Senin, 29 Juni 2009

mimpi burukkah ini?


hidup tanpa impian tak layak untuk dijalani.

yah, kalimat dari opa Plato ini serasa menusuk ulu hati. mengapa? karena saat ini bisa di bilang saya sama sekali sedang tidak bermimpi. yang terlalui hanyalah hal-hal yang memang harus ditempuh. jadi, aku hanyalah melewati putaran waktu, mengikuti kemana arah bayu mengayuh roda kewajiban yang silih berganti tanpa mengenal kata bosan. saya hanya manut dan nunut. tak ada ambisi apalagi mimpi.

hh..ini laksana mimpi buruk. menyerah kalah pada

keadaan. enggan berjuang, apalagi menjemput mimpi. meski ada beberapa plan yang bisa di bilang telah menjadi mimpi sejak beberapa tahun berselang. namun semakin mendekati hari, semakin terasa biasa saja. tidak kutemukan semangat yang membuncah.

mungkin saya terlalu menyatu dengan kata rutinitas.

ah, jika sudah begini, bahagia rasanya sulit sekali tergenggam. saat semua yang dahulu menjadi biasa dan berlabel lumrah, maka kata istimewa semakin tak bermakna. saya, semakin gundah, emndongak dipersimpangan dengan setangkup bingung yang menggelora. apa ini? apa yangs edang kujalani? benarkah menuju tempat yang seharusnya? atau malah perlahan dan pasti terpagar dalam koridor salah tujuan?

gundah dan gulana semakin meraja saja rupanya..

saya dan aku..


hanya ingin menyampaikan

setelah ini

saya akan memiliki teman bernama aku

tanpa maksud apa-apa

hanya terkadang

saya tidak cukup menggambarkan aku

saya dan aku..


hanya ingin menyampaikan

setelah ini

dalam setiap posting

kata saya

akan memiliki teman

bernama aku

tak ada maksud apa-apa

hanya merasa

terkadang saya tidak menggambarkan aku

Senin, 22 Juni 2009

bahagianya saya..

minggu lalu, saya mendapat kabar gembira. hari apa tepatnya saya lupa, jadi jangan ditanya. apa gerangan kabar gembiranya? saya diterima sebagai murid Andreas Harsono dalam kursus singkat Jurnalisme Sastrawi, saya bilang singkat karena hanya 2,5 bulan. periode-nya sejak 4 juli-12 september. hebatnya lagi, kursus ini saya ikuti secara gratis telak karena di biayai oleh Eka Tjibta Foundation, jadi saya bisa di bilangs ebagai penerima beasiswa.
sejak awal, sengaja saya tidak menggembar-gemborkan kata beasiswa. takut menciptakan ekspektasi terlalu tinggi. maaf, bukan maksud mengecilkan arti pembiayaan yang di berikan, hanya saja, saya berpandangan yang namanya beasiswa itu seharusnya berarti lebih tinggi, bisa dilihat dari waktu maupun jenjang sosialnya. lah, yang ini kan cuma semacam kursus, satu kali seminggu pula.
yah, meski bagi saya, Jurnalisme sastrawi ini sangat, amat sangat malah, begitu keren. senengnya tak tertangguhkan. bagaimana proses mendapatkannya pun sejujurnya saya tak terlalu berjuang. saya hanya mengisi form aplikasi dan mengirimkan contoh tulisan. sungguh bukan usaha keras. meski usaha tak perlu mengeluarkan peluh, selama proses seleksi, saya sama sekali tak mau berpikir tentang kegagalan. ceritanya nih, saya bener-bener gak mau memikirkan kemungkinan saya gagal. lucu memang, usaha hanya segitu tok, tapi maunya hasil maksimal. yah, untung Gusti Allah masih amat sangat berbaik hati.

tiba-tiba jadi teringat ucapan Jeng Dwita. katanya saya selalu mendapatkan apapun yang saya mau. amin, semoga benar demikian keadaannya.

jum'at lalu, menjelang magrib saya dan Dwita bertolak ke Blom M. tujuan kami berbeda, saya ke pasar Benhil dan kawan saya yang satu ini ke Senayan City. tujuannya kami pun sangat berbeda, saya mengambil jahitan kebaya, sedang Dwita menemui seseorang (tak usah lah saya sebutkan maksud dan urusannya, saru kata orang jawa).
"Bu, lo yakin tukang jaitnya masih buka? udah jam segini?"
"Tau deh, gue juga ketar-ketir sih, yah paling nggak liat dulu deh," kata saya pasrah
"mm..mungkin sebenenya gue cuma pengen jalan aja kali ya, secara tukang jaitnya kan di dalem pasar, jam sgini normalnya udah tutup ya? yah, kali ini saya butuh sedikit keajaiban kawan," lanjut saya sambil memandangnya.
"gue yakin, kali ini lo akan mendapatkannya," ujar nya
"amin," doa saya sepenuh hati
kami berpisah di terminal Blok M, dan..
treng...

benar sodara-sodara, tukang jaitnya amsih buka.
yippie, yak pertama saya lakukan mengirimkan pesan singkat ke Jeng Dwita.
"Mimit, bener dugaan lo, tukang jaitnya masih buka,"
"i know that, lo sekali lagi mendapatkan apa yang lo mau"

hal simpel sih, tapi setiap orang berucap yang baik-baik, saya selalu mengamini sepenuh hati.

sama halnya dengan proses seleksi jurnalisme sastrawi. berpikir akan gagal saja saya ogah.

semoga, setiap keyakinan akan keberhasilan ini selalu berhasil. mutlak, tanpa kecuali..

