Minggu, 14 Juni 2009

Hikmah Kehilangan..

jika dilihat dari kacamata supper positif, tentu semua yang di dapatkan manusia adalah anugerah, tanpa kecuali. sekali lagi jika dilihat dari sudut pandang positif, atau malah super positif. hal ini terbukti, ternyata saya selalu berhasil menemukan pembenaran atas apapun, meski terkadang akhirnya malah memberikan ketidakadilan pada beberapa pihak lainnya. paling tidak, beberapa peristiwa mengajak saya untuk kembali merenung, dan semoga saja bisa mengambil hikmah.

ingatan saya melayang pada peristiwa yang terjadi sekitar maret 2007 silam. saya dan dua orang teman Sleepy dan Udin merencanakan berlibur ke kota klenik Yogyakarta. rencana sangat matang disusun, pengumpulan dana pun sudah dilakukan berbulan-bulan sebelumnya. mau tahu berapa? hanya Rp.15.000,- saja seminggu. yah, waktu itu, kami masih mahasiswa berlabel kere yang kudu memperhitungkan segala sesuatu jika mau selamat kembali lagi ke pangkuan bunda.

niatnya sih, biar tidak memberikan kesan terlalu hura-hura, kami merencanakan untuk membuat film dokumenter tentang pencuci gerbong kereta api di solo baru kemudian sesi bersenang-senang-nya di jogja itu. begitu dana sudah terkumpul, waktu keberangkatan pun telah ditetapkan, pastinya pas kami libur semester dong! untuk menekan budget, kami merencanakan untuk menumpang kereta api ekonomi dari stasiun pasar senen. sekedar informasi, kami bertiga ini tidak lebih dari sekelompok gadis sok tau yang tidak akan menyerah sampai tahu rasanya gagal. dan ini perjalanan pertama kami ke luar kota secara independen tanpa featuring keluarga atau institusi apalagi nama sekolah dan lembaga. tidak sama sekali, kami pyur independen.

begitu sampai di stasiun, kok rasanya agak ngeri melihat mas-mas calo di stasiun, syerem gitu dan garanglah. mengingat kami bertiga juga kelompok spontanitascholic, kami memutuskan untuk keterminal pulo gadung saja, mencari bus ekonomi yang menuju solo. diterminal, setelah menawar, kami emndapatkan harga Rp.45.000,-/orang. murah kan?!!!

eit, tapi ternyata, ditengah jalan kami ditodong para calo, katanya tarif seharusnya adalah Rp.80.000,-/orang. secara, saat itu saya sedang semangat-semangatnya menjiwai karakter seorang jurnalis. kebenaran harus ditegakkan bung! tsah!!!! kesal bukan main karena merasa dipermainkan, saya ngotot jika tadi perjanjiannya telah deal, jadi saya menolak untuk membayar tambahan dana yang dituntut oleh awak bus. awak bus itu mengancam akan menurunkan saya dan teman-teman plus tidak dikembalikannya uang yang telah disetorkan. tak mau kalah, saya malah mengancam mereka akan melaporkan ke YLKI (wuidih..sok intelek lah pokonya!!!) dan membuat laporan ke surat kabar mengenai armada bus yang tidak jelas paraturannya itu. biar lebih dramats, saya mengatakan, justru saya yang dirugikan, pihak bus harus mengembalikan uang yang telah kami bayar, karena mereka juga telah merugikan kami dengan pelayanan yang seenaknya serta waktu beberapa jam yang terbuang percuma. aih, cara ini berhasil, kami hanya menambahkan Rp.15.000,- dan perjalanan dilanjutkan dengan damai dan tentram.
ternyata kehebohan itu baru permulaan. sampai di terminal solo, yah, kamera dan ponsel yang dibawa sleepraib. dengkul langsung lemas. bukannya apa-apa, klo soal ponsel, biarlah, itu milik sleepy. tapi kamera. hiks, kamera itu milik teman SMA yang sengaja saya pinjam untuk mengabadikan momen. apa mau dikata, akhirnya kami memutuskan untuk melupakan masalah kehilangan kamera sejenak, nantilahs etelah sampai di Jakarta dipikirkan mekanisme panggantian.

