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan membenci penjajahan. Tergambar dengan sangat jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “penjajahan di dunia harus dihapuskan”.

Tak cukup sampai di situ, dalam sikap berpolitik pun Indonesia memerangi kolonialisme dalam bentuk pengambilan sikap politik di kancah internasional dengan memilih jalan Politik Bebas Aktif.

Kembali pada persoalan dan kisah Indonesia-Belanda di jaman dulu kala. Bagaimana seharusnya generasi masa kini mengambil sikap? Bolehkah tidak peduli dan menganggap apa yang terjadi di masa lampu hanyalah sejarah untuk dikenang belaka? Atau malah memaafkan dengan tangan terbuka, memilih untuk membuka lembaran baru, menjalin relasi baru bernama persahabatan? Agakanya, jawaban kedua yang mendominasi saat ini. Tentu saja tak apa. Ini merupakan salah satu bentuk perdamaian dunia bukan?


*Tulisan ini mengambil buah pikiran dari Abdul Irsan yang pernah menjadi diplomat di Belanda.

Minggu, 22 April 2012

Angry (without bird)

Mengambil gambar lucu ini di sini

Saat amarah membakar hati, apa yang sebaiknya dilakukan?
Satu yang kupelajari dari emosi yang meledak beberapa waktu belakangan ini. Saat amarah begitu menggelora, tahanlah untuk tidak berucap. Mengapa? Karena saat marahmu sudah reda, namun hati yang sakit karena pedasnya kata-katamu, mungkin masih terus ada dan bisa saja bertahan hingga penghujung hayat.

Senin, 02 April 2012

One Day Lost in Bogor


mengambil gambar di sini


Sabtu, 31 April disepakati oleh saya, Dini dan Shelvy untuk bertemu. Kembali bersua setelah lama kami tak berkumpul, bergunjing dan entah apalagi. Judul trip nya adalah One Day Lost in Bogor. Ya, kami memang sengaja bertemu, tanpa membuat perencanaan matang.

Awalnya kami hanya ingin menikmati kuliner Bogor, mulai dari asinan, siomay sampai apapun yang nantinya menarik minat. Namun kemudian kami bertiga malah menyepakati untuk mencoba Marun Rumah Aromaterapi. Bagi saya, ini adalah pengalaman kali pertama. Duo Shelvy dan Dini lebih familiar dengan aneka bentuk perawatan tubuh ini.

Saya dan Dini menyepakati untuk bertemu di Stasiun Manggarai jam 8 pagi. Nantinya Shelvy akan menunggu di Stasiun Tanjung Barat. Sempat terjadi kesalahpahaman, karena factor signal keparat. Miss komunikasi terjadi, Shelvy belum tiba di stasiun saat kereta yang kami tumpangi melintas. Menyebabkan Shelvy harus berkereta seorang diri menu Bogor. Sedang saya bersama Dini, bertukar cerita ini dan itu, heboh. Namanya juga perempuan.

Di Stasiun Bogor, tiba-tiba seorang laki-laki meletakkan sesuatu di pangkuan saya. Sebuah pin berwarna pink. Bertuliskan Hard Rock Cafe Singapore. Saya sempat bengong dan terdiam. Terkesima dan tak tahu apa mau laki-laki ini. Sampai dia tersenyum sambil berlalu meninggalkan saya. Pin itu saya simpan hingga sekarang, peristiwa kecil yang menakjubkan. Selalu berhasil menggelitik senyum hingga bait aksara ini saya rajut.

Sambil menunggu Shelvy, saya dan Dini memilih sarapan di Dunkin Donnut. Shelvy datang kurang dari 15 menit kemudian. Kehebohan semakin ramai terjadi. Akhirnya kami berangkat menuju destinasi pertama, Marun Rumah Aromaterapi.

Setelah menimbang-nimbang, saya memilih untuk mencoba paket lengkap yang ditawarkan. Body Steam, Refleksi, Body Massage, Lulur, dan Creambath. Hanya poin terakhir lah yang pernah saya lakukan, sisanya masih benar-benar baru dicoba.

Total perawatan ini sebenarnya hanya membutuhkan waktu tiga jam, namun sambil menunggu hujan reda dan tempatnya memang enak banget buat ngerumpi kami malah jadi keasyikan, sambil ditemani Indomie yang selalu enak disantap kapan pun dimanapun.

