Tampilkan postingan dengan label centil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label centil. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 November 2013

Laki-laki Harus Membayar di Saat Kencan?!?!

mengambil gambar di sini
Laki-laki harus membayar di saat kencan?!?!

Wo ho ho, ini topik menarik sekali.

Dua hari lalu, bersama kawan saya menertawakan pasangan yang sedang linglung di depan ATM. Sang laki-laki meminta maaf pada pasangannya karena uang yang tersisa di ATM tidak cukup untuk biaya nonton.

Sekedar catatan, setting waktu kejadiannya adalah tanggal 24 November di sebuah mall elit kawasan Senayan. Merunut tanggal, bagi para kaum pekerja tentu mengamini, ini adalah waktu paling tak tepat untuk foya-foya, tanggal tua bukan kepalang jendral.

Kembali ke topik baris pertama.

Jadi, jika laki-laki tak punya uang, jangan berani-beraninya mengajak kencan. Begitukah?

Ini mungkin pandangan umum menjelma mitos. Budaya patriarki, menjadikan laki-laki harus selalu di atas wanita, bisa diandalkan dan pelindung dalam hal pembayaran. Karena wanita dijatahkan untuk melayani pada hal yang lainnya, tak usahlah dijabarkan pelayanan macam apa.

Bagi sebagian besar laki-laki, membayar biaya kencan adalah keharusan. Eit..tunggu dulu.

Sesuatu yang harus, pasti memiliki unsur keterpaksaan. Jadi, sangat mungkin, para laki-laki dermawan saat kencan itu, sebenarnya tak ingin-ingin amat menjadi si pembayar tunggal, semua dilakukan atas dasar tak enak. Ish..kasihan.

Seorang pacar sahabat saya pernah curhat. Ia mengeluhkan pacarnya (-yang berarti teman saya), yang tak mau inisiatif membayar.

“Gue gak keberatan membayari kami nonton, tapi minimal dia ada kek inisiatif pura-pura mau membayar minumnya”, begitu keluhnya.

Aha..saya perjelas. Yang teman saya adalah pihak wanita. Jadi yang curhat adalah laki-laki.
Bayangkan, si pacarnya teman sampai curhat ke saya yang relatif tak terlalu dekat.

Saat menulis ini, saya membayangkan ada banyak laki-laki di luar sana yang memendam kesal pada pasangannya, Karena harus menanggung biaya kencan seutuhnya. Ada banyak, tapi tak semua tentu saja.
Saya yakin, ada juga wanita yang merasa tak enak hati jika dibayari terus-terusan. Terlebih buat para wanita bekerja yang memiliki gaji. Aktualisasi diri. Dibayari memang enak. Siapa yang tak suka rasa gratis?!
Tapi jangan jadi benalu, itu saja.

Kamu mencintai pasanganmu bukan? Pastikan ia menikmati saat kencan kalian. Karena bukan hal tak mungkin, diantara bisikan mesranya, juga terselip rasa kuatirnya akan bill makanan yang datang setelah kalian makan malam.

Buat teman-teman wanita, sesekali membayar saat kencan tak akan menurunkan harga diri. Tak juga akan membuatmu miskin dalam sekejab. Malah mungkin akan menambah rasa sayang si pacar.
Ah siapa saya ini, wong saat menulis ini saja sedang tak punya pacar. Mari kita menyeduh teh dan tertawa bersama saja jika begitu..


Bintara, 26 November 2013

Senin, 02 April 2012

One Day Lost in Bogor


mengambil gambar di sini


Sabtu, 31 April disepakati oleh saya, Dini dan Shelvy untuk bertemu. Kembali bersua setelah lama kami tak berkumpul, bergunjing dan entah apalagi. Judul trip nya adalah One Day Lost in Bogor. Ya, kami memang sengaja bertemu, tanpa membuat perencanaan matang.

Awalnya kami hanya ingin menikmati kuliner Bogor, mulai dari asinan, siomay sampai apapun yang nantinya menarik minat. Namun kemudian kami bertiga malah menyepakati untuk mencoba Marun Rumah Aromaterapi. Bagi saya, ini adalah pengalaman kali pertama. Duo Shelvy dan Dini lebih familiar dengan aneka bentuk perawatan tubuh ini.

