Senin, 27 Desember 2010

menjelang perbatasan


batas akhir semakin mendekat
belum kutemukan berkas-berkas yang harus dipertanggungjawabkan
evaluasi dan berbenah diri
semoga..
hasilnya bukan nihil pencapaian

tanpa malu
aku masih akan kembali menorehkan
poin-poin resolusi
dan kembali mengulang evaluasi
pada desember mendatang
itu juga
jika aku masih memiliki jatah usia..

Minggu, 26 Desember 2010

kekalahan pahit


Semalam menyaksikan laga Malaysia VS Indonesia leg pertama. Indonesia kalah dengan rasa menyakitkan, 3-0. Ironisnya, goal pertama lambang kekalahan tercipta kurang dari 10 menit setelah Markus dkk melakukan walkout karena laser yang berasal dari supporter dirasa mengganggu.

Permainan kembali dilanjutkan, namun konsentrasi tak pernah sama lagi.

Saya bukanlah penikmat bola tulen, menyaksikan pertandingan pun hanya terseret euforia semata. Tahu ragam istilah offside, blunder, dan playmaker pun berkat penjelasan teman yang masih mau-maunya saya ganggu dengan pertanyaan gaya penonton amatir di tengah-tengah pertandingan.

Namun yang patut dicermati, bagaimana bola bundar ini mampu mengaduk emosi.

Nyaris setiap rumah dari pusat kota hingga pelosok desa di Indonesia, semalam menyaksikan laga panas tersebut. Di rumah ceria, tempat saya tinggal selama kurang lebih setahun terakhir ini, juga bukan main panasnya.

Si pecinta bola sejati sesumbar, “Aku mau Indonesia kalah, biar orang-orang yang lebay itu tahu rasa!”

Ya, dia merasa antrian yang begitu padat di Gelora Bung Karno merupakan wujud berlebihan dari semangat pendukung. Belum lagi ulasan media yang terlalu pede jaya, membuatnya muak bukan kepalang. Uhm, soal pemberitaan media yang berlebihan, saya juga setuju.

Teringat tayangan di Trans 7 yang saya lupa nama programnya, pada jum’at lalu, tanpa segan menggunakan judul ‘Dikandangmu Kugayang Kau’. Hadoooooh, saya yang menyaksikan sampai malu, terlebih malah kita yang diganyang sampai kenyang begini. Yukcs..

Sebelum pukul 21.00 semalam, media di tanah air melupakan sesaat prinsip tak boleh memihak. Semangat nasionalisme mengalahkan kode etik yang seharusnya di junjung tinggi.

Kembali ke teman saya. Saya percaya sumpah serapahnya tak datang sepenuhnya datang dari hati. Dia hanya kesal melihat reaksi berlebihan media, supporter sampai PSSI yang semena-mena melambungkan harga tiket.

Ada yang unik menanggapi kekalahan laga ini. Dilakukan oleh Jak FM di frekuensi 101.0 FM.

Sebelumnya Ronald, penyiar dalam program ROTI yang mengudara setiap senin-jumat pukul 06.00-10.00 menjanjikan akan mengganti playlist yang seharusnya memutar lagu Indonesia menjadi lagu produk Negeri Jiran jika sampai Indonesia kalah. Janji harus ditepati jendral, bagaimanapun pahitnya.

Alhasil, buat pendengar Jak FM pagi ini, syair mendayu-dayu dengan bahasa yang terdengar lucu akan akrab menyambangi daun telinga. Saya sendiri kebagian lagu Slam, Siti Nurhaliza, Too Phat, Exist, sampai Search. Hmmppf..

Ronald-Tike sebagai penyiar pun terdengar tak ikhlas melaksanakan janji. Dengan gayanya yang kocak, mereka tetap menghina-hina Malaysia. Seperti kita tahu, bahasa Malaysia terkadang terdengar lucu. Seronok, berpusing-pusing, bubar jalan, comel, dan masih banyak yang lainnya.

Lalu, apa yang saya lakukan? Saya mengirimkan pesan singkat pada adik dan dua kakak sepupu. Isi sms saya sama, ‘hua..kumaha ieu,bagaimanalah kita taro muka depan pakcik?’

Kekalahan memang pahit. Terlebih kita harus kalah dengan Malaysia, si negara tukang klaim itu. Tak apa, doakan saja Alfred Riedl mampu membangkitkan semangat tim merah putih. Semoga, angka 29 menjadi angka sakti bagi tim garuda. Semangka!!!

Senin, 20 Desember 2010

TKI di Final AFF


Mungkin terlambat jika saya baru merasakan euforia sepak bola dalam laga leg kedua antara Indonesia melawan Filipina pada petang, 19 Desember lalu. Entah mengapa, petang itu saya sama sekali tidak tertarik untuk turut serta dalam ambience nasionalisme.

