Kamis, 25 Agustus 2011

Bolehkah aku Menyebut ini Kisah Tahun ke-2?


gambarnya kuambil dari sini looh..

Hari pertama kita melalui dengan senyum. Bahagia menyeruak tak tentu rimba. Ada kegelisahan, tapi hanya sedikit. Dia malu-malu bersembunyi diantara punggungmu. Ada juga secarik kegelisahan yang kusimpan rapi dalam saku celanaku. Aku tak mau menghiraukannya. Bahagia yang membuncah mampu menyimpan rapat gelisah ternyata.

Kemudian putaran hari berjalan dengan pasti. Bahagia yang kita rasakan pun timbul tenggelam. Sekali waktu dia merajai hari. Meski tak jarang dia menghilang dan baru datang usai kita memanggilnya begitu keras. Seharusnya kita mulai sadar, saat bahagia tak lagi mudah diundang, seharusnya kita mulai belajar untuk melepaskannya. Tapi ternyata kita bukan orang yang pandai belajar.

365 hari kemudian datang. Aku rasa saat itu kita memaksakan kebahagiaan. Tak peduli yang terjadi di belakang, hari itu kita harus bahagia. Kamu mengorbankan satu hari kerja. Aku mengorbankan setengah harinya.

Ingatanku masih segar, bagaimana hari itu sejak pagi aku gelisah. Mencari laci kreativitas dari dasar jiwa terdalam. Entah dia hilang atau memang tak kutemukan sejak awal. Usai menyelesaikan tanggung jawab yang cuma secuil, aku menggunting, merangkai dan menyatukan. Sebuah potongan kenangan, harapan juga asa. Semua kukemas dengan apa adanya.

Kukayuh sepeda, menuju sebuah toko foto copy. Menjilid rangkaian buku orange sederhana. Mengapa orange? Karena warna itu sarat dengan semangat. Sarat dengan keceriaan. Meski tak jarang manipulatif.

Kenanganku mulai buram. Kabur. Tak ada lagi yang aku ingat tentang peristiwa 365 hari silam. Aku justru lebih fasih mengingat 365 hari yang pertama.

Hari ini, 365 hari berikutnya. Setelah momen buku orange. Apa yang terjadi?
Kita menjalani legenda pribadi masing-masing. Tidak di satu jalan, bersisian mungkin. Sesekali aku masih mengenang. Awalnya mengenang dengan sakit. Namun kini sudah tidak sakit lagi. Jika ditanya, bagaimana rasanya? Aku tidak tahu, apa nama rasa yang saat ini bersemayam. Datar.

Aku bisa tersenyum mengingat potongan-potongan kenangan tentang kita, tapi sakitnya sudah tidak terasa. Hm..mungkin aku telah berhasil membayar dengan lunas, hutang bahagia bersamamu dengan kesedihan selama lebih kurang sembilan bulan ini.

Pemujaanku padamu, kucukupkan sampai di sini. Tidak ada lagi mimpi buruk. Tidak ada lagi caci maki. Juga tidak ada lagi harapan. Semua lunas tak bersisa. Jika nanti, sengaja atau tidak kita bertatap muka. Aku akan menawarkan persahabatan yang hangat. Lenganku terbuka. Menawarkan pelukan hangat. Tenang saja, jangan khawatir. Pelukan ini sama dengan yang kuberikan pada teman-temanku tercinta. Teman-teman yang membantuku tegar berdiri usai kau mematahkan kakiku. Tidak ada sedikitpun dendam. Aku menyayangimu, hanya karena aku mengenalmu, tidak lebih.

Rabu, 17 Agustus 2011

Balada Nonton Harry Potter dan Setelahnya..


Mengambil gambar di sini
Wah, lama sekali tak mengunjungi rumah ini. Maaf ya, bukan karena saya sibuk luar biasa. Ya ya ya, baiklah memang ada yang luar biasa dengan saya beberapa waktu belakangan ini, yakni malas luar biasa.

Hari ini menginjak hari ke-18 untuk bulan Agustus dan puasa. Stamina pun sedang tak memberi dukungan yang bulat penuh. Tenggorokan saya sukses serak sejak kemarin malam. Kuat dugaan akibat bermotor ria jam 12 malam dari Plaza Senayan menuju rumah di Bekasi. Sebenarnya malam itu sudah ada gejala, hanya saja saya mengabaikan. Jadi, sekarang ya terima saja hasilnya. Silahkan dinikmati rasa sakitnya.
Apakah menderita? Aw..aw..jangan ditanya!