Minggu, 14 Juni 2009

Hikmah Kehilangan..

jika dilihat dari kacamata supper positif, tentu semua yang di dapatkan manusia adalah anugerah, tanpa kecuali. sekali lagi jika dilihat dari sudut pandang positif, atau malah super positif. hal ini terbukti, ternyata saya selalu berhasil menemukan pembenaran atas apapun, meski terkadang akhirnya malah memberikan ketidakadilan pada beberapa pihak lainnya. paling tidak, beberapa peristiwa mengajak saya untuk kembali merenung, dan semoga saja bisa mengambil hikmah.

ingatan saya melayang pada peristiwa yang terjadi sekitar maret 2007 silam. saya dan dua orang teman Sleepy dan Udin merencanakan berlibur ke kota klenik Yogyakarta. rencana sangat matang disusun, pengumpulan dana pun sudah dilakukan berbulan-bulan sebelumnya. mau tahu berapa? hanya Rp.15.000,- saja seminggu. yah, waktu itu, kami masih mahasiswa berlabel kere yang kudu memperhitungkan segala sesuatu jika mau selamat kembali lagi ke pangkuan bunda.

niatnya sih, biar tidak memberikan kesan terlalu hura-hura, kami merencanakan untuk membuat film dokumenter tentang pencuci gerbong kereta api di solo baru kemudian sesi bersenang-senang-nya di jogja itu. begitu dana sudah terkumpul, waktu keberangkatan pun telah ditetapkan, pastinya pas kami libur semester dong! untuk menekan budget, kami merencanakan untuk menumpang kereta api ekonomi dari stasiun pasar senen. sekedar informasi, kami bertiga ini tidak lebih dari sekelompok gadis sok tau yang tidak akan menyerah sampai tahu rasanya gagal. dan ini perjalanan pertama kami ke luar kota secara independen tanpa featuring keluarga atau institusi apalagi nama sekolah dan lembaga. tidak sama sekali, kami pyur independen.

begitu sampai di stasiun, kok rasanya agak ngeri melihat mas-mas calo di stasiun, syerem gitu dan garanglah. mengingat kami bertiga juga kelompok spontanitascholic, kami memutuskan untuk keterminal pulo gadung saja, mencari bus ekonomi yang menuju solo. diterminal, setelah menawar, kami emndapatkan harga Rp.45.000,-/orang. murah kan?!!!

eit, tapi ternyata, ditengah jalan kami ditodong para calo, katanya tarif seharusnya adalah Rp.80.000,-/orang. secara, saat itu saya sedang semangat-semangatnya menjiwai karakter seorang jurnalis. kebenaran harus ditegakkan bung! tsah!!!! kesal bukan main karena merasa dipermainkan, saya ngotot jika tadi perjanjiannya telah deal, jadi saya menolak untuk membayar tambahan dana yang dituntut oleh awak bus. awak bus itu mengancam akan menurunkan saya dan teman-teman plus tidak dikembalikannya uang yang telah disetorkan. tak mau kalah, saya malah mengancam mereka akan melaporkan ke YLKI (wuidih..sok intelek lah pokonya!!!) dan membuat laporan ke surat kabar mengenai armada bus yang tidak jelas paraturannya itu. biar lebih dramats, saya mengatakan, justru saya yang dirugikan, pihak bus harus mengembalikan uang yang telah kami bayar, karena mereka juga telah merugikan kami dengan pelayanan yang seenaknya serta waktu beberapa jam yang terbuang percuma. aih, cara ini berhasil, kami hanya menambahkan Rp.15.000,- dan perjalanan dilanjutkan dengan damai dan tentram.
ternyata kehebohan itu baru permulaan. sampai di terminal solo, yah, kamera dan ponsel yang dibawa sleepraib. dengkul langsung lemas. bukannya apa-apa, klo soal ponsel, biarlah, itu milik sleepy. tapi kamera. hiks, kamera itu milik teman SMA yang sengaja saya pinjam untuk mengabadikan momen. apa mau dikata, akhirnya kami memutuskan untuk melupakan masalah kehilangan kamera sejenak, nantilahs etelah sampai di Jakarta dipikirkan mekanisme panggantian.

bagi saya, peristiwa kehilangan kamera itu menjadi sebuah titik balik. kami bertiga sepakat untuk patungan sama rata. caranya bagaimana terseranh, yang pasti setiap orang diharuskan menyetorkan uang Rp.700.000,- saya bertekad untuk tidak menyilitkan orang tua. mulai dari sinilah saya rajin mencari lowongan kerja, padahals ebelumnya ditawari kerja saja saya menolak-nolak. sampai ada lowongan di majalah kesehatan. niatnya saat itu hanya untuk mengumpulkan uang 700ribu itu saja, begitu gaji pertama, sudahlah keluar saja, lanjutkan hidup seperti sediakala. mendengar bidang majalahnya saja jujur, saya malas bukan kepalang. kesehatan gitu, lah wong kesehatan diri sendiri saja saya malas memperhatikannya apalagi menggeluti dan membuat artikel kesehatan. ugh..malas euy..