Teman serumah saya, Melva Sirait bahkan hadir langsung di stadion Gelora Bung Karno. Sekitar pukul 16.00 pun saya menjumpai rombongan bersepeda motor dan kaos merah dengan logo garuda tersemat manis di dada. Senang melihat sorot-sorot mata tajam dan senyum merekah penuh kebanggan itu. Saya senang, akhirnya nasionalisme muncul dengan kekuatan penuh berkat sepak bola.

Saat pertandingan dimulai, saya masih berada di jalan, menuju Meruya. Sampai di lokasi tujuan pun, saya tak berminat mencari televisi. Alih-alih memencet remote televisi, saya malah mencari ponsel esia dan menelpon seseorang. Saat sedang berbincang di telepon itulah, teman di seberang berteriak-teriak.

“Goal mbaaaak!!!”

Saya hanya tersenyum, tak juga tertarik untuk larut dalam semangat sepak bola. Takut telepon saya menganggu, saya bertanya apakah dia berniat menonton bola? Jika jawabannya iya, maka saya akan mengakhiri percakapan telepon itu segera. Percakapan akhirnya kami lanjutkan.
***
Hari ini, praktis telah lewat dua hari dari pertandingan itu. Saya tertarik melihat goal indah yang disebut-sebut dengan goal pisang. Istilah yang lucu, mungkin karena gerakan bola kreasi Christian Gonzales yang melengkung saat membobol gawang Filipina.

Saat ini, harapan segenap pemuja sepak bola tanah air tentu semakin memuncak. Terlebih, lawannya adalah Malaysia. Tetangga yang memiliki banyak sejarah perseteruan dalam berbagai aspek dengan Indonesia.

Malah kemarin, saya sudah mendapat undangan agar bergabung dalam gerakan ‘Ganyang Malaysia di Piala AFF’ pada jejaring sosial facebook. Ada-ada saja.

Semoga tak salah informasi, jadi final diadakan dalam dua leg. Pertama akan berlangsung di Bukit Jalil Malaysia pada 26 Desember dan leg kedua di Indonesia dan tentu saja di Gelora Bung Karno pada 29 Desember.

Agaknya tim Indonesia tak perlu khawatir dengan minimnya supporter. TKI di Malaysia bukan main banyaknya. Sejumlah departemen kabarnya malah ada yang mengkonsolidasikan agar para TKI ini memberikan dukungan penuh bagi tim garuda yang akan berlaga. Demi menjunjung semangat nasionalisme, bahkan dari situs www.liputan6.com mengabarkan ada sejumlah kelompok TKI asal Jawa yang akan menyewa bus untuk menyaksikan laga ini.

Senangnya mengetahui semangat nasionalisme kita sedang panas membara.

Laga final AFF kali ini tidak hanya sekedar kompetisi olahraga, namun sudah menjelma jadi pertarungan menyelamatkan harga diri bangsa. Indonesia-Malaysia seakan menjadi thesis dan antithesis yang bertentangan sepanjang hayat.

Ayo TKI, meski kalian sering tak terakui dan minim penghargaan, Indonesia saat ini benar-benar membutuhkan kehadiranmu di Bukit Jalil. Jika sebelumnya kalian adalah pahlawan devisa, sesaat lagi kalian memiliki kesempatan untuk menjadi pahlawan supporter, hahay!!!

Kalah ataupun menang nantinya, semoga semangat nasionalisme tetap menggelora. Tidak hanya muncul sesaat kemudian hilang entah kemana. Semangatlah TIM GARUDA!!
*melirik malas pada David L. Tobing

Jumat, 17 Desember 2010

Py, sahabatku..



Dalam sekali memandang, saya menilai dia sebagai gadis manja, kekanakan dan egois. Namun siapa nyana, semakin lama mengenal, ada begitu banyak pesona persahabatan yang ditawarkan. Ya, gadis yang kini telah menjadi sahabatku itu, Shelvy Juwita Wulansari namanya. Beberapa orang memanggilnya Slepong, Chippy, dan aku senagaja memanggilnya Sleepy, sebenarnya agak kurang berkorelasi sih, karena dia seorang penderita insomnia yang baru bisa terkantuk kantuk paling setelah jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari.

Sleepy, yang dalam pandangannku seperti barang berjalan. Bagaimana tidak, dia selalu tergila-gila dengan barang branded. Celana Esprit, kaor Rusty, jaket Samuel & Kevin, tas Billabong disempurnakan dengan alas kaki Converse. Py yang banyak memberikan pengetahuan padaku mengenai barang-barang bernilai status sosial tinggi itu. Tadinya ku pikir anak orang kaya pastilah sombong dan malas bergaul denganku yang sama sekali buta merk dan dunia fashion.

