Selasa, 15 Maret 2011

UNICEF Bergaya Jalanan


United Nation Children’s Fund atau lebih akrab di telinga dengan sebutan UNICEf. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kurikulum pendidikan di Indonesia telah memperkenalkan adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa lengkap dengan badan atau semacam divisi khusus yang akan membantu peningkatan kesejahteraan. Untuk buruh berada di bawah naungan ILO, untuk budaya kita bisa mempercayakannya pada UNESCO. Masalah kesehatan dibawah naungan WHO. Pun demikian untuk mengangani masalah anak-anak, kita bisa menggantungkan diri pada UNICEF.

UNICEF memberikan pelayanan teknis, pembangunan kapasitas, advokasi, perumusan kebijakan serta mempromosikan isu-isu mengenai anak.

UNICEF identik dengan warna biru muda, dan siluet warna putih bergambar ibu dan anak.
Citra organisasi ini tentu luar biasa bagus. Kehadirannya di tanah air sejah tahun 1948, saat Lombok dilanda kekeringan hebat. Kerjasama dengan pemerintah Indonesia pun telah terjalin pada 1950 dengan memprioritaskan diri pada perbaikan kesehatan anak Indonesia.

Saya sempat terkagum-kagum dengan jajaran pemuda berseragam biru muda bergambar logo UNICEF. Mereka terlihat pintar dan penuh percaya diri. Mereka adalah jajaran volunteer yang membaktikan sebagian waktunya untuk turut serta dalam aksi perbaikan kualitas anak, terlebih Indonesia. Mereka memberikan penyuluhan tentang kondisi anak-anak Indonesia. Mereka juga membagikan leaflet dengan senyum ramah. Mereka bak pahlawan. Demikian hati ini menilai keberadaan para relawan muda ini. Mengagumkan.

Namun, kekaguman itu sekarang runtuh.

Semua karena aksi UNICEF yang menggalang dana di jalan-jalan. Belum lagi si mbak-mbak dan mas-mas (saya tak tahu apakah mereka layak disebut relawan) ini kerjanya mencegat setiap orang yang lalu lalang.

“Bisa permisi sebentar…”
“Ini bukan jualan..”
“Anda tahu Unicef?”

Begitulah kira-kira sapaan segerombol orang berpakaian UNICEF ini. Jujur, saya memang tidak pernah sekalipun menyempatkan waktu mendengar penjelasan dari mereka. Saya malas, karena ujung-ujungnya dibalik presentasi mini itu akan mengerucut pada permintaan donasi.

Selama ini, saya dengan senang hati akan turut memberikan donasi untuk UNICEF lewat pembelian pin yang ditawarkan di gerai-gerai. Saya pernah membeli pin UNICEF di gerai Sony Ericsson.

Sungguh disayangkan, organisasi bergengsi macam UNICEF rela mempertaruhkan citra dengan menyebar segerombol orang di jalanan untuk menggalang dana. Bagi saya pribadi, konsep penarikan dana seperti itu kok jadi terkesan kumuh. Member kesan urakan.

Maaf ya, mbak-mbak dan mas-mas berseragam UNICEF itu seakan tak lebih dari sales yang sedang menjajakan dagangan dengan mencegat orang di jalanan.

Penggalangan dana serupa juga dilakukan oleh oragnisasi kelas dunia macam Greenpeace. Namun, caranya sangat jauh lebih elegan. Mereka membuka booth di mall serta mengerahkan relawan untuk menjaring pengunjung yang mau mendonasikan sejumlah uang. Cara ini tentu lebih elegan. Orang yang dijaring adalah pengunjung mall yang notabene memiliki waktu senggang.

Berbeda jauh dengan UNICEF yang menggalang dana dengan gaya jalanan. Tak peduli seberapa cepat langkah orang yang lewat, mereka main cegat, dengan gaya pendekatan yang aduhai mengesalkan. Ah..semoga pihak yang berkepentingan di UNICEF segera memperbaiki metode penggalangan dana model begini.

1 komentar:

  1. kadang dlam pengalangan dana juga perlu PR,juga inovasi,sehingga lbh menarik,seperti greenpeace indonesia,aq pernah melihat sendri...

    BalasHapus

tinggalkan jejak