tapi mau bagaimana lagi, kamera tetap harus diganti. ternyata saya diterima dengan mudah, terimakasih ya allah. dan gajinya melebihi harapan saya. ya, saya dibayar satu juta perbulan. ternyata setelah menjalani, lama-lama saya malah keasyikan. tim yang solid serta atmosfer kerja yang menyenangkan membuat saya lupa tujuan awal. ya, kemudian saya malah menikmati sepenuh hati. saya jadi bekerja sambil kuliah.

masuk bulan ke-8, saya malah diterima sebagai script writer untuk program kesehatan di Metro TV. memang hanya sebagai freelance, namun stasiun TV ini tentu memberikan prestige tersendiri. lebih dari itu, Metro TV pun telah memberikan segudang pengalaman menakjubkan. sampai sekarang saya masih bernaung di televisi berita ini. ada enak ada susah, ada senang ada duka, ada kebosanan dan ada juga gairah menggebu. semuanya saya rasakan disini. ya, di tempat saya menuliskan post ini.

kembali ke tema sentral yang saya tulis di awal. bisa jadi, saya tidak akan mendapatkan pencapaian sepertis ekarang ini, jika tidak ada maling yang mencuri kamera. akhirnya, saya memilih untuk menjadikan peristiwa itu sebagai jembatan saya menuju sebuah pencapaian. kehilangan kamera itu ternyata menyimpan sejuta berkah yang akhirnya masih saya rasakan hingga saat ini.

yang paling saya syukuri, saya tidak sempat merasakan luntang-luntung cari kerja. bingung dan malu pada keluarga dan teman saat ditanya sudah kerja atau belum. saya memang tak pernah merasakannya (maaf ya, bukan bermaksud sombong), namun saya bisa membayangkan tidak enaknya berada di kondisi demikian. tahu tidak nyaman rasanya, biasanya saya memilih untuk tidak menanyakannya. alih-alih biasanya saya malah mengumpulkan alamat email teman dan sahabat, siapa tahu saya memiliki informasi lowongan yang bisa saya forward ke meraka.

jadi kesimpulannya, bencana sebesar apapun, pasti memiliki hikmah, tergantung bagaimana kita memberikan sudut pandang dalam peristiwa tersebut. saya memilih untuk bersyukur, bisa jadi, tanpa si pencuri kamera itu,, saya masihlah pencari kerja yang mengalami rendah diri akut dan malu tak hingga. dan yang terpenting, saya jadi ikhlas luar dalam dengan kehilangan itu. tak ada lagi rasa kesal dan menghujat. saya memilih untuk berterimakasih. tanpa pencuri kamera itu, bisa jadi nasib saya pun tidak sebaik sekarang. dan ada sebait doa yang terselip di relung hati ini, semoga kamera itu lebih berguna di tangannya ketimbang di tangan kami. amin. saya ihlas..

Kamis, 11 Juni 2009

Bali, I am Coming (again)

Ya Tuhan, terimakasih untuk semua berkah yang selalu Kau berikan pada manusia yang satu ini. Ya, saya yang terkadang suka mbalelo dan sedikit nakal ini, ternyata masih juga di sayang sama Gusti Allah. jadi makin percaya sama wejangan pak Rojak, ustadz saya sewaktu masih rajin mengikuti TPA jaman dulu. beliau berwejang, setiap keinginan manusia yang mengajukan permohonan pada Allah, hasilnya pastia diantara tiga kemungkinan. kemungkinan pertama, permohonan itu pasti di kabulkan. jika yang terjadi adalah kemungkinan ini, pasti kita senang sangat. sedang kemungkinan yang kedua adalah dikabulkan namun waktunya di tunda. sebagai manusia, harusnya sih, kita tetap senang ya dengan pilihan pengkabulan do'a untuk sesi ini meskipun di tunda. sedangkan kemungkinan yang ketiga adalah, permohonan kita dikabulkan hanya bentuknya di ganti.
wuah, kurang baik apa ya Tuhan, jadi saya menyimpulkan setiap keinginan kita psti terkabul hanya dalam bentuk ataupun kapan terwujudnya yang jdi misteri.
hari ini, bisa jadi salah satu realisasi dari permohonan saya selama ini. Yah, hari ini kembali saya berkesempatan menyambangi pulau dewata, bahasa kerennya The Island of God. yang menyenangkan, padahals ekitar dua minggu lalu saya baru saja meninggalkannya. Wuah, gimana teman-teman gak iri jali coba jika tahu nasib saya sebaik ini.
yah, semoga kepergian saya kali ini emmbawa sejuta berkah, memberikan sejuta pengalaman menakjubkan, dan tentu saja semoga menjadikan saya sosok yang lebih baik setelah ini.