Ternyata pola pikirnya begitu mengagumkan. Py yang ku pikr hanya kritis saat membahas seseorang menggunakan kaos Polo asli atau bajakan ternyata juga memiliki pandangan terbuka terhadap banyak hal. Mulai dari issue kesetaraan gender sampai hidup berkeadilan dalam pandangan budaya dan agama.


Pesona persahabatan yang ditawarkan sungguh mencengangkan. Jujur, saya masih jauh dari bisa melakukan hal-hal yang dilakukan Py pada kami. Pernah satu kali dia membawakan kami bertiga kacamata hitam untuk bergaya di kota yang panas membara, Yogyakarta. Tadinya dia sudah memilih sebuah kacamata yang paling disukainya, sampai ternyata Dini, temanku yang lainnya, memerlukan pilihan special agar kacamata besar indah dipakai. Dengan sangat murah hatinya, Sleepy mengembalikan kacamata yang telah dipilihnya, untuk kemudian di pilih oleh Dini. Alasannya, Dini lebih memerlukan adanya banyak pilihan.

Belum selesai, saat sedang memilih-milih kalung untuk di pakai pun, lagi-lagi Sleepy mempersilahkan Dini untuk memilih, padahal kalung-kalung itu Sleepy. Dan yang membuat saya kembali tercekat, kalung yang dipilih Dini adalah kalung yang paling disukai Sleepy. Dengan tanpa rasa egois dia memilih kalung yang lain, alasannya, “Dini udah bagus pakai kalung itu, jadi jangan diganggu gugat lagi, gue cari kalung yang lain aja”.

Wow, hati saya langsung mencelos saking malunya. Sahabat saya ini tidak memiliki kata egois dalam hidupnya. Barang yang dimilikinya tidaklah harus selalu digunakannya, meskipun dirinya amat ingin memakainya. Terimakasih untuk keadaan yang mempertemukan kami dan kesempatan bagi saya untuk mengenalnya. Darinya saya belajar untuk tidak mementingkan diri sendiri. Meski belum sepenuhnya, saya berjanji untuk berusaha. Hebatnya lagii, Sleepy sama sekali tidak menyadari akan kebaikan hati yang telah dia berikan pada orang-orang disekitarnya.

Sungguh, banyak pelajaran yang saya petik, berteman tidaklah harus sama, kita berbeda justru indah, kita bersitegang justru seru, kita bersaing justru kuat. Tidak lupa, bersahabat bukan untuk menyatukan pandangan, saya lebih setuju untuk mengisi kekosongan yang tidak akan kita bisa penuhi jika sendiri.

Rabu, 15 Desember 2010

rak ingatan


Sedang tidak memiliki pretense apa-apa. Tanpa sengaja mengingatmu saat menyaksikan tayangan di you tube. Keyword yang saya masukkan adalah Utada Hikaru First Love. Teringat perkataan teman tentang kedalaman makna yang tersirat dalam tiap bait lagunya. Sejujurnya, saya tidak tahu menahu mengenai gambaran video klip-nya.

Setelah memilih, ternyata yang saya pilih adalah kompilasi adegan dari serial korea Princess Hour dengan latar suara ya lagu First Love milik si Utada Hikaru itu.

Mungkin sangat match dengan suasana hati yang sendu. Kompilasi scene di film itu begitu indah. Sekedar catatan, saya bukanlah orang yang bisa dikategorikan sebagai penggemar serial korea, namun untuk Princess Hour, saya memiliki catatan tersendiri. Entah mengapa, saya suka sekali dengan jalan cerita yang dimiliki. Konflik yang ada begitu dinamis dan menggugah rasa ingin tahu. Tsaah..
Alhasil, serial ini menjadi satu-satunya hingga saat ini menjadi tayangan yang saya tonton hingga akhir episodenya.

Selama ini, setiap ada serial baru yang tayang (biasanya di Indosiar) saya ikut-ikutan heboh kena demam koreanisme. Namun euphoria ini biasanya tidak bertahan lama. Sampai di pertengahan kisah rasa penasaran sudah tidak terpatik dengan kencang.

Kembali ke awal, jadi dalam tayangan itu ada scene dimana si putra mahkota, Sin, memakaikan sepatu Chekiong yang terlepas. Deg.

Entahlah, adegan sederhana itu mematik kembali ingatan saya pada batu (silahkan senyum-senyum jika kamu membaca ini). Entah batu mengingat dengan baik atau tidak, namun dulu dia beberapa kali melakukan adegan serupa. Yup, memakaikan sepatu di kaki saya. Bukan sepatu balerina yang manis tentu saja, karena sepatu model itu tentu saya tidak memilikinya.

