Rabu, 20 April 2011

Hey, Tolong Jangan Palsu!


gambar diambil dari sini

Saya memiliki kebiasaan buruk. Memindai orang saat kali pertama bertemu. Entahlah untuk tujuan apa, itu terjadi dengan sendirinya. Mata ini dengan kurang ajarnya akan memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Mulai dari rambut. Apakah potongan rambutnya oke. Apakah rambutnya indah atau malah kusam yassallam. Apakah memakai aksesoris di kepala atau tidak. Apakah pemilihan aksesoris cukup indah hingga memperindah atau malah menjadikannya norak.

Pemindaian kejam ini akan terus turun. Leher. Badan. Kaki. Hingga alas kaki yang digunakan. Semua terkait dengan outfit yang dikenakan. Pemindaian ragawi.

Sungguh tak ada niatan apa-apa. Toh jika hasilnya minus pun tidak mempengaruhi sikap saya selanjutnya. Faktor utama yang akan mempengaruhi sikap saya pada seseorang adalah manner. Yup, sikap.

Saya paling tidak suka orang yang berbicara terlalu besar. Besar sekali sampai kadang tak masuk di otak saya yang hanya secuil ini. Percayalah, semakin kamu berusaha terlihat hebat dengan ‘tinggi’ nya pembicaraan, justru akan semakin menurunkan skor penilaian.

Jadi, mbok ya tolong jangan sok-sok an bilang belanjanya di Grand Indonesia kalau saat itu yang saya lihat situ hanya memakai outfit Ramayana. Jangan sok-sok an bilang pernah keliling Eropa kalau situ ngomong English aja masih sama gagapnya dengan saya.

Kebiasaan ini kemudian memukul balik diri sendiri. Ya, saya sebisa mungkin berusaha tidak melakukan yang aneh-aneh a.k.a omong besar. Karena yak arena saya tidak suka menjumpai orang bermulut besar, maka saya berusaha sebisa mungkin tak menjadi si mulut besar.

Apakah sudah berhasil? Saya hanya bisa nyengir kuda jika ditanya ini.

Untung omong besar tidak menjadi kebiasaan saya. Tapi ya ndak tahu ya kalau itu saya lakukan saat tak sadar.

Jadi teringat seorang kawan jaman kuliah dulu. Anggap saja namanya Tina. Nyaris semua teman kuliah, mengingat si Tina dengan predikat si omong besar. Ada-ada saja yang dipamerkannya. Awalnya terasa masuk akal, sampai lama-lama keluar nalar.

Tina pernah mengaku sedang mengikuti kuliah di Kampus A dengan jurusan Sastra Jepang, bersamaan dengan program studi Jurnalistik (jurusan saya saat kuliah). Saat itu saya terkagum-kagum. Hebat. Bagaimana tak sakti? Anak jurnalistik itu pasti sibuk luar biasa dengan tugas liputan ini itu plus bikin makalah-makalah. Tina kok sempat-sempatnya dobel kuliah. Sampai lama-lama kami sadar dia berbohong. Karena Tina selalu ngendon di kampus. Yah, dia berperilaku sebagaimana mahasiswa yang kuliah hanya di satu kampus.

Satu waktu kelompok saya ditugaskan membuat feature tentang nelayan. Saya beruntung mendapat tim yang luar biasa kompak. Kelompok itu kami namakan Pasar Monyet. Kami sepakat mengambil angle kehidupan nelayan Pelabuhan Ratu. Sekalian jalan-jalan. Disana saya gembira bukan main. Di Tempat Pelelangan Ikan, dijual cumi besar dan segar dengan harga Rp. 20.000,-/kg. meski tidak tahu harga pasaran cumi pada umumnya, saat itu terasa murah. Dasar bocah sotoy.

Di kampus, saya pamer-pamer pengalaman membeli cumi dengan harga Rp. 20.000,-/kg itu. Ada Tina di sana. Entah merasa harus menang atau bagaimana, tiba-tiba dia nyeletuk,

“Belum apa-apa itu Ndang, gue beli di Muara Angke dua puluh ribu dapet sepuluh kilo”

What?! Tentu kami lebih percaya, dia pembual paling bodoh sejagad.

Entahlah, pendidikan keluarga macam apa yang membentuk pribadi anehnya itu. Bualan-bualan lain masih tak terhitung jumlahnya. Kuping saya sampai kebal jika dia bercerita pengalaman liburan sama papi mami ke pelosok nusantara sampai luar negeri. Bagaimana saya mau percaya, jika tidak ada satupun bukti kebenaran yang mendukung ceritanya?!

Kali lain, dia mempromosikan black forest buatan tantenya. Katanya enak bukan main. Untuk memberi kejutan pada teman yang berulang tahun, maka kami sepakat untuk minta dibuatkan black forest oleh tantenya Tina. Katanya, kami hanya cukup menyetor uang 50 ribu saja sebagai pengganti bahan. Dasar lugu, kami percaya saja. Sampai sore yang dinanti, Tina tak muncul. Ditelepon, tak diangkat. Kami gelisah bukan main. Sampai sore menjelang magrib dia muncul dengan wajah kuyu. Katanya si tante sedang ada masalah dengan suami, jadi tidak bisa membuatkan black forest. Dan uang 50 ribu itu sudah terlanjur diberikan.

Dooh, sumpah saat itu saya ingin sekali meninjunya. Maksud hati ingin memberi kejutan pada teman yang berulang tahun, malah kami beramai-ramai yang diberi kejutan asam oleh Tina. Sejak saat itu, saya tidak mau berteman lagi dengannya.

Jadi, bagi yang suka besar omong. Intropeksilah. Kita tidak akan mendapatkan tulusnya persahabatan, jika dimulai dengan kebohongan. Bagaimana kita akan mendapat sebuah ketulusan, jika kita sendiri masih palsu?!

tiba-tiba ingin menyenandungkan lagu Radiohead bertajuk Fake Plastic Trees

2 komentar:

  1. hahaha....

    aku juga tidak suka dengan orang yang senang membual, dan sangat tidak suka saat menemukan orang terdekat kita juga berperilaku seperti itu.

    sempat memerhatikan orang-orang sekitar, secara sadar atau tidak, sepertinya kebohongan itu dilakukan agar kita bisa menganggap mereka 'wah' atau 'ada'. mungkin itu cara yang mereka lakukan kerena minder dengan diri sendiri, dan agar bisa diterima dalam pergaulan...

    kaya si mitchie di Camp Rock I

    BalasHapus
  2. yups, masih banyak orang-orang yang mengidap krisis eksistensialisme, enaknya dikarungin aja yawh? hihihi

    Salam kenal ya Naveezh..

    BalasHapus

tinggalkan jejak