Saya dan Dini menyepakati untuk bertemu di Stasiun Manggarai jam 8 pagi. Nantinya Shelvy akan menunggu di Stasiun Tanjung Barat. Sempat terjadi kesalahpahaman, karena factor signal keparat. Miss komunikasi terjadi, Shelvy belum tiba di stasiun saat kereta yang kami tumpangi melintas. Menyebabkan Shelvy harus berkereta seorang diri menu Bogor. Sedang saya bersama Dini, bertukar cerita ini dan itu, heboh. Namanya juga perempuan.

Di Stasiun Bogor, tiba-tiba seorang laki-laki meletakkan sesuatu di pangkuan saya. Sebuah pin berwarna pink. Bertuliskan Hard Rock Cafe Singapore. Saya sempat bengong dan terdiam. Terkesima dan tak tahu apa mau laki-laki ini. Sampai dia tersenyum sambil berlalu meninggalkan saya. Pin itu saya simpan hingga sekarang, peristiwa kecil yang menakjubkan. Selalu berhasil menggelitik senyum hingga bait aksara ini saya rajut.

Sambil menunggu Shelvy, saya dan Dini memilih sarapan di Dunkin Donnut. Shelvy datang kurang dari 15 menit kemudian. Kehebohan semakin ramai terjadi. Akhirnya kami berangkat menuju destinasi pertama, Marun Rumah Aromaterapi.

Setelah menimbang-nimbang, saya memilih untuk mencoba paket lengkap yang ditawarkan. Body Steam, Refleksi, Body Massage, Lulur, dan Creambath. Hanya poin terakhir lah yang pernah saya lakukan, sisanya masih benar-benar baru dicoba.

Total perawatan ini sebenarnya hanya membutuhkan waktu tiga jam, namun sambil menunggu hujan reda dan tempatnya memang enak banget buat ngerumpi kami malah jadi keasyikan, sambil ditemani Indomie yang selalu enak disantap kapan pun dimanapun.

Perjalanan berikutnya adalah menuju Plaza Jambu Dua. Maksud hati ingin mencari tempat yang enak untuk mengobrol. Ternyata tempatnya tak cukup memenuhi ekspektasi. Berdasar informasi, akhirnya kami menuju Bogor Botani Square. Rencana bergeser untuk menonton saja. Setelah pilih ini dan itu, dengan mempertimbangkan jam tayang, kami memilih debutan Daniel Radclife dalam Woman in Black. Saya tahu ini film horror, saya juga tahu Shelvy penakut. Salah besar kami memilih film ini. Sangat salah. Yang ada saya dan Shelvy asik saling menghibur dan menguatkan hati. Dini sih paling berani dan perkasa. Saat saya dan shelvy memilih untuk menutup mata, dengan baik hatinya Dini menceritakan bagaimana ceritera dalam film yang berjalan. Ah, habis relaksasi ber spa ria, otot langsung tegang kembali gara-gara nonton film horror. Sial.

Film selesai saat malam telah menjelang. Mengingat jauhnya perjalanan pulang ke Jakarta, kami bergegas. Tapi apa lacur, perut tak bisa kompromi. Dengan membuat kesepakatan makans ecepat mungkin, kami mampir ke gerai KFC yang ada di dekat stasiun.

Akhirnya kami menuju pulang. Kembali ke rumah masing-masing. Dini turun di Stasiun Citayam, disusul Shelvy di Stasiun Lenteng Agung. Tinggal tersisa saya yang harus turun di Manggarai dan berganti kereta menuju Bekasi.

