Rabu, 15 Desember 2010

lagi-lagi krisis eksistensi


berhubung ini tentang eksistensialisme, maka saya dengan PD tingkat tinggi juga memasang foto sendiri..


Pernahkah kamu berada dalam situasi terpuruk tak tahu harus berbuat apa? Terpuruk disini dalam artian saat sedang berada di tengah ruang sidang, dan sialnya saya adalah mangsa dari para pemburu popularitas yang ingin terlihat pintar dengan mengajukan pertanyaan sok berbelit bin melintir serta harapan setinggi gunung, bahwa si mangsa terlalu bodoh untuk menjawab poin demi poin pertanyaan.

Percayalah, pintar tidak sama artinya dengan keinginan membantai saat lawan sudah tak berdaya. Saya pernah berada dalam situasi mangsa empuk nan mengharukan itu. Meski pernah juga menjadi singa yang haus akan popularitas.

Tapi kali ini, saya ingin bercerita tentang posisi menjadi mangsa empuk itu. Ya, kali pertama terjadi dulu di jaman kuliah. Masa dimana banyak orang berpendapat keintelektualan seseorang akan berkembang pesat. Saya memberanikan diri menjadi pemateris ebuah diskusi. Tahu persis yang akan saya hadapi adalah macan-macan kritis nomor wahid. Sedang bercanda bahasanya intelek bukan main, apalagi dalam ruang diskusi. Sudah kepalang basah, saya nekad meneruskan rencana.

Saya menitipkan nasib saya pada kawan baik yang tak kalah hebat. Harapan saya, dia akan membela jika saya terpojok tak mampu lagi berargumentasi. Ternyata, harapan adalahs esuatu yang tidak boleh dilakukan. Justru kawan baik inilah yang memulai bibit-bibit pembantaian. Baru pertanyaan pertama, keringat dingin mengucur deras. Peserta lain tanpa ampun meneruskan serangan.

Hari itu saya kalah telak. Logika mulai bermain, tak seharusnya saya sakit hati. Saya berusaha memanipulasi pikiran, mereka semua berusaha membuat saya makin pintar. Soal berhasil atau tidak usaha memaniulasi pikiran ini, saya tak ingat persis. Yang pasti, momen itu membuat saya harus berpikir ulang tiap akan mengajukan pertanyaan. Saya akan bertanya jika benar-benar ingin tahu, bukan hanya sekedar menguji dan keinginan pamer kefasihan bersilat lidah.

Belum lama ini, saya kembali terjerumus. Modal nekad dan miskin referensi sukses mengantarkan saya pada kenistaan terdakwa tidak tahu apa-apa. Sialnya, kembali saya bertemu dengan orang yang di duga kuat mengalami krisis eksistensi. Saya sedan dalam kondisi terpojok oleh pertanyaan membabi buta untuk menguji pemahaman. Dalam tahap ini saya masih mengaku salah.

Tiba-tiba, jreeeeng!! Seseorang menunjuk tangan dan mengajukan pertanyaan yang notabene merupakan pengulangan pertanyaan sebelumnya dimana saya tak bisa menjawab. DAMN!! Orang yang dari awal hanya diam saja ini mengambil kesempatan emas untuk menunjukkan eksistensi. Saat ini, saya membecinya. Tak suka. Biar dia ganteng luar biasa, tak peduli, saya tak suka!!!!!

Tulisan ini bukan untuk siapa-siapa. Di dedikasikan untuk saya seorang. Sambil mengenang masa jahiliyah di masa lalu, saat nafsu ingin terlihat pintar begitu menggelora. Maafkan saya untuk orang-orang yang saya sakiti dimasa lalu. Sedangkan orang yang pernah membuat saya mati kutu, sungguh saya sedang berusaha keras menghilangkan rasa kesal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan jejak