Jumat, 29 Agustus 2014

Menikmati Kenangan





 Mengambil gambar dari sini

Aku pernah jatuh cinta, pada lekatnya tatapan matamu. Aku pernah begitu memuja, setiap tawaran tanganmu untuk selalu menggenggam tanganku. Itu dulu. Saat kamu pernah memasrahkan diri untuk dimiliki. Kumiliki.

Aku menghargai setiap kenangan asam manis tentang kita. Menyimpannya dengan baik di salah satu lipatan otak. Entah bagaimana denganmu, namun aku begini adanya.

Kuduga, kamu pun sempat menyimpan beberapa kenangan kita. Beberapa saja, tak banyak. Dan memang tak usah banyak-banyak. 

Katamu, sempat melintasi beberapa tempat petilasan kita, dengan sengaja, tak untuk tujuan yang genting, hanya untuk mengenang. Ini mengejutkan bagiku, tapi tetap tak perlu ditanggapi dengan pesta raya. 

Kenangan, memang sebaiknya letakkan saja di belakang. Sekali-kali dikenang tak mengapa. 

Mari kita, aku, kamu, juga mungkin kalian..saling mengenang dengan tenang, untuk setiap masa lalu penuh cinta dan rasa bungah.  

Rabu, 06 Agustus 2014

Fase Manusia dalam Filosofi Pandawa Lima, yang Manakah Kamu?


mengambil gambar di sini

Inspirasi bisa datang dari manapun. Bisa dari siapa saja, tak terbatas. Saya baru bertemu seorang laki-laki yang dalam pengamatan sejauh ini, terlihat keren mutlak. Dia seorang illustrator. Tapi kali ini saya sedang tak ingin membahas mengenai pekerjaannya, dan siapa dia. Hanya ingin menulis tentang sepotong materi perbincangan kami, yang terjadi baru saja. Sangat mengesankan dan menohok, sampai merasa ini harus segera diabdikan dalam barisan kata sebelum lupa.

Rasanya, nyaris setiap orang mengetahui kisah pandawa lima. Menurutnya, pandawa lima adalah penggambaran manusia. Penggambaran bagaimana kematangan seseorang dalam bersikap.
  1. Yudhistira
  2. Bima
  3. Arjuna
  4. Nakula
  5. Sadewa
Itu urutan dari yang tertua. Namun sebenarnya manusia, melewati fase lima tingkat ini, dimulai dari yang terkecil.

Sadewa. Orang yang berada di fase ini, adalah mereka-mereka yang merasa bak dewa. Hebat, terpaling. Tak ada yang salah dengan orang yang merasa hebat. Merasa hebat mungkin juga bukan sebuah dosa. Hanya saja..biasanya orang yang sungguh-sungguh hebat, tidaklah merasa. Jadi silahkan simpulkan sendiri ya..

Saya merasa malu, selama ini masih terkurung dalam persepsi diri bahwa saya seorang yang hebat, ah..malluuuwww..

Nakula. Ini adalah tahapan saat seseorang mulai banyak berpikir. Kritis. Banyak mempertanyakan tentang peristiwa dan apapun. Isi kepalanya selalu penuh tanda tanya. Bukan karena ia tidak mengerti akan banyak hal, namun karena ada kegelisahan dalam hati, menuntut jawaban atas setiap remah cerita penuh misteri yang ditawarkan semesta.

Arjuna. Kaum hawa tentu fasih mengenal nama ini. Namun kali ini, saya tak tertarik membahas mengenai sosoknya yang rupawan. Arjuna digambarkan sebagai orang yang ala kadarnya. Hanya memakai jubah, tak memakai perhiasan untuk menarik perhatian. Sosoknya menarik, bukan karena ketampanan lahiriah. Fase ini menggambarkan manusia seperti cawan yang kososng dan siap menerima ilmu kehidupan. Ia akan membiarkan diri kosong agar bisa menerima banyak hal. Ia akan menarik dengan sifatnya yang rendah hati. Keren namun tak merasa keren. Mungkin ini kalimat yang tepat untuk menggambarkannya.

Bima. Dalam kisah pewayangan, fase ini memiliki cerita paling panjang. Fase ini adalah masa mencari jati diri secara mendalam. Manusia menerjemahkan visi dan berusaha mencapainya. Bisa lari ke puncak tertinggi, atau menyelam ke dasar laut terdalam. Ini adalah masa mencari tujuan hidup dan meresapi saripati hidup. Bima digambarkan memakai kalung ular, menggambarkan seorang yang bijak sekalipun mungkin pernah menjadi jahat. Masa lalu yang buruk tidak untuk dihilangkan dan dilupakan, di kubur di tempat terdalam. Masa lalu yang buruk, sebaiknya menjadi pengingat, seseorang pernah melakukan kesalahan, cukup diingat tidak untuk diulang. Berdamailah dengan masa lalu, tak perlu menutupinya.

Yudhistira. Ini adalah fase kematangan kepribadian. Tahap ini adalah masa dimana seseorang benar-benar telah mampu menyerap ilmu kehidupan. Kesombongan bisa jadi sudah tak ada dalam diri. Ia belajar memahami tidak lagi menghakimi. Konon Yudhistira juga seorang yang tak pernah berbohong.

Jadi, sudah ada di tahap manakah kamu?

Terima kasih banyak untuk Sweta Kartika yang membagi cerita tentang filosofi pewayangan ini.