Kamis, 06 Januari 2011

sadar pikul tanggung jawab


Mulai kini, suka atau tidak saya harus mulai belajar berhitung. Tidak boleh lagi ngawur beli ini itu atau nongkrong tak jelas membeli secangkir coklat panas atau oreofreeze yang harganya jauh lebih mahal daripada satu termos kopi buatan mama.

Ya, tahun ini saya harus menjadi dewasa. Harus mulai belajar konsep berpikir ke depan. Keluarga saya telah begitu sabar menanti saya jadi dewasa. Semoga, kali ini bukan sikap dewasa yang datang secepat kilat pergi pun demikian.

Maaf ya, permohonan maaf ini saya haturkan pada tiga orang anggota keluarga inti yang sempat saya abaikan.

Saya mulai harus berpikir bagaimana keberlangsungan pendidikan adik semata wayang, yang tahun ini akan memasuki jenjang SMU. Adik yang cita-citanya hanyalah ingin menjadi guru agama. Buku bacaannya pun tak jauh-jauh dari ‘Dajjal Sudah dekat’, ‘Tanda-Tanda Kemusrikan’ dan entah apalagi. Saya kebingungan untuk memasuki dunia yang telah dibangunnya. Kebingungan mencari dimana letak pintu masuknya. Rasid Hairudin namanya, kami berteman di facebook, tapi jangan harap dia akan menegur duluan jika kami sedang sama-sama online. Dasar cuek.

Saya takut, telah mencipta jarak begitu jauh dengannya. Satu-satunya jembatan penghubung diantara kami hanyalah kebiasaan membersihkan lubang telinganya. Meski kami tak begitu akrab, kami bisa begitu intim saat cotton bud basah saya pegang. Yiacks, jorok memang, tapi saya menyukainya. Saya menikmati saat dimana kepalanya rebah dipangkuan saya. Dia akan pasrah dan mempercayakan tangan saya untuk membersihkan telinganya.

Adik saya ini lahir pada 20 Mei 1996, hari pertama saya EBTANAS kelulusan SD. Rentang usia kami 13 tahun lamanya. Banyak teman yang heran dengan banyaknya jumlah angka yang menjaraki kelahiran kami.
“Anak tunggal gagal”, begitu biasanya saya menjawab.

Sewaktu dia masih kecil, saya sering dilanda iri. Adik sering dibelikan baju baru, sepeda baru dan mainan baru. Sedang saya sama sekali tidak dibelikan. Saat saya protes, mama menjelaskan karena adik belum bersekolah. Jadi, perhitungan dasarnya, saya menggunakan uang orang tua untuk bersekolah, sedang adik ya untuk membeli yang baru-baru itu. Tentu, saat itu nalar saya tak terima. Enak sekali menjadi adik, tak perlu sekolah, dapat barang-barang baru lagi. Begitulah kira-kira. Sempat saya protes pada Tuhan, mengapa bukan saya saja yang jadi adik? Protes saya tidak mendapat jawaban tentu saja.

Ternyata ketimpangan finansial terus terjadi. Saat saya SMU, biaya TK adik saya pun jauh lebih mahal dibanding saya yang SMU. Lagi-lagi rasa iri menggerus hati.

Bukannya orang tua pilih kasih, tapi saya selalu merasa tak enak jika memilih sekolah yang bonafid. Takut orang tua tak sanggup membayari. Jadi agak miris juga saat tahu, ternyata adik disekolahkan di tempat yang elit.

Sejak tamat SD, saya diajari untuk mandiri. Jika mau sekolah, saya harus mencari dan mendaftar sendiri. Jadi, Jika mengeluh tidak berani, ancamannya tentu tidak akan disekolahkan. Tak heran, saya tumbuh menjadi pribadi yang jarang takut. Saya terbiasa memilih, apapun untuk saya sendiri.

Berbeda dengan adik, yang selalu diperhatikan.

Kini, mama tahu benar perbedaan karakter kami. Saya tumbuh menjadi pribadi pemberani, urakan, jarang merasa malu, sukanya mencoba hal-hal baru. Adik tumbuh menjadi pribadi kalem, tak banyak cakap, sopan terpelajar lah. Tapi sayang kadang suka tak percaya diri. Untuk poin ini, kadang saya disalahkan. Katanya, jatah percaya diri adik telah kuambil semua. Hallah..

Mungkin rasa tak diperhatikan itu bermanifestasi pada sikap saya selama ini. Semenjak bekerja, saya menjadi jauh dengan keluarga. Merasa mandiri dan bisa berdiri sendiri. Saat itu, prinsipnya, yang penting saya tidak menyusahkan orangtua. Seingat saya, semenjak bisa mencari uangs endiri, saya tidak pernah minta bantuan mereka. Tapi sayang, sikap cuek saya kebablasan. Saya juga menjadi kurang peduli dan tak peka saat mereka butuh bantuan.

Untuk itulah, mulai tahun ini saya berjanji. Saya anak pertama, sudah sewajarnya membantu mereka. Semoga, saya tidak lagi lalai.

Setelah dipikir ulang, ternyata orangtua saya sungguh baik. Mereka menyekolahkan saya, padahal uang juga pas-pasan. Jadi, saya tidak boleh lagi merasa mereka pilih kasih. Mereka pastilah mencintai kami, meski tak sama besar, tapi mungkin disesuaikan dengan kebutuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan jejak