Rabu, 27 April 2011

Bersama Kalian, Dieng Lebih Mengesankan


Kau nyanyikan untukku
Sebuah lagu tentang negeri di awan
Dimana kedamaian menjadi istananya
Dan kini telah kau bawa aku menuju kesana..


Petikan lagu negeri di awan yang dilantunkan Katon Bagaskara, saya rasa cocok menjadi soundtrack perjalanan saya menelusuri Dieng.

Dataran tinggi diatas 2000 kaki. Tak heran jika Dieng juga mendapat julukan negeri di atas awan. Dalam situasi tertentu, saat mata memandang kebawah, hanya hamparan kabut putih yang terlihat.

Bersama 8 orang yang semuanya berlabel baru kenal. Tidak ada kesepakatan sahih, tapi saya senang menamakan rombongan ini dengan geng KYU. Mengacu pada permainan kartu yang merujuk pada angka 9.

Berangkat dari terminal lebak bulus, bersama dengan Meldawati (si kepala suku) dan Milani Yunitasari aka Nita.

Melda memiliki karakter super ceria. Dialah peramai suasana, dengan celoteh ini itu, kadang penting kadang tak penting. Hihihi. Bisa dikatakan, Berkat Melda-lah geng KYU terbentuk. Dia yang mengajak dan membuat woro-woro rencana trip ini. Semua informasi kepesertaan berpusat padanya. Bahkan, namanya lah yang menjadi jaminan booking ini itu, mulai dari booking penginapan, elf, sampai tiket pulang. Sembah nuwun ya Melda, untuk kerelaannya bersibuk ria mengurusi kepentingan operasional ini. Seminggu sebelum keberangkatan, saya bertemu dengan Melda, membicarakan itinerary.

Untuk Nita. Sebelumnya saya belum pernah bertemu dengannya. Perawakannya kurus. Kesan pertama yang mampir di otak saya, dia kalem. Senyum saja cuma segaris. Terlihat menjadi antithesis Melda jika mereka berdiri berdampingan. Nita bekerja di GE, General Electric. Semoga saya tidak salah menuliskannnya. Saya tidak tahu persis job desk Nita, pokoknya berurusan dengan kartu kredit. Kesan pertama, saya langsung menyukainya. Nampaknya, dia akan menjadi teman seperjalanan yang asik.

Saat petang mulai beranjak, bus yang kami tumpangi berangkat. Ternyata, kami menjemput penumpang di Rawamangun.

Sekitar pukul 21.00 WIB bus baru bisa dikatakan sah meninggalkan Jakarta.

Eng ing eng, belum apa-apa jadwal kami sudah berantakan. Perkiraan awal, kami sampai di terminal wonosobo sekitar jam 5 pagi, paling telat jam 7. Tapi ya tapi, bus Malino Putra baru dengan manisnya memasuki terminal lebih dari jam 12 siang.

Tim yang datang dari Surabaya dan Jogja sudah tiba sejak pagi. Mereka memutuskan untuk menunggu kami di Dieng saja.

Saya, Melda, dan Nita langsung menuju loket untuk membeli bus pulang. Antisipasi.

Diterminal, rombongan bertambah satu orang, Muhammad Ali Firman, biar singkat panggil saja Firman. Sebelumnya Firman satu kantor dengan Nita, namun kini dia telah berpaling dan mengapdi pada CIMB Niaga. Urusannya masih sama, seputaran kartu kredit. Firman berperawakan tinggi semampai. Rambutnya pendek dan keriting. Orangnya easy going. Usut punya usut, dia baru memiliki kamera DSLR Sony. Seri-nya saya tidak tahu.

Kami bersemangat mencari Mie Ongklok yang tersohor itu. Tanya sana-sini, Mie Ongklok tak ditemukan. Akhirnya kami memutuskan untuk makan seadanya. Saya dan Nita memilih soto daging, sedangkan Melda soto ayam. Firman? Hm..untuk menu kedua, dia makan bakso. Sebelum bertemu dengan kami, Firman mengaku telah makan nasi rames.

Sedang menikmati santap siang, kami kedatangan seorang laki-laki yang mengaku bernama Dwi. Dialah guide yang akan mendampingi petualangan kami menggerayangi Dieng Plateau. Nama panjangnya Dwi Yono. Cukup panggil Mas Dwi. Saya tak menyangka, guide kami ternyata masih muda. Belakangan, saya mendapat informasi, Mas Dwi itu kelahiran 1984. Pantas aja masih muda. Mas Dwi cocok sekali menjadi pemandu wisata, pribadinya menyenangkan. Usahanya untuk melucu cukup baik, meski hasilnya suka garing. Tapi karena kegaringannya itulah, kami jadi punya bahan celaan. Kami ber-4 belum bisa melanjutkan perjalanan menuju Dieng karena masih menunggu satu peserta yang juga datang dari Jakarta, Andika Ferdiansyah.