Dalam situasi normal, serak tenggorokan itu bikin susah. Bisa agak dihalau dengan minum air hangat dan mengoleskan semacam balsam atau minyak kayu putih di tenggorokan. Tapi ya tapi..ini kan bulan Ramadhan sodara-sodara. Yang artinya saya ndak boleh minum sepanjang siang, baru boleh nanti selepas magrib. Jadi pilihannya, ya dinikmati saja. Ibu bilang biar saya lebih mensyukuri nikmat sehat yang selama ini Tuhan beri.

Ya, Ebeth dulu pernah bilang. Katanya fisik saya itu tergolong kuat. Mungkin perkataan Ebeth yang diamini beberapa teman itu bikin saya jumawa. Jadi suka gak perhatian sama badan, gak toleran meski dia minta diistirahatkan.

Kembali ke topik sebelumnya soal malam gaul saya ke PS. Akhirnya saya dan beberapa kawan jadi juga nonton Harry Potter edisi pamungkas setelah berkali-kali gagal rencana. Tim terdiri dari lima personel. Saya, Mas Andreas, Mbak Arie, Daus dan Mas Fahri. Berasal dari tiga penjuru mata angin, Daus yang dari selatan, saya yang dari utara dan trio Mbak Ari Mas andreas dan Mas Fahri dari barat, kami bertemu di PS. Kesibukan dan segala keribetan akhirnya membuat kami baru bisa menonton untuk yang jam 21.00. Jujur, saya agak deg-degan mengingat harus pulang ke rumah Bekasi. Ibu sudah memberi peringatan, saya harus pulang, gak boleh nginep. Seperti biasa, resiko belakangan saja dipikirkan, yang penting nonton dulu.

Film selesai jam 23.30. Larut memang. Tapi duo Daus dan Mas Andreas masih saja berenergi untuk berdiskusi. Haduuh, padahal otak saya sudah tak konsen, memikirkan perjalanan pulang yang nun jauh dimato.

Ini persoalan baru sebetulnya. Saya baru pulang kerumah Bekasi lebih kurang 45 hari setelah sebelumnya 6 tahun kost. Terbiasa dengan main hingga larut malam, pulang tak perlu sungkan karena yang menunggu ya hanya pintu dan kasur. Kali ini berbeda kasus, ada ibu yang khawatir atau bapak yang terkantuk-kantuk menunggui pintu. Jadi, jika mau pulang malam ya harus mengesampingkan rasa peduli mereka. Biasanya saya memilih jalan praktis. Tak usah pulang sekalian, menginap di tempat teman.

Agak merengek bin merajuk, akhirnya kami beranjak menuju parkiran. Saya meminta daus mengantar sampai Cawang, setelahnya angkot yang berbicara.

Saya fasih mengetahui jalur angkot, tapi untuk jalur alternatif mati kutu. Entah petunjuk apa yang saya beri ke Daus kami kok malah sukses sampai ke kuburan. Tengah malam, bermotor ria menerabas kuburan. Perfecto. Setelah Tanya sini dan sana akhirnyamenemukan jalanan angkot yang saya tahu.

Ternyata oh ternyata lagi, daus dengan begitu baik hatinya malah mengantarkan saya sampai rumah. Sampai di depan rumah ada persoalan baru muncul. Daus buta jalan pulang. Hadeuh!!! Apalagi ditambah GPS tidak mendeteksi keberadaan rumah saya. Duh Gusti!!! Berbekal arahan seadanya, akhirnya Daus pulang.

Besoknya saya sms daus menanyakan dia sampai rumah jam berapa. Untung dia sampai dengan selamat dengan waktu tempuh satu jam. Tapi sungguh kasihan, secara tak sengaja Daus menghapur ribuan file foto di server.

Daus itu seorang web designer sekaligus pengelolanya. Jadi hidup mati web plus server ya ada di tangannya. Lewan pesan pendek Daus memberi laporan singkat, bahwa dia harus begadang hingga subuh untuk memperbaiki. Oh, so pitty you.

Kembali ke masa di mana saya mengetik bait aksara ini. Duduk manis di kantor lantai 33 sambil menyaring berita. Melayani chat beberapa teman yang sukanya bertanya soal lowongan kerja dan dengan seorang sahabat yang berkantor di lantai 22 di gedung yang sama dengan saya bekerja.

Juga sambil menikmati serak tenggorokan. Ah, membayangkan tenggorokan ini diguyur air hangat tentu akan nikmat sekali. Tapi saya sedang PUASA!!!