Di kereta menuju Bekasi ada kejadian menarik. Saat petugas menagih tiket untuk dilubangi, ada tiga orang laki-laki kedapatan tidak memiliki tiket yang seharusnya. Petugas ini bertindak tegas. Tidak meminta uang ‘seikhlasnya’ seperti yang selama ini sering saya lihat. Ya, petugas ini meminta agar penumpang tak bertiket ini turun di stasiun terdekat, membeli tiket dan menaiki kereta selanjutnya. Mantab. Jam nyaris menunjukkan pukul 21.00 saat saya tiba di rumah. Beristirahat sambil menata hati dan mengenang tiap tawa yang terjalin bersama sahabat tersayang. Ingatkah kalian? Terakhir kita bertemu dalam formasi bertiga ini adalah setahun lalu. Di Bandara Soetta, 7 Maret 2011 saat kita pulang dari Singapura, dan kita kembali bertemu pada 31 Maret 2012. Peyuuuk..

Kamis, 02 Juni 2011

Sisa Kenangan Laga Barcelona-MU


Dialah alasan utama saya mendukung Barcelona, sengaja mengambil gambarnya dari sini

Saya bukan pecinta sepak bola, hanya penikmat. Penikmat kelas amatir tepatnya.

Menonton saat terjebak dalam euforia. Seperti saat klasemen AFF di penghujung 2010 silam. Juga saat Piala Dunia di tahun yang sama. Selebihnya, saya tidak tahu apa-apa yang terjadi dalam jagad persepakbolaan, selain kisruh PSSI dan Nurdin Halid serta Arifin Panigoro hingga sanksi FIFA yang ternyata tak jadi dijatuhkan pada PSSI.

Euforia menonton pertandingan itu kembali terpatik minggu dini hari, 29 Mei 2011 kemarin. Final Liga Champion antara Bercelona dan Manchester United. Dua klub bola yang cukup familiar di telinga, bahkan bagi orang yang tidak teraik dengan dunia persepakbolaan macam saya.

Sejujurnya, saya tidak terlalu ingin menyaksikan laga ini. Hanya diawali niat luhur menemani Melva Sirait atau biasa saya panggil Macil. Macil itu penggila bola sejati. Wawasannya terkait dunia cabang olah raga paling popular sejagad ini tak diragukan. Pengetahuannya tentang dunia sepak bola mampu melampui batas gender, luar biasa.

Jadi, Macil mengajak saya untuk nonton bareng laga Barca Vs MU. Uhm..lebih tepatnya dia minta saya untuk memfasilitasi nonton bareng. Sekalian temu kangen dan bertukar cerita.

Saat ini saya tinggal di sebuah rumah yang meskipun cukup megah berdiri, namun miskin fasilitas. Saya tidak memiliki televisi. Sempat terpikir untuk mengajaknya nonton bareng di kafe-kafe Kemang atau sekalian di MU Restaurant yang terletak di kawasan Thamrin. Namun niat itu urung.

Keluarga Andreas Harsono dengan murah hatinya mengijinkan kami untuk menonton di kediamannya. Saya tidak tahu persis ketertarikannya pada sepak bola.

Akhirnya tim tonton terkumpul. Ada saya, Macil, Fahri Salam, Firdaus Mubarik, Dormalan Sinaga dan Andreas harsono.

Di awal laga, sempat ada kesibukan mengganti antena. Khawatir televisi berbayar tidak akan menyiarkan pertandingan, akhirnya antena diganti dengan antena konvensional. Layaknya televisi di pelosok kampung, antena di putar-putar guna mencari gambar terbaik tanpa semut dan gangguan siaran. Untuk menjaga stabilitas posisi antena, Fahri Salam dan Andreas Harsono bahkan sempat menyelotip.

Eng ing eng..jreeeeng!! Ternyata ya ternyata kekhawatiran kami kosong belaka. Siaran bola dapat disaksikan jernih tanpa semut dengan menggunakan antena berbayar. Tak perlu repot ganti ini itu. Cukup nyalakan, voila..wajah-wajah tampan pemain mejeng mondar mandir mengggiring bola.

Begitu laga dimulai, mulai muncul karakter asli tim tonton bareng. Dormalan Sinaga lelap tertidur. Jelas terlihat dia datang hanya untuk meramaikan. Firdaus malah asik berselancar di dunia maya. Andreas mengambil posisi uenak di sofa, tapi sikapnya kalem bersebrangan dengan Macil dan Fahri yang usek sana-sini. Ya, gelar penonton paling atraktif saya anugerahkan pada Macil di tampuk juara, dan Fahri sebagai runner up. Mereka berdua pendukung sejati tim asuhan Pep Guardiola, Barcelona.