Sekitar pukul 4 sore, Dika tiba. Kami langsung meluncur menuju Dieng Plateau. Kami tidak langsung berkenalan dengan Dika. Sama-sama capek, kami malah asik mendengarkan lagu dangdut pantura yang diputar di Elf. Dika sosok yang cool. Bekerja di perusahaan advertising. Cita-citanya menjadi marketing handal. Cita-cita aneh, terlebih setelah Dika positif terdeteksi sebagai manusia elang versi saya. Ya, di perjalanan ini, saya menemukan si manusia elang. Ah, senang sekali. Saya sedang tidak ingin menceritakan apa itu manusia elang, lain kali saja.

Tak berlebihan rasanya, jika Dieng dijuluki negeri di awan. Awan putih yang biasa hanya bisa kita pandangi di angkasa, di Dieng dia tak malu-malu menghampiri. Ya, kami bersentuhan dengan kabut putih yang biasa disebut awan itu.

Sampai di Dieng, ada 4 orang perempuan yang menghampiri. Satu persatu dari mereka memperkenalkan diri. Vera, Ovie, Fatma dan Ami. Kostum mereka sudah sangat siap tempur melawan suhu kejam Dieng. Topi kupluk, sarung tangan dan syal.

Tim akhirnya sudah lengkap, 9 orang plus Mas Dwi. Kami menuju Dieng Plateau Theater. Disana kami bertemu dengan bocah berambut gimbal. Nita namanya. Kami menyaksikan film berdurasi 12 menitan tentang Dieng. Film ini cukup informatif. Saya jadi tahu, tahun 1976, gunung meletus. Setidaknya ada 149 orang tewas keracunan gas CO2 yang muncul dari dalam perut bumi.

Film ini juga menunjukkan objek-objek menarik yang bisa dikunjungi. Telaga Warna, Candi, Kawah Sikidang, dan kawah Candradimuka.
Sebelum berangkat, seorang teman mewanti-wanti saya untuk tidak melewatkan kawah Candradimuka. Dia tidak menjelaskan alasan spesifik. Tapi sayang, karena keterbatasan waktu dan jarak tempuh yang lumayan, geng KYU tak sempat menyambanginya.

Malam semakin merapat, kami makan malam berjamaah. Makan mala mini menjadi semacam momen sambung rasa. Kami berbincang untuk mengenal lebih jauh. Saya sendiri, berusaha menghafal nama. Ini kelemahan akut saya. Sulit menghafal nama.

Paling saya ingat Vera. Dia menjadi satu-satunya perempuan yang membawa kamera DSLR. Peralatan pembeku momennya lumayan lengkap. Lensa ini itu sampai tas kedap air. Vera kerja di Surabaya, di Phapros. Jika tak salah, sebenarnya, rumah Vera di Jakarta. Surabaya hanyalah tempat untuk mendulang rupiah. Malam itu dia memakai topi kupluk merah. Khusus untuk Vera, saya menggarisbawahi penampilannya. dia memang memakai kupluk, sarung tangan dan syal. Tapi blus yang dikenakannya justru tipis. Celananya juga pendek. Jadi, saya tak habis pikir, bagaimana dia bisa menahan hawa dingin yang malam itu begitu kejam menyergap. Saya ingat Nita pernah nyeletuk mengomentari penampilan Vera. “Leher ke atas untuk digunung, tapi leher ke bawah gaya pantai”. Vera malah kegirangan jika dikomentari perihal penampilan ini. Saya memanggilnya Mami Vera.

Keesokan harinya, kami telah siap siaga di jam 4 pagi. Tekad kami bulat, menyaksikan golden sunrise yang tersohor itu. Cuaca membekukan tidak menghalangi semangat membaja kami. Ternyata, trek yang harus ditempuh lumayan juga. Bagi yang tak terbiasa dengan aktivitas fisik, tentu lumayan menyita energi, saya termasuk di dalamnya. Namun, beratnya perjalanan langsung terbayar lunas.

Semburat kuning nampak mempesona di ufuk timur. Perlahan dan pasti, Gunung Sindoro makin jelas terlihat. Keindahan alam, sahih tak terbantahkan. Saat cakrawala menyajikan nyanyian alam berupa gradasi warna, dan gerakan anggun matahari yang merangkak naik perlahan dan pasti.

Ovie sangat terlihat menikmati suguhan alam kali ini. Ovie belakangan saya tahu, dia seorang dokter yang tinggal di Jogja. Dalam geng KYU, Ovie satu-satunya anggota yang sudah menikah. Kami sempat mendengar cerita, bagaimana Ovie merayu Vera agar memintakan ijin pada suami untuk diperbolehkan turut serta. Saya tebak, Ovie bukanlah orang yang senang mendominasi. Beberapa kali saya lihat, dia hanya tersenyum melihat celoteh masing-masing dari kami. Tipikal pengamat.

