Rabu, 30 September 2015

Selamat (akhirnya) Menikah Kiky - Pathub

September menjadi bulan yang saya nantikan penuh suka cita. Bulan ini, salah satu teman terbaik melepas masa lajang. Teman menggalau bersama, teman bertanya-tanya ‘siapa jodohku’. Saya larut dalam kebahagiaan, karena pada akhirnya salah satu dari kami mampu menemukan misteri tentang pertanyaan ‘siapa jodohku’ ini.

Dulu, saya pikir akan ada rasa iri, jika salah satu dari kami menikah. Ternyata tidak, hati ini dipenuhi kegembiraan, kebahagiaan dan semangat untuk turut serta dalam kemeriahan pesta pora di perayaan pernikahannya.

Grain Grainy atau punya nama panggilan sealam raya, Kiky. Perempuan ayu njawani, meskipun keturunan asli tanah minang.

12 September 2015 akhirnya menghadap penghulu, untuk melepas masa lajang, resmi menjadi istri Dwi Agus atau biasa disapa dengan Pathub.

***

Mereka berteman 11 tahun, setidaknya ini yang Kiky ceritakan padaku. Berteman akrab, sejak masih jaman culun, mata pun belum kenal yang namanya eye liner dan poni pun belum kenal yang namanya catok.

Kiky jatuh cinta, patah hati pada pria lain. Saya duga Pathub pun demikian adanya.

Mereka sempat sama-sama bekerja di Jakarta, pada bidang pekerjaan yang nyaris sama namun berbeda. Kiky lebih mengakrabi dunia broadcast, sedang Pathub menekuni dunia editing. Keduanya tetap berteman baik, tanpa ada rasa yang terlibat.

Sampai pada medio maret 2015, keduanya bertemu di resepsi pernikahan sahabat. Entah bagaimana mulanya, teman-teman yang lain malah asik menjodohkan mereka. Pathub pun mengutarakan keinginan untuk menjalin hubungan serius dengan Kiky.

Cinta tetaplah menjadi misteri. Entah darimana datangnya.

Kiky tiba-tiba dihinggapi keyakinan, Pathub lah laki-laki yang akan menjadi masa depannya. Orang yang layak menjadi bapaknya anak-anak, demikian bahasa kami.

Tak perlu masa pendekatan yang lama, toh mereka sudah saling mengenal luar dalam lebih dari satu dekade. Semesta pun seakan memberi restu, semua serba dimudahkan. Pihak keluarga memberi restu tanpa kompromi.

Bahkan ada sebuah dongeng yang manis di sela-sela perkenalan keluarga keduanya. Siapa yang menyangka, keluarga kakek dan nenek keduanya, di masa lalu ternyata telah mengenal baik dan saling membantu dalam usaha perniagaan.  Rumah makan padang dan penjual cabe, kedua usaha ini di masa lalu membuat leluhur Kiky dan Pathub telah menjalin hubungan baik.

Ini yang namanya berjodoh, sahih.

***

Pagi itu, akad nikah direncanakan pukul 07.00 WIB. Akad nikah terpagi yang pernah kudatangi.
Akad berjalan lancar. Tamu yang hadir tidak hanya pihak keluarga, namun juga teman-teman dekat mempelai. Saya meyakini satu hal, pasangan pengantin ini tentulah kesayangan bagi semua. Meski akad berlangsung pagi bukan main, teman-teman yang datang cukup banyak. Semua memasang wajah dalam settingan masih ngantuk tapi ceria. Saya tak banyak mengenal teman-teman Kiky-Pathub, benar-benar tamu asing terisolir yang sok akrab menggabungkan diri dalam gerombolan, untunglah mereka semua baik hati, hahahaha..

Dalam resepsi, Kiky-Pathub kembali membuktikan, pasangan ini sungguh dicintai banyak orang. Tamu datang dari segala penjuru mata angin, ingin lebur dalam perayaan. Beberapa di antaranya, saya tahu datang dari luar kota, luar biasa.

Tak kalah penting, mengenal Kiky berarti berbonus pula untuk mengenal beberapa teman terdekat nya. Saya sendiri, entah bagaimana ceritanya jadi cukup mengenal Buluw, Gyor, dan Tika. Juga ada Rhima dan Yudith. Aha..saya tahu alasannya. Sebab, Kiky adalahh seorang pencerita yang baik. Jika kami sedang bersama, Kiky sering bercerita mengenai teman-temannya. Di bawah sadar, meski jarang atau bahkan belum pernah bertemu, diam-diam ada rasa akrab yang menelusup kalbu.
Ah Kiky. Selamat berbahagia dengan status barumu sebagai istri.


