Kamis, 28 April 2011

Perjalanan yang Membekukan


mengambil gambar di sini

Menyebalkan. Itu satu kata yang mewakili kamu. Tidak ada lagi kata lain. Cukup.

Padahal saya sempat memberi kamu poin plus. Saya sempat berharap kamu akan menjadi teman menyenangkan di perjalanan pulang. Tapi semua langsung sirna.

Ya, kita hanya berdua tentu bersama penumpang asing, melintasi kota Banjarnegara, Purwokerto, Cilacap, Garut dan kota-kota lain sebelum bus malam kita menginjak Jakarta.

Saya tidak ingat persis, materi obrolan kita. Seputaran dunia militer, Tan Malaka dan Madilog-nya, sampai salah tempat menuntut ilmu. Ya, Pemikir yang justru berkuliah di sekolah tempat kaum borju. Tidak ada yang salah dengan kampus kamu, namun citra kapitalis yang melekat dalam institusi itu tentu menggelitik rasa penasaran saya. Bagaimana kamu melewati waktu di kawasan borjuis itu, sedang pemikiran-pemikiran kamu tentu melakukan penolakan.

Benar saja. Dalam satu putaran waktu, kamu nyaris di drop out gara-gara menentang sistem penjualan buku. Hal yang sepele sebenarnya, namun kamu yang keras kepala tentu tak mau mengalah begitu saja. Kamu tahu? Itu cerita seru, saya masih mengingat sangat tiap detail yang kamu ceritakan, kecuali pada bagian nama-nama yang kamu sebutkan tentu saja. Saya pengingat nama yang payah.

Perbincangan bergeser soal agama. Kita sama-sama tidak begitu fasih dan memahami. Akhirnya bahasan malah meluas, menyentuh Ayatullah Khomeini sampai Mahmoud Ahmadinejad. Untuk nama yang terakhir, tentu sedikit banyak saya tahu, dulu pernah membaptis diri jadi penggemar.

Menceritakan dunia-dunia kita yang ternyata bersinggung di masa lalu. Ya, kita pernah menginjak tempat yang sama. Mungkin berbeda putaran harinya, namun orang-orang yang kita jumpai kurang lebih sama. Saat itu saya merasa senang sekali.

Memiliki teman seperjalanan yang asik, seru, nikmat mana lagi yang berani saya dustakan?!
Namun, semua langsung poranda. Saat kamu mengatakan agar saya lebih banyak menggunakan perasaan dibanding logika. Sebenarnya bukan masalah besar. Namun kemudian menjadi masalah besar karena kamu tidak mau menjelaskan maksud kalimat itu. Kamu hanya memberi saya sebaris senyum tengil menyebalkan.

Kamu tahu? Ada tipikal orang yang akan sangat terganggu hidupnya karena didera rasa penasaran hebat. Itu yang saya alami. Sejak saat itu, hingga saat ini, saat saya merangkai aksara. Lebih menyebalkan lagi saat tahu kamu hanya tersenyum-senyum tidak mau menjelaskan. Saya terus memburu jawaban, tapi tidak dapat juga jawabannya sampai saat ini. Akhirnya saya mengambil kesimpulan sepihak.

Kamu tidak tahu harus menjawab apa.

Padahal malam itu, belum separuh perjalanan yang harus dilalui. Kamu memutuskan untuk pindah bangku. Mau tidur, begitu pamitmu. Sebodo teuing!

Pukul 2 pagi kamu kembali. Kedinginan dan berusaha menghangatkan badan dengan memakai kaos berlapis-lapis. AC bus memang keparat bukan main saat itu. Saya juga merasa kedinginan, namun tidak bisa berbuat banyak. Salah kostum pula. Celana kargo panjang yang saya bawa, melesak jauh di bawah ransel, sangat repot jika saya mau memakai. Rasa malas tak mengenal waktu dan tempat rupanya.

Yang saya takutkan terjadi. Bus terlalu dini sampai di Jakarta. Akhirnya saya turun lebih dulu. Tidak ada salam perpisahan yang hangat. Semua membeku, semenjak kamu tidak memenuhi tuntutan saya akan penjelasan. Saya sempat melihat kamu memandang keluar jendela bus. Selamat tinggal teman. Semoga kita bisa berjumpa dalam suhu persahabatan yang lebih hangat. Akan sangat menyenangkan tentu saja, jika kamu bermurah hati. Tidak hanya menyodorkan seuntai senyum tengil itu. Deal kakak pramuka?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan jejak