bagi saya, peristiwa kehilangan kamera itu menjadi sebuah titik balik. kami bertiga sepakat untuk patungan sama rata. caranya bagaimana terseranh, yang pasti setiap orang diharuskan menyetorkan uang Rp.700.000,- saya bertekad untuk tidak menyilitkan orang tua. mulai dari sinilah saya rajin mencari lowongan kerja, padahals ebelumnya ditawari kerja saja saya menolak-nolak. sampai ada lowongan di majalah kesehatan. niatnya saat itu hanya untuk mengumpulkan uang 700ribu itu saja, begitu gaji pertama, sudahlah keluar saja, lanjutkan hidup seperti sediakala. mendengar bidang majalahnya saja jujur, saya malas bukan kepalang. kesehatan gitu, lah wong kesehatan diri sendiri saja saya malas memperhatikannya apalagi menggeluti dan membuat artikel kesehatan. ugh..malas euy..

tapi mau bagaimana lagi, kamera tetap harus diganti. ternyata saya diterima dengan mudah, terimakasih ya allah. dan gajinya melebihi harapan saya. ya, saya dibayar satu juta perbulan. ternyata setelah menjalani, lama-lama saya malah keasyikan. tim yang solid serta atmosfer kerja yang menyenangkan membuat saya lupa tujuan awal. ya, kemudian saya malah menikmati sepenuh hati. saya jadi bekerja sambil kuliah.

masuk bulan ke-8, saya malah diterima sebagai script writer untuk program kesehatan di Metro TV. memang hanya sebagai freelance, namun stasiun TV ini tentu memberikan prestige tersendiri. lebih dari itu, Metro TV pun telah memberikan segudang pengalaman menakjubkan. sampai sekarang saya masih bernaung di televisi berita ini. ada enak ada susah, ada senang ada duka, ada kebosanan dan ada juga gairah menggebu. semuanya saya rasakan disini. ya, di tempat saya menuliskan post ini.

kembali ke tema sentral yang saya tulis di awal. bisa jadi, saya tidak akan mendapatkan pencapaian sepertis ekarang ini, jika tidak ada maling yang mencuri kamera. akhirnya, saya memilih untuk menjadikan peristiwa itu sebagai jembatan saya menuju sebuah pencapaian. kehilangan kamera itu ternyata menyimpan sejuta berkah yang akhirnya masih saya rasakan hingga saat ini.

yang paling saya syukuri, saya tidak sempat merasakan luntang-luntung cari kerja. bingung dan malu pada keluarga dan teman saat ditanya sudah kerja atau belum. saya memang tak pernah merasakannya (maaf ya, bukan bermaksud sombong), namun saya bisa membayangkan tidak enaknya berada di kondisi demikian. tahu tidak nyaman rasanya, biasanya saya memilih untuk tidak menanyakannya. alih-alih biasanya saya malah mengumpulkan alamat email teman dan sahabat, siapa tahu saya memiliki informasi lowongan yang bisa saya forward ke meraka.

jadi kesimpulannya, bencana sebesar apapun, pasti memiliki hikmah, tergantung bagaimana kita memberikan sudut pandang dalam peristiwa tersebut. saya memilih untuk bersyukur, bisa jadi, tanpa si pencuri kamera itu,, saya masihlah pencari kerja yang mengalami rendah diri akut dan malu tak hingga. dan yang terpenting, saya jadi ikhlas luar dalam dengan kehilangan itu. tak ada lagi rasa kesal dan menghujat. saya memilih untuk berterimakasih. tanpa pencuri kamera itu, bisa jadi nasib saya pun tidak sebaik sekarang. dan ada sebait doa yang terselip di relung hati ini, semoga kamera itu lebih berguna di tangannya ketimbang di tangan kami. amin. saya ihlas..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan jejak