Saat kami akan pergi bersama, dia akan memakaikan sepatu converse merah motif batik di kaki saya. Mungkin sekilas seperti adegan menye-menye gombal cap kadal. Toh, saya tetap perempuan yang senang dikadali, ha..ha..ha..(tertawa miris)

Pernah juga satu kali, sandal yang saya kenakan putus, dan kami harus mencari sandal jepit. Beberapa warung disambangi, sampai di warung kelima baru menemukan sandal jepit dengan warna dan ukuran yang pas. Si batu tanpa sungkan mengganti sandal saya yang putus dengan sandal jepit baru itu. Setiap adegan penggantian sandal itu disaksikan oleh ibu-ibu penjaga warung. Saya sampai risih sendiri melihatnya.

Memori yang saya pikir tidak akan terlalu membekas dan lupa begitu saja ternyata masih bersemanyam dengan nyaman di lipatan ingatan ini. Sial.

Bukannya saya menyesali kisah yang terjalin lalu kandas ini. Bagaimanapun saya mensyukuri. Seperti yang dikatakan seorang teman, yang mengaku senang kisah saya berakhir. Dasar.

Pasti ada pembelajaran yang bisa saya petik. Setidaknya saya pernah merasa bahagia menjalaninya.

Adios. Hanya kata itu yang bisa saya sematkan di pintu keluar.

lagi-lagi krisis eksistensi


berhubung ini tentang eksistensialisme, maka saya dengan PD tingkat tinggi juga memasang foto sendiri..


Pernahkah kamu berada dalam situasi terpuruk tak tahu harus berbuat apa? Terpuruk disini dalam artian saat sedang berada di tengah ruang sidang, dan sialnya saya adalah mangsa dari para pemburu popularitas yang ingin terlihat pintar dengan mengajukan pertanyaan sok berbelit bin melintir serta harapan setinggi gunung, bahwa si mangsa terlalu bodoh untuk menjawab poin demi poin pertanyaan.

Percayalah, pintar tidak sama artinya dengan keinginan membantai saat lawan sudah tak berdaya. Saya pernah berada dalam situasi mangsa empuk nan mengharukan itu. Meski pernah juga menjadi singa yang haus akan popularitas.

Tapi kali ini, saya ingin bercerita tentang posisi menjadi mangsa empuk itu. Ya, kali pertama terjadi dulu di jaman kuliah. Masa dimana banyak orang berpendapat keintelektualan seseorang akan berkembang pesat. Saya memberanikan diri menjadi pemateris ebuah diskusi. Tahu persis yang akan saya hadapi adalah macan-macan kritis nomor wahid. Sedang bercanda bahasanya intelek bukan main, apalagi dalam ruang diskusi. Sudah kepalang basah, saya nekad meneruskan rencana.

Saya menitipkan nasib saya pada kawan baik yang tak kalah hebat. Harapan saya, dia akan membela jika saya terpojok tak mampu lagi berargumentasi. Ternyata, harapan adalahs esuatu yang tidak boleh dilakukan. Justru kawan baik inilah yang memulai bibit-bibit pembantaian. Baru pertanyaan pertama, keringat dingin mengucur deras. Peserta lain tanpa ampun meneruskan serangan.

Hari itu saya kalah telak. Logika mulai bermain, tak seharusnya saya sakit hati. Saya berusaha memanipulasi pikiran, mereka semua berusaha membuat saya makin pintar. Soal berhasil atau tidak usaha memaniulasi pikiran ini, saya tak ingat persis. Yang pasti, momen itu membuat saya harus berpikir ulang tiap akan mengajukan pertanyaan. Saya akan bertanya jika benar-benar ingin tahu, bukan hanya sekedar menguji dan keinginan pamer kefasihan bersilat lidah.

Belum lama ini, saya kembali terjerumus. Modal nekad dan miskin referensi sukses mengantarkan saya pada kenistaan terdakwa tidak tahu apa-apa. Sialnya, kembali saya bertemu dengan orang yang di duga kuat mengalami krisis eksistensi. Saya sedan dalam kondisi terpojok oleh pertanyaan membabi buta untuk menguji pemahaman. Dalam tahap ini saya masih mengaku salah.

Tiba-tiba, jreeeeng!! Seseorang menunjuk tangan dan mengajukan pertanyaan yang notabene merupakan pengulangan pertanyaan sebelumnya dimana saya tak bisa menjawab. DAMN!! Orang yang dari awal hanya diam saja ini mengambil kesempatan emas untuk menunjukkan eksistensi. Saat ini, saya membecinya. Tak suka. Biar dia ganteng luar biasa, tak peduli, saya tak suka!!!!!

Tulisan ini bukan untuk siapa-siapa. Di dedikasikan untuk saya seorang. Sambil mengenang masa jahiliyah di masa lalu, saat nafsu ingin terlihat pintar begitu menggelora. Maafkan saya untuk orang-orang yang saya sakiti dimasa lalu. Sedangkan orang yang pernah membuat saya mati kutu, sungguh saya sedang berusaha keras menghilangkan rasa kesal ini.