Perjalanan berikutnya adalah menuju Plaza Jambu Dua. Maksud hati ingin mencari tempat yang enak untuk mengobrol. Ternyata tempatnya tak cukup memenuhi ekspektasi. Berdasar informasi, akhirnya kami menuju Bogor Botani Square. Rencana bergeser untuk menonton saja. Setelah pilih ini dan itu, dengan mempertimbangkan jam tayang, kami memilih debutan Daniel Radclife dalam Woman in Black. Saya tahu ini film horror, saya juga tahu Shelvy penakut. Salah besar kami memilih film ini. Sangat salah. Yang ada saya dan Shelvy asik saling menghibur dan menguatkan hati. Dini sih paling berani dan perkasa. Saat saya dan shelvy memilih untuk menutup mata, dengan baik hatinya Dini menceritakan bagaimana ceritera dalam film yang berjalan. Ah, habis relaksasi ber spa ria, otot langsung tegang kembali gara-gara nonton film horror. Sial.

Film selesai saat malam telah menjelang. Mengingat jauhnya perjalanan pulang ke Jakarta, kami bergegas. Tapi apa lacur, perut tak bisa kompromi. Dengan membuat kesepakatan makans ecepat mungkin, kami mampir ke gerai KFC yang ada di dekat stasiun.

Akhirnya kami menuju pulang. Kembali ke rumah masing-masing. Dini turun di Stasiun Citayam, disusul Shelvy di Stasiun Lenteng Agung. Tinggal tersisa saya yang harus turun di Manggarai dan berganti kereta menuju Bekasi.

Di kereta menuju Bekasi ada kejadian menarik. Saat petugas menagih tiket untuk dilubangi, ada tiga orang laki-laki kedapatan tidak memiliki tiket yang seharusnya. Petugas ini bertindak tegas. Tidak meminta uang ‘seikhlasnya’ seperti yang selama ini sering saya lihat. Ya, petugas ini meminta agar penumpang tak bertiket ini turun di stasiun terdekat, membeli tiket dan menaiki kereta selanjutnya. Mantab. Jam nyaris menunjukkan pukul 21.00 saat saya tiba di rumah. Beristirahat sambil menata hati dan mengenang tiap tawa yang terjalin bersama sahabat tersayang. Ingatkah kalian? Terakhir kita bertemu dalam formasi bertiga ini adalah setahun lalu. Di Bandara Soetta, 7 Maret 2011 saat kita pulang dari Singapura, dan kita kembali bertemu pada 31 Maret 2012. Peyuuuk..

Kamis, 29 Maret 2012

Jejak Pertama di Borneo


Pekatnya biru pada langit mempercantik gumpalan awan yang menenangkan

Bulan April telah menjelang, akan menimbun Maret dengan gegap gempita. Pikiran melayang, kembali mengingat, apa-apa saja yang telah saya kerjakan. Jawabannya tak banyak. Tetap bepergian, menjejelajah ke tempat-tempat baru dan bertemu dengan orang-orang baru.

Kejadian lama yang selalu berulang, adalah kemalasan saya untuk membuat catatan perjalanan. Tapi, baiklah, saya sedang berusaha menyisihkan rasa malas ini.

Pertengahan Maret lalu, saya berkesempatan menjejakkan kaki di tanah Borneo. Benar-benar baru pertama kali. Untuk bekerja.

Menumpang maskapai lokal, Trigana Airlines. Ada yang tidak tahu maskapai macam apa ini?

Tenang saja, memang tak banyak yang tahu dengan keberadaan maskapai ini. Sekedar intermezzo, Trigana merupakan satu-satunya maskapai yang menyediakan rute penerbangan Jakarta-Pangkalan Bun. Tidak ada maskapai lain, tak satupun.

Saya berangkat seorang diri pada 13 Maret. Tertera pada tiket, jam keberangkatan saya adalah pukul 09.50. Saya diwanti-wanti agar datang sepagi mungkin, jangan sampai terlambat, mengingat sehari sebelumnya, kolega sempat membuat insiden tertinggal pesawat dari maskapai yang sama. Alhasil, saya sama sekali tak terlambat, malahan terlalu cepat. Bayangkan, jarum jam belum menunjuk ke angka 7 dan saya sudah duduk manis di terminal 1C menunggu loket check in dibuka. Takut terlambat dan terlalu bersemangat memang berbeda tipis.

Jam 9 teng, penumpang dipersilahkan masuk ke dalam pesawat. Jujur, saya agak khawatir. Terbang seorang diri, ke daerah yang lumayan pelosok pula. Begitu sampai di dalam pesawat, oh la la. Kursi penumpangnya cukup membuat saya tertegun. Kursi busa yang lumayan usang. Ah, beginilah wajah maskapai penerbangan kecil, batin saya.

