Selasa, 22 Februari 2011

Kematian


Seperti di sebuah pemakaman, satu persatu mereka datang, satu persatu pula mereka pergi. Bertemu untuk sebuah alasan, menghormati seseorang. Menjalin kenangan akan sebuah sosok, dan kemudian merelakan kepergian untuk selamanya.
Requiem. Aku bisa tersedu sedan jika mendengarkan nada-nada pilu dari sebuah upacara pemakaman. Mengingat akan kehilangan paling sahih. Adakah kepergian yang lebih mutlak lagi daripada kematian?

Hari ini, tepat setahun lalu aku bersikeras untuk menggenggammu. Berusaha melawan kenyataan, bahwa kematian seharusnya bisa ditaklukkan dengan tetap menghidupkan kenangan. Ternyata semua salah. Bagaimanapun, kepergian akibat kematian adalah sebuah entitas takdir, dan waktu akan menjadi pemenang dalam pertarungan melawan kenangan.

Aku harus rela, seiring berjalannya waktu, semua akan memudar untuk kemudian menghilang tanpa bekas. Yang tersisa hanyalah daya ingat bahwa semua pernah terjadi, namun tidak secara spesifik menjelma menjadi diorama yang nyata.

Kamis, 17 Februari 2011

Saya dan 1'st Juli yang Lain


Saya percaya bahwa orang yang dilahirkan pada tanggal dan bulan yang sama, maka akan memiliki beberapa persamaan karakter. Saya yang lahir 1 Juli ternyata memiliki banyak ‘kembaran’ lahir. Ada Agnes Monica, Aryo Wahab, Fedi Nuril, dan tentu saja saya, Endang Prihatin. Hehehe.

Eh, teman-teman main yang lahir di tanggal 1 Juli dan tidak menyandang gelar selebritis juga ada, yaitu Susanti, Rohmadtika Dita, dan Laksita Kurniati.

Santi
Susanti, waktu kelahirannya benar-benar berbarengan dengan saya, tanggal bulan dan tahun sama plek. Dia teman sekelas saya saat SD di pedalaman Lampung. Anaknya pintar, pintar apa saja. Di sekolah selalu juara satu, dari pertama mendapat raport sampai lulus SD. Saya sampai keki bukan main. Itu baru keenceran otak. Soal perilaku jangan ditanya. Santun bukan main. Nenek saya sampai jatuh hati. Tiap main ke rumah, pulangnya Santi pasti diberi rambutan. Hal itu terus berlanjut, bahkan saat saya sudah tidak lagi tinggal di Lampung. Lewat surat, Santi bercerita nenek sering mampir dan memberinya jajanan pasar. Mungkin nenek ingin saya menyerupai Santi. Grasak-grusuk berubah jadi lemah gemulai. Petakilan dan tampilan awut-awutan menyerupai laki-laki bermetamorfosa jadi rapi manis. Maaf ya nek, harapanmu terlalu mengawang hingga tak terjangkau.

Yang membuat saya iri dari Santi adalah rambut. Ya, rambut. Rambutnya lurus, tebal, rapi. Ya, tipikal rambut di iklan Sunsilk. Sampai sekarang saya ingin punya rambut seperti miliknya.

Jadi, bentuk santi bisa dikatakan antithesis dari saya. Dia lemah gemulai, berotak encer, santun, rapi dan rajin. Saat saya menulis kata rajin, saya tidak berlebihan. Dia betul-betul rajin. Saya ingat, dia sama sekali tak malas menyapu halaman rumahnya yang luasnya sekitar setengah lapangan bola basket. Dia juga rajin memasak, meski sebelumnya harus belanja dulu ke pasar yang jaraknya 15 menit naik angkot. Saya ingat persis, di kelas 1 SD, tiap pulang sekolah dia akan mencuci kaos kaki dan pita rambut. Saat itu saya terkagum-kagum, melihat teman sebaya sudah begitu berpikiran maju soal kemandirian. Tapi saat ini, saya kok merasa itu berlebihan ya? Tiap hari gitu nyuci pita rambut?

Berhubung kelas 5 SD saya pindah, sejak saat itu saya jarang bertemu dengannya. Sesekali saja jika saya mengunjungi nenek. Terakhir bertemu dengannya sekitar 2 tahun lalu.

Oh ya, Karena keterbatasan biaya dan kemiskinan informasi (tentang betapa mudahnya beasiswa didapat), akhirnya otak encer Shanti tak dimanfaatkan maksimal. Dia hanya tamat SMU. Saat ini kerjanya menjaga toko. Saya rasa dia cukup bahagia, mengingat toko itu cukup tersohor di Lampung sana. Minimnya akses, meminimkan dia membaca tulisan ini. Saya tak yakin dia menikmati berselancar di ranah maya ini.