Tak ada lagi pertanyaan ‘siapa jodohku’ darimu ya. Semoga ke depan, ada semakin banyak alasan untuk merasa bahagia yang paripurna. Sakinah, mawadah, warohmah. Amiin.

Jumat, 04 September 2015

Saya Cinta Jakarta, Masalah?

mengambil gambar di sini
Banyak orang mengumpat Jakarta. Kota yang konon penuh kemacetan. Penuh keegoisan. Sumpek. Herannya, meski penuh caci maki untuknya, tetap saja banyak yang berduyun-duyun mendatangi Jakarta.

Tiap hari kerja, ribuan orang merelakan waktu rata-rata dua jam dari rumah yang letaknya di penyangga kota macam Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, melakukan migrasi menuju tempat kerja masing-masing di Jakarta. Melintasi macet. Berdesakan di kereta atau bus. Rutinitas yang sama diuulangi kembali saat petang hari.

Dimaki, namun tetap didatangi. Entah, kontradiksi macam apa ini namanya.

Pernah suatu kali saya pergi ke Hanau, Kalimantan Tengah selama delapan hari. Hidup di tengah hutan sawit. Jarak antar rumah jauh. Hiburan hanya dari televisi yang untungnya menangkap signal. Satu dua hari pertama, terasa nyaman. Udara sejuk. Hiruk pikuk kota tiada. Karena padatnya jadwal bekerja, konsentrasi saya tercurah penuh untuk urusan pekerjaan. Bekerja sebaik mungkin. Sampai tiba hari kepulangan.

Yang saya ingat persis, adalah perjalanan dari Bandara menuju rumah setelah tiba di Jakarta. Macet, sudah pasti. Terlebih saya tiba di Jakarta menjelang petang. Pandangan saya lurus ke luar jendela. Tiba-tiba saja, yang terlintas di kepala adalah rasa rindu pada gedung-gedung tinggi yang tak selalu berjajar rapi di Jakarta. Petang itu, saya menyadari, saya mencintai Jakarta.

Jakarta dengan keruwetannya. Dengan pekak klakson dan sedikit trotoarnya. Meski selama menjauh saya tak merindu, namun ternyata saat kembali, saya bersuka cita.

Dipikir kembali, Jakarta tak melulu buruk ternyata. Ingin menonton film terbaru, Jakarta memiliki aneka ragam pilihan bioskop yang tersebar merata di seluruh penjuru kota. Bahkan film paling baru yang saat yang sama sedang menempati rangking teratas di box office, bisa dinikmati di Jakarta.

Ingin makan enak, jangan khawatir. Ada banyak pusat makanan enak. Malah beberapa tersedia selama 24 jam. Jakarta, kota yang tak pernah tidur. Selalu terjaga, memanjakan orang-orang dengan siklus hidup beragam.

Saya si pengguna kendaraan umum pun dimanjakan oleh Jakarta. Beberappa jalur transjakarta tersedia 24 jam penuh. Malah beberapa waktu belakangan ini, ada gojek yang siap mengantarkan kemanapun saya ingin pergi, asalkan dalam radius tak lebih dari 25km.

Saya cinta Jakarta, meskipun KTP saya Jawa Barat Bekasi.

Bukan berarti saya tak pernah memiliki keinginan untuk menjauh dari Jakarta. Beberapa kali saya ingin pindah ke luar kota, semacam Jogja, Surabaya, atau malah Padang. Saya sempat ingin mencari pekerjaan yang jauh dari Jakarta, agar tak perlu bermacet ria dan membangun karir yang lebih bersinar. Nyatanya, itu cuma keinginan semata yang tak pernah berwujud dalam usaha untuk merealisasikan. Bisa jadi, karena kecintaan saya yang cukup besar pada Jakarta, ahak.

Jadi, saya sungguh heran. Pada mereka yang memaki Jakarta, namun tetap memilih tinggal di dalamnya. Mengatakan sama sekali tak memiliki impian untuk pindah ke Jakarta, nyatanya bekerja dan menjadi robot kota di ibukota negeri ini. Munafik? Ah, tentu sajja tidak. Mungkin mereka hanya tidak tahu apa yang dimau. Atau..sudah tahu apa yang dimau namun tak sanggup melawan gemerlap yang ditawarkan Jakarta.

Pokoknya saya cinta Jakarta, masalah?


Bandung, 4 September 2015.