Senin, 19 Juli 2010

elegi sunyi bulan juli


Mengingatmu dalam satu putaran hidupku di masa lalu. Kita tdak pernah menjalin hubungan spesial lebih dari sahabat. Ya, kita hanya berteman, meski banyak dari teman-temanku yang menganggap kamu itu pacarku. Aku tak peduli, kurasa kamu pun demikian.

Sesekali aku bercerita mengenai pangeran super kul yang kupuja. Tak jarang kamu pun berceloteh tentang perempuan manis yang katanya kau sayang. Kita terus menjalin emosi platonik. Sering berdiskusi, bertukar buku, bertukar ilmu. Semuanya lebih mengarah pada aura intelektualitas.

Harus kuakui, pernah sekali waktu aku pun merenungkan hubungan kita. Bertapa untuk mengintrogasi diri sendiri mengenai rasa yang kumiliki padamu. Ternyata tidak. Aku menyayangimu sebagai teman, tak lebih.

Sesekali kita pergi nonton. Lain kesempatan kita makan di warang pinggir jalan sambil bersenda gurau tak tentu arah. Terkadang berbicara tentang masa depan yang masih terasa buram. Kita begitu terlena dengan euforia mimpi. Merasa bisa menaklukkan dunia dengan bermodal asa yang menguat. Karena waktu, akhirnya kita berpisah dalam jarak.

Sesekali janjian bertemu. Berbincang tentang masa lalu dan rencana mengukir cita. Pertemuan yang sangat kasual, tanpa cinta eros yang merebak. Kami saling meyayangi sebagai teman tak lebih. Sampai satu waktu kamu membuat pengakuan mengenai sepotong rasa. Tentang sebaris mimpi yang katanya sempat ingin di jalinnya bersamaku. Mimpi yang urung diwujudkan karena kamu lebih memilih warna persahabatan yang menjanjikan durasi yang lebih panjang.

Aku termanggu. Tak menyangka selama ini telah melukainya tanpa sadar. Dan kami kemudian saling tersenyum. Mencoba berdamai dengan apapun yang memang sudah seharusnya terjadi. Setelah pertemuan terakhir itu, kamu menghilang lagi. Aku mulai terbiasa dengan kemunculan tiba-tiba setelah hilang cukup lama.
Toh nanti kau juga datang lagi..
Begitu pikirku.

Sampai tanpa sengaja kumembuka account jejaring sosialmu. Terdorong rasa rindu, kulihat foto-fotomu.
Deg!
Kamu telah menikah. Entah dengan siapa yang ku tak tahu.
Sahabatku, ternyata ada nyeri yang menusuk ulu hati. Aku tak tahu apa namanya ini. Semoga nyeri ini karena aku merasa tak kau hargai. Semoga nyeri ini manifesto rasa sedih karena aku tak kau kabari.
Aku takut, nyeri ini nyata terasa karena tanpa sadar selama ini aku justru memiliki rasa cinta mendalam. Aku takut. Kesadaran ini menghenyak saat semua telah terlambat.

2 komentar:

  1. artikelnya bagus, jangan lupa visit me back on rave67.blogspot.com and pliss ya follow me, kan km udh q follow...

    BalasHapus
  2. trims untuk blogwalking-nya..sudah melakukan kunjungan balik juga..:))

    BalasHapus

tinggalkan jejak