Minggu, 28 Maret 2010

Saya dan Rokok


Rokok. Siapapun setuju, benda ini tidak memberikan manfaat apapun, namun herannya dipuja setengah mati oleh para pecandunya. Mereka berdalih, rokok dapat melancarkan ide yang kadang tersumbat di lipatan otak. Tanpa rokok, para pecandu bak kehilangan sahabat karib.

Dari sisi medis, tentu sudah banyak jurnal yang memuat bahaya dan komposisi racun dalam rokok. Toh, keterangan ini tak menyurutkan jumlah penggemar rokok. Justru sebaliknya, jumlah perokok semakin bertambah saja. Jika dibuat dalam bentuk perbandingan, berkurangnya jumlah pecandu rokok tidak sebanding dengan jumlah perokok baru.

Masih melegakan jika jumlah perokok yang berkurang adalah mereka yang memutuskan untuk berhenti. Sayangnya, berkurangnya jumlah perokok juga disebabkan kontrak mereka didunia juga telah selesai.

Saya pribadi, bukanlah orang yang mengharamkan rokok. Meski bukan perokok, batas toleransi saya terhadap benda penuh racun ini cukup longgar.

Kali pertama saya berhubungan dengan rokok saat masih duduk di kelas 3 SD. Mengutil rokok Bentoel milik pakde. Tak ada niat menjadi perokok, hanya penasaran mengapa laki-laki dalam keluarga besar saya begitu memujanya. Di kebun belakang rumah nenek, saya akhirnya mecoba menikmatis ebatang Bentoel curian itu.

Hoek..rasanya sungguh tak enak!!!
Sebuah permulaan yang tidak mesra, mencipta kapok malahan.

Pegalaman menghisap rokok setelah itu adalah untuk alasan pengobatan. Saya juga tak habis pikir hingga kini. Jadi waktu itu ceritanya saya sedang sakit gigi. Entah dapat wangsit dari mana, ibu menyodorkan rokok kretek yang rasanya bikin eneg. Dua kali saya mencoba menghisap rokok dengan tujuan menyembuhkan sakit gigi. Mungkin tersugesti, cara itu berhasil menghalau sakit gigi saya.

Hingga menjelang usia 27 tahun ini, jadi saya telah berhasil menyelesaikan masa isap tiga batang rokok.

Persentuhan saya dengan rokok juga cukup intens terjadi di rumah. Kedua orang tua saya memiliki toko kelontong yang salah satu menu dagangannya adalah rokok. Sempat saya memprotes ibu untuk tidak menjual rokok. Apa daya, keuntungan menjual rokok cukup menjanjikan agar toko kelontong keluarga kami bisa tetap benrdenyut. Mau tak mau, saya positif menjadi perokok pasif.

Dilingkungan sekolah maupun kampus, teman-teman saya juga perokok. Dunia kerja pun tak berbeda jauh.

Laki-laki yang saya cinta setengah mati pun seorang perokok. Untungnya, si Batu kini sedang menerapkan aturan dua batang rokok perhari. Sebuah jumlah yang sangat logis. Pernah sih, minggu lalu, dia melanggar komitmen. Tak tanggung-tanggung, dia menghabiskan enam batang rokok dalam sehari, usai kami berselisih paham mengenai kata setia dan aturan boleh dan tidak sesuatu dilakukan oleh kami.

semalam, saya kembali berjibaku dengan rokok. Ada pekerjaan yang mengharuskan saya berada di puncak pada akhir pekan lalu bersama miLLe Explorer. Karena kewajiban live di senin pagi, tadi malam saya kembali ke Jakarta sendirian. Di angkot kecil, ada dua orang laki-laki yang menghisap rokok. Asapnya jangan ditanya. Melebihi batas kompromi saya. Untungnya, saat saya mengajukan keberatan, mereka sangat kooperatif. Lega rasanya.

Jujur, saya masih terheran-heran dengan orang-orang yang dengan santainya meyalakan rokok di dalam kendaraan umum. Kalo itu mobil pribadi sih silahkan saja. Tapi kalau kendaraan umum? Duh, rasanya ingin memaki. Jadi, maaf-maaf saja. Jika saya menemukan orang yang menyalakan rokok dalam kendaraan umum, maka saya akan langsung berasumsi negatif.pasti orang ini berpendidikan rendah, tidak terpelajar, dan kekurangan pendidikan etika. Huh..sekali lagi, saya bukan membenci perokok, tapi membenci orang yang mengesampingkan hak orang lain demi kenikmatan menghisap rokok!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan jejak