Rabu, 19 Januari 2011

Ranti dan Hidupnya


Sosoknya mungil, dengan kulit legam bekas paparan sinar matahari. Tingginya kutaksir tak lebih dari 155 cm, beratnya pun tak sampai 50 kg. Benar-benar mungil bukan?

Namanya Rantini, lahir 46 tahun silam, pada 23 April 1975.

Disekolah dasar, Rantini anak yang cerdas, tak selalu mendapat peringkat satu memang, namun kepiawaiannya membawa diri membuat dirinya mendapat nilai plus dimata para guru. Sebenarnya, orangtua Ranti memiliki lahan kebun yang luas. Ayahnya menjadi petani, sedang ibunya menjadi pedaagang di pasar. Keduanya tipikal orang kampung yang ulet bekerja. Rantini anak ke-6 dari 7 bersaudara.

Meski memilihi kebun yang luas, orangtua Ranti tidak terobsesi menyekolahkan anak-anaknya. Hanya anak-laki-laki saja yang disekolahkan, itu pun hanya sampai STM. Bagaimana dengan anak perempuan? Cukup diajari berdagang, sehingga bisa mencari uang, kemudian menikah dan tidak menyusahkan suami. Cukup.

Ranti kecil sadar, pendidikan itu penting. Sang Ayah kemudian mendaftarkannya ke SD. Untuk biaya, Ranti mencari dengan berjualan balon. Pembelinya teman-teman sekelas. Sepulang sekolah, Ranti mengasuh anak dari gurunya.

Dengan usaha yang gigih, Ranti berhasil menamatkan pendidikan dasar. Dengan tekad kuat, dia memberanikan diri untuk mendaftar ke SMP. Namun Ranti beranjak remaja. Dia mulai merasa malu jika harus berjualan. Malu juga melihat teman-temannya memakai pakaian bagus sedang dia tidak. kurang dari setahun, Ranti memutuskan keluar dari sekolah. Mimpinya untuk mengenyam bangku pendidikan kandas sudah. Namun semangatnya untuk mencari pengetahuan tak pernah sirna. Setiap ada koran atau majalah, selalu dibacanya dengan penuh minat.

Di usia 16 tahun, Ranti dijodohkan. Laki-laki yang menjadi calon suaminya berwajah rupawan. Dari keluarga biasa, pekerjaannya adalah tukang jagal sapi. Pernikahan berlangsung meriah. Orangtua Ranti menggelar hajatan yang tergolong wah.

Dua tahun kemudian, Ranti memiliki seorang putri. Saat hamil tua, Ranti melahirkan dalam kondisi memprihatinkan. Sangat miskin. Bahkan untuk membiayai persalinan anak saja tidak mampu, akhirnya keluarga kecil itu memanggil dukun beranak. Suami Ranti memutuskan untuk merantau ke Kalimantan. Merasa malu jika harus hidup dengan pandangan tetangga. Sengaja Ranti tidak diajak, untuk mencari penghidupan yang lebih baik dulu, alasannya.

Semenjak itu, Ranti menjadi orang tua tunggal. Dia berdagang asongan. Target pembelinya adalah penumpang bus antar kota. Dagangannya bermacam-macam, ada kacang, telur, jeruk, sawo, jambu, rambutan, dan yang lainnya. Aneka macam pangan ini disusun dalam nyiru, kemudian dibawa diatas kepala.

Tahun berganti, suaminya tak juga memberi kabar. Sampai satu ketika, ada kabar sang suami telah memiliki istri dan seorang anak. Saat itu, usia anak Ranti telah menginjak usia 10 tahun, kelas 3 SD. Hancur hati Ranti mengetahui kabar itu. Dia memutuskan untuk menggugat cerai. Tahun 1995, permohonan cerainya dikabulkan. Semenjak saat itu, Ranti bertekad akan menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, agar anaknya tidak mengalami nasib yang sama.

Kini, Ranti hidup bahagia. Anaknya berhasil meraih gelar sarjana. Sang putri kini tengah berusaha, membahagiakan sang bunda. Impian Ranti sederhana, ingin naik haji. Putrinya bertekad akan memenuhi keinginan Ranti, setidaknya tahun 2015.

3 komentar:

  1. kasih ibu memang seumur hidup...

    BalasHapus
  2. ya ya, tidak ada yang meragukannya..
    thanks sudah berkunjung ya..

    BalasHapus
  3. Aku belum sempat mengenal mama kamu ndk ... Salamkan padanya, semoga ada masa dan jalan takdir yang membawaku pada mama Ranti...Aku akan memasak untuknya,seperti yang kita rencanakan waktu itu.
    Berbangga hati punya mama tangguh ya nduk !

    BalasHapus

tinggalkan jejak