Singkat kata, saya lumayan menikmati perjalanan. Menikmati gelembung awan yang menyerupai marsmellow. Menikmati suguhan alam dan hutan Kalimantan dari udara. Pohon-pohon yang meranggas hijau, menyerupai brokoli. Juga ada petak-petak berjajar rapi, saya duga itu adalah perkebunan sawit.

Bandar Udara Iskandar, Pangkalan Bun jauh lebih kecil dari yang saya bayangkan. Sederhana dan menenangkan. Bahkan saya sempat bertemu dengan Fred, anak laki-laki dr. Birute Mary Galdikas, seorang tokoh yang cukup disegani karena kepeduliannya pada kelangsungan hidup orangutan. Saya hanya menatap penuh kagum, dia ganteng.

Dari Pangkalan Bun, perjalanan saya berlanjut ke Hanau. Di sini saya menemukan sebuah kehidupan yang menyenangkan. Hidup yang bersahaja, penuh kesederhanaan.

Sebuah sekolah dasar yang berdiri kokoh, lengkap dengan berbagai sarana penunjang. Melihat anak-anak ini penuh semangat menimba ilmu, serta penuh tawa berlari-larian. Ah, saya jadi iri dengan ketenangan hidup di tempat ini.

Sekolah ini mengajak saya untuk menjelajahi kenangan belasan tahun silam. Saat saya masih mengenakan seragam putih merah. Bermain dengan riang bersama teman sebaya. Di Jakarta, pemandangan anak-anak kecil bermain di lapangan dengan bebas di waktu istirahat pasti nyaris mustahil. Anak-anak metropolis lebih memilih untuk diam dikelas, bermain dengan gadget terbaru. Aktivitas fisik bukanlah sesuatu yang menggugah minat.

Di depan sekolah terdapat bangunan dengan atap biru cerah. Bangunan ini adalah rumah pintar. Sebuah bangunan yang ditujukan untuk menggali potensi bagi anak-anak maupun para ibu. Di rumah ini, setiap orang memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk bermain sambil belajar. Ada perpustakaan, ada televidi dan DVD beserta playernya, ada computer, dan banyak mainan anak. Saya yang sudah dewasa saja betah berlama-lama memainkan setiap fasilitas yang ada di rumah pintar ini.

Bagi para ibu, tersedia sentra kriya. Terdapat mesin jahit yang kelak akan digunakan untuk melatih kemampuan para ibu. Sewaktu saya berkunjung, para ibu ini sedang mempraktikkan smoke, seni melipat dan menjahit kain yang menghasilkan bentuk unik.

Pengelola program di rumah pintar ini ada dua. Mereka disebut tutor dan asisten tutor. Dwi Puspa Setiasih dan Nur Indah Fitriani. Mereka adalah dua orang berhati mulia yang membaktikan diri untuk pengembangan rumah pintar ini.

Hidup di sebuah perkebunan macam ini, mau tak mamu memaksa setiap orang untuk menyelami kesederhanaan. Mengikuti ritme yang kadang berjalan terlalu lamban. Menjalani rutinitas yang trlampau monoton. Lalu, apakah saya merasa bosan? Tidak.

Saya menikmati setiap detik yang berjalan di tempat asing ini. Menikmati setiap fragmen bersama dengan orang-orang asing di tempat terpencil. Ketulusan hati yang ditawarkan dengan sebongkah senyum sayang menjadi pewarna alami disetiap waktu yang saya habiskan.

Bahkan, di malam terakhir, seorang ibu menyempatkan diri membuatkan empek-empek. Rasanya jangan ditanya, enak bukan kepalang. Di sini, saya mengucapkan terima kasih untuk Ibu Harefa yang dengan baik hatinya membuatkan kami makanan lezat yang bahkan begitu terpatri kuat dalam semak-semak ingatan.

Tepat di hari keempat, saya harus kembali. Pulang menjejakkan kaki di bentangan Jawa. Kembali disambut macet, bising dan orang-orang bersuara keras yang memekakkan telinga. Di perjalanan pulang menuju rumah, lamunan saya melayang. Mengingat setiap peristiwa di tanah Borneo. Mengingat senyum anak-anak yang tanpa beban. Mengingat eratnya pelukan para ibu yang saya pamiti. Ah, saya pasti kembali, entah kapan.

Selasa, 20 Maret 2012

Menitipkan Hati


Padamu kutitipkan sepotong hati
Untuk dijaga sebaik mungkin
Jika tak berkenan mohon dikembalikan
Jangan diterima lalu diabaikan.


gambar diambil di sini