Sampai menjelang pulang, saya sering tertukar antara Ovie dan Fatma. Fatma juga seorang dokter yang sedang mengambil spesialis syaraf di Jogja. Bisa dikatakan, Fatma adalah anggota yang paling memperhatikan gaya berbusana. Semua outfit yang dikenakan nampak serasi. Fatma pandai memadupadankan warna dalam pakaian. Ya, Fatma jadi terlihat cantik. Tak heran, selama trip, Fatma berhasil mendapat penggemar, minimal satu. Hahahaha

Kami melanjutkan perjalanan. Kali ini Telaga Warna. Untuk menghindari tagihan tiket masuk, kami diajak Mas Dwi untuk mendaki. Lumayan juga jalur yang harus kami lewati. Lagi-lagi Mas Dwi tidak mengecewakan. Kami mendapat sudut pandang terbaik untuk melihat Telaga Warna. Gratis pula. Di sini, kali pertama kami melakukan photo keluarga. Lengkap.

Yang paling kasihan adalah Mbak Ami. Dia terlihat kelelahan. Saat turun, Mbak Ami dibantu Dika. Mbak Ami itu kalem-kalem punya sisi premanisme. Saya ingat, dialah yang memastikan pembayaran makan malam sudah seperti seharusnya. Dengan gayanya yang khas, dia mengecek satu-satu nominal uang yang harus di bayar oleh masing-masing dari kami. Kekhawatirannya terbukti, uang malah lebih ternyata. Jumlahnya Rp 5.500,- menjadi tanggung jawab Dika untuk mengembalikan. Mbak Ami juga orang paling misterius dalam rombongan. Alamat FB-nya menjadi yang paling terakhir saya ketahui. Meski begitu, dia penyayang. Saya terharu, saat di perjalanan pulang menerima pesan pendek darinya.

Setelah mengunjungi Telaga Warna, kini giliran Kawah Sikidang dam Candi Arjuna. Kami diwanti-wanti oleh Mas Dwi, agar tidak terlalu lama berada di sekitar kawah. Gas CO2 yang tidak berwarna dan tidak berbau bisa membahayakan nyawa. Selanjutnya kami menuju candi Arjuna. Seperti turis pada umumnya, kami banyak membekukan momen disini. Konon, keberadaan candi di Dieng ini merupakan bukti bahwa pemeluk agama Hindu pertama di Indonesia berasal dari Dieng. Bukan Bali.

Setelah makan siang dan mengepak barang, kami menuju Sumur Jalatunda. Mitos yang berlaku, barangsiapa berhasil melempar batu hingga ke seberang, maka keinginannya akan terkabul. Melihat besarnya diameter sumur, saya tidak heran jika banyak yang tidak berhasil melakukannya.

Dika nyeletuk, “Saya kalo mau keinginannya terkabul, ya usaha!” Statemen yang masuk akal Dik.

Destinasi berikutnya adalah pemandian air panas. Setelah berunding, akhirnya kami menuju pemandian kalianget di kota Wonosobo. Tiket masuknya murah sekali. Tapi begitu melihat air dalam kolam, yaiy..saya sempat bergidik. Warna airnya coklat. Jujur, bukan karena saya merasa jijik. Namun karena saya takut warna kaus saya akan mengalawi pemudaran warna permanen. Melihat Dika dan Nita cuek, saya akhirnya tertarik juga. Ada yang menarik di kolam ini. Ada sejoli di pojok nun jauh di sana. Yang tak lazim, si perempuan memakai kacamata hitam. Baru ini, kali pertama saya melihat orang berenang memakai kacamata hitam. Hitam loh ya, bukan kacamata renang. Sejoli ini memiliki percaya diri luar biasa. Mereka cuek sekali, tak peduli dengan sekeliling. Ini kolam renang paling ajaib yang pernah saya datangi. Menjelang beranjak, saya dan Dika sempat menggunjing sejoli lain yang asik berfoto dengan ponsel, dengan bahasa tubuh birahi tinggi. Hadoooh, saya langsung merasa ada di kawasan penuh lumpur dosa. Lebaaaaay.

Least but not last. Kami berburu Mie Ongklok. Diantara telepon agen bus yang memastikan kami agar tidak terlambat sampai di terminal. Dika sampai menamainya “Mie Ongklok Rush Hour” di twitternya. Akhirnya saya mencicipi mie khas Wonosobo ini. Mie Ongklok menjadi penutup yang sempurna dalam perjalanan ini.

Bahkan, saat saya menyusun bait aksara ini, sudah empat hari lalu berselang. Namun kebahagiaannya masih menyusup dalam tiap pori. Terimakasih ya, untuk sepotong perjalanan yang membahagiakan ini. Kebahagiaan semakin sempurna, karena perjalanan ini mempertemukan saya dengan orang-orang menyenangkan seperti kalian teman. sinih..sinih, tak peluk satu-satu.

1 komentar:

tinggalkan jejak