Saya tidak akan memberi ulasan bagaimana laga ini berlangsung. Tentu banyak orang yang lebih fasih menjabarkannya.

Sebelum paruh pertama berakhir, saya sudah memilih. Ya, saya menjagokan Barcelona. Bukan karena permainan mereka (yang katanya) memiliki teknik luar biasa, ataupun pengusaan bola mencapai angka lebih dari 60%. Saya memilih Barca karena pelatihnya cakep. Cukup sekian.

Pada akhirnya, jagoan Fahri dan Macil (dan saya) yang memang.

Dini hari yang sempurna untuk kami semua. Jagoan menang, perut kenyang. Nikmat mana lagi yang berani kami dustakan?!

Selasa, 13 April 2010

metamorfosa centil


Beberapa hari belakangan ini, kalimat ”Metamorfosa menjadi kupu-kupu” akrab terngiang di telinga. Entah mendapat wangsit darimana, yang pasti saya ingin berubah. Berubah dalam artian menjadi lebih peduli dan rapi dalam urusan penampilan. Beberapa teman hanya tersenyum simpul, tahu karakter asli saya yang serba anget-anget tai ayam, bersemangat hanya di muka. Itu masih jauh lebih baik, terkadang malah nol realisasi meski rencana berkumandang di pelosok negeri. Hehehehe, inilah saya, harap maklum ya.

Namun keinginan menjadi cantik rupanya lebih kuat daripada rencana yang sudah-sudah. Langkah pertama adalah merayu Mila dan Katri untuk menemani berbelanja alat perang di Puri. Alat perang yang dimaksud berupa mascara dan eye liner. Hari itu, saya baru tahu kalau ada eye liner bentuk mirip crayon.kan selama ini tahunya cuma yang pencil dan cair. Begitu diberi informasi mengenai keberadaan eye liner crayon, saya langsung tertarik. Menjanjikan kepraktisan tanpa raut.

Mascara dan eye liner terbeli sudah. Sejak kemarin sudah teraplikasi dengan manis dimata. Hasilnya, beberapa teman berkomentar positif. Ada yang menuduh saya telah insaf (emangnya selama ini saya murtad apa?). beberapa yang lain memberi komentar singkat, bagus.

Semalam, urusan kantor mengharuskan saya menyambangi pusat perbelanjaan elit. Disana bertemu dengan Ari, si cowok CHS yang selalu tampil eksentrik.

Komentarnya, ”Abis dari pergi-pergi ya?”

Hahaha, berhasil! Berarti cita-cita saya untuk tampil beda berhasil. Tolak ukurnya adalah, orang-orang bisa langsung mengenali adanya perubahan di mata saya. Nah, keberhasilan merubah penampilan disempurnakan dengan pertanyaan Ari. Kita kan jarang ketemu, kalau dia ampai tahu ada yang berubah, berarti perubahan ini pastilah dasyat. Teori asal yang saya yakini kebenarannya.

Sebenarnya, saya juga gak tau mengapa melakukan semua ini. Tiba-tiba saja muncul. Mungkin tergelitik iri melihat para perempuan yang anggun melenggok di mall. Atau bisa jadi manifestasi kecewa. Untuk alasan kecewa, saya tak berani memastikan. Saya yang kecewa atau malah dia yang kecewa? Tak jelas. Mungkin kami sama-sama kecewa. Ya sudahlah.

Yang pasti, saya ingin semuanya cepat-cepat selesai. Biar tenang, tanpa beban.

Kembali ke urusan metamorfosa. Tak ada niatan apa-apa. Hanya ingin tampil beda. Hak saya sepenuhnya kan? Jadi tolong, buat yang punya komentar negatif berintonasi nyelekit, simpan saja dalam hati. Sensitifitas saya sedang menebal.