Dita
Si pemilik tanggal lahir sama yang kedua adalah Rohmadtika Dita. Jangan protes, namanya memang aneh, seaneh orangnya. Dia memiliki banyak panggilan, lazimnya orang memanggilnya Dita. Tapi pernah saya khilaf memanggilnya babi karena melihat pipi-nya bersemu merah muda, mirip boneka-boneka babi itu looohhh!! Pacar tersayangnya memanggil dia Nta, yang ini terdengar lebih manis di telinga. Pernah juga sapaan ‘nasi’ menghampirinya. Sebutan terakhir itu mengacu pada perawakannya yang kecil dan putih. Si nasi yang punya mata dan hidung.

Dia ini teman kuliah. Lagi-lagi si 1 Juli menunjukkan kedigjayaan. Dia pintar bukan main. Kuliah S1 bisa dilaluinya dalam waktu 3,5 tahun saja. belum cukup, bahkan saat wisuda pun dia mendapat IP tertinggi. Bikin syirik saja. dulu dia memasukkan nama saya dalam phone book-nya ‘kembaranku’.

Siapa yang mau jadi kembarannya? Dia mengungguli saya disemua bidang. Dia lebih cantik. Dia lebih pintar. Dia punya pacar. Aaarrrgh!! Saya kalah telak. Saya menolak disebut kembaran. Akhirnya saya menang satu poin, saya yang menolak.
*bakat culas menyembul

Mbak Uchi
Si 1 Juli yang terakhir namanya Laksita Kurniati. Saya dan teman-teman bisa memanggilnya ‘Mbak Uchi’ Dia teman kost saat saya masih kuliah. Badannya lebih tinggi besar dibanding saya. Semlohai. Sekarang ini dia bekerja di Bank Indonesia, entah jadi apa.

Mbak Uchi ini orangnya berisik. Sukanya jadi pusat perhatian. Gak puas kalau belum mengeluarkan suara 5 oktaf. Sedikit temperamen, mudah dihasut dan disulut kemarahannya. Tapi diantara semuanya, dia itu baik hati sekali.

Hatinya mudah jatuh iba. Meski memiliki pekerjaan yang lumayan dia memilih kost di tempat yang sederhana. Pertimbangannya, kenyamanan dan rasa persaudaraan yang ditawarkan dalam kost sederhana milik Bapak dan Bu Jeje. Meski tak tahu persis, saya dan teman-teman kost menduga, Mbak Uchi itu anak saudagar kaya di kampung sana. Oia, kampungnya di Bangka Belitung.

Ah, hari ini saya menulis fragmen si 1 Juli.

Senin, 07 Februari 2011

Teman Baikku Ahmadiyah


Saya bukan orang Ahmadiyah, namun saya berkawan baik dengan beberapa orang jemaatnya.

Perkenalan saya dengan Ahmadiyah sudah berlangsung sejak di jaman kuliah. Melalui berita di televisi, juga perbincangan dengan kawan.
Katanya Ahmadiyah itu sesat.
Katanya Ahmadiyah itu mempercayai ada nabi lain setelah Nabi Muhammad SAW.
Katanya Al-Quran mereka berbeda.
Katanya bacaan shalat mereja juga berbeda.
Saya ingat persis, media ramai memberitakan Ahmadiyah bersamaan dengan isu agama sesat di Jawa Timur, yang menerjemahkan bacaan shalat dalam Bahasa Indonesia. Mungkin sebelumnya sudah pernah diberitakan, namun saya tidak tahu.

Saat itu, teman saya yang kader partai Islam terang-terangan menunjukkan keberatan sikapnya pada kehadiran Ahmadiyah. Saya yang bukan orang religius tak ambil pusing.
“Urusan agama itu sangat personal, antara manusia dan Sang Pencipta, manusia lain tak berhak mencampuri,” ujar saya.
“Ya nggak dong, kalo kita tau ada yang salah, sudah kewajiban kita untuk meluruskan yang salah itu,” teman saya itu sengit tak terima.

Awal juli 2009 saya berkenalan dengan jemaat Ahmadiyah di kelas menulis narasi. Firdaus Mubarik namanya, namun saya biasa memanggilnya daus. Kesan pertama, dia menyebalkan. Banyak bicara, mendominasi kelas. Positifnya, atmosfer kelas jadi hidup. Rasa kantuk jauh-jauh. Namun sayangnya, yang dia bahas itu tidak ada dalam silabus. Ah..dasar krisis eksistensi. Begitu batin saya. Selebihnya tidak ada yang istimewa. Berangsur-angsur kesan sok tau-nya luntur dalam kepala saya.

Sampai pada pergantian tahun 2009 menuju 2010 ternyata kami menghabiskan waktu di tempat yang sama. 1809. Tengah malam Daus mengajak saya pergi ke Pulau Tidung di kepulauan seribu. Meski tanpa persiapan, sifat impulsif saya tak kuasa menolak ajakan itu. Akhirnya, saya turut serta bersama daus dan teman-teman yang baru saya kenal di perjalanan.

Setelah itu saya semakin mengenal Daus. Banyak pertanyaan yang saya ajukan tentang Ahmadiyah yang kata orang sesat itu. Lewat Daus pula saya mengenal jemaat-jemaat Ahmadiyah lainnya.

Jujur, ibu saya kerap khawatir jika saya terlalu banyak bergaul dengan Ahmadiyah. Namun bagi saya, berteman tak seharusnya memandang latar belakang. Cukup lihat bagaimana karakternya. Dia menyenangkan, saya akan temani. Tak perlu alasan lain.

Oktober 2010 saya berkunjung ke Cisalada, Bogor. Ada penyerangan yang merusak banyak rumah serta pembakaran masjid. Cisalada merupakan pemukiman Ahmadiyah. Desa kecil yang terpencil. Mereka ramah bukan main, meski sorot kesedihan masih membayang. Siapa yang tidak sedih jika rumah dirusak. Ahmadiyah atau bukan tentu itu sedih. Toh Ahmadiyah juga tetap manusia. Saya menginap semalam. Fakta mengagumkan tentang Ahmadiyah yang masih terekam dalam lipatan otak saya misalnya nyaris setiap jemaat Ahmadiyah telah terdaftar sebagai donor mata. SOP yang diterapkan pun lucu dan bersahaja. Dari daus saya tahu, setiap jemaat tidak dibenarkan menggunakan senjata tajam. Jika terjadi penyerangan, mereka boleh menggunakan jus cabe ataupun ketapel. Tidak pisau dapur apalagi samurai.

Saya juga melihat Al-Quran yang katanya berbeda itu. Tak ada yang berbeda. Jadi teori ‘katanya’ soal Al-Quran tumbang sudah. Saat magrib, saya diajak Ali untuk shalat berjamaah di masjid.

“Emang gak beda Li bacaannya? Katanya beda?”
“Makanya ayo ikut, biar tahu beda atau nggak” jawab Ali
“Gak ah, lagi males, tapi sebenernya beda gak sih?” tanya saya lagi
“Nggak kok, gak ada bedanya”

Meski tidak membuktikan secara langsung, saya percaya. Satu lagi teori ‘katanya’ tumbang.

Jujur, saya masih terheran-heran. Mengapa Ahmadiyah diusik. Dalam keseharian, tak ada sifat yang menyimpang dari mereka. Sebagai pribadi pun, mereka santun, ringan tangan dalam artian suka menolong. Daus orang yang sering saya repotkan untuk membantu urusan remeh temeh. Mulai dari pindahan sampai minta ditemani kesana dan kesitu.

Saat ini, ada banyak jemaat Ahmadiyah yang menjadi teman saya. Mereka semuanya baik hati, tanpa kecuali.

Barusan saya menyaksikan video penyerangan di Banten terhadap Ahmadiyah yang terjadi kemarin, Minggu, 6 februari 2011. Miris melihat orang yang tak berdaya masih dipukuli. Bukan karena dia Ahmadiyah, namun karena mereka manusia.

Tanpa malu sekelompok orang ini meneriakkan ‘Allahuakbar’ sambil membawa kayu dan memukul orang yang tak berdaya.
Jadi mana slogan Islam sebagai agama pembawa kedamaian?
Mbok ya kalo mau anarkis gak usah bawa-bawa identitas agama segala.
Bikin malu saja!!!

Saya tidak suka melihat kekejian semacam itu. Saya benci melihat manusia kehilangan hati nurani seperti itu. Itu sudah tindak kriminal, bukan lagi konflik sara.

Bahkan, jika yang tersungkur tak berdaya itu bukan datang dari golongan Ahmadiyah, reaksi saya akan sama. Sedih, miris.

Semoga pemerintah mampu mengambil tindakan tegas. Maling ayam saja nasibnya tak semenyedihkan itu. Mengapa saya membandingkan dengan maling ayam? Tentu jika membandingkan dengan maling kas negara tak sepadan. Tak ada maling kas negara (yang berjulukan keren koruptor) itu yang mati dihajar massa. Mereka melenggang penuh senyum dan kental perlindungan.
Berikut saya meng copy paste pernyataan jemaat Ahmadiyah yang saya dapatkan dari milis:

12 butir pernyataan Jemaat Ahmadiyah

Tertanggal 14 Januari 2008, Jemaat Ahmadiyah mengeluarkan 12 butir pernyataan setelah melalui rentetan dialog dengan Departemen Agama. Pernyataan itu terkait dengan rapat Pakem yang akhirnya menetapkan bahwa negara tak melarang Jemaat Ahmadiyah.

1. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW, yaitu Asyhaduanlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasullulah, artinya: aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.

2. Sejak semula kami warga jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (nabi penutup).

3. Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW.

4. Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai’at yang harus dibaca oleh setiap calon anggota jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata Rasulullah.

5. Kami warga Ahmadiyah meyakini bahwa

a. tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada nabi Muhammad.
b. Al-Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.

6. Buku Tadzkirah bukan lah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohami Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908).

7. Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata maupun perbuatan.

8. Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut Masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah.

9. Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan manapun.

10. Kami warga jemaat Ahmadiyah sebagai muslim melakukan pencatatan perkimpoian di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai dengan perundang-undangan.

11. Kami warga jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahim dan bekerja sama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakat untuk kemajuan Islam, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

12. Dengan penjelasan ini, kami pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah Islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa.

Jakarta, 14